Tuesday, November 30, 2010

Monday, November 22, 2010

Kontemplasi Kompetisi

Seorang peserta sebuah kompetisi hanya mempunyai dua pilihan sebagai hasil akhir yaitu : KALAH atau MENANG. Silakan pilih. Kalo gw memilih menang. Siapa sih yang ga suka menang? Ya iyalah kalo pserta itu masih punya logika yang sehat, pasti dia milih MENANG. Masalahnya semua peserta itu punya logika yang sehat, jadi semua ingin menang. Disitulah letak esensial dari sebuah kompetisi. Dari compete yang artinya saling menyisihkan, untuk menjadi yang terbaik, karena yang terbaiklah yang menang. Untuk menang itu tidak gampang. Peserta harus mengalahkan yang lain, menjadi yang terbaik untuk JUARA.

Lalu masalah berikutnya adalah, gimana kalo peserta itu KALAH?

Tadi siang dilakukan penghitungan suara pemilihan ketua dan wakil ketua HMJ Ilkom kampus gw. As you know, seperti yang uda gw paparkan di post gw sebelumnya, I’m one of those candidates.

Ketika surat suara terakhir selesai dibacakan. Vicky Sidharta – Ciseh Putera 177, Lydia Natasha – Benediktus Krisna 169. Lightning has struck me! Man! Kalah delapan suara!

Well after that, ya gw mengucapkan selamat buat Vicky Ciseh, secara nanti kita akan bekerja sama gitu, no hard feelings, gw iklas kok menerima kemenangan mereka. Seperti yang uda gw paparkan diatas, pilihan berkompetisi itu Cuma dua : MENANG atau KALAH!

Gw terima kekalahan gw. Gw iklas mereka maju jadi pemimpin. Ga akan gw jegal atau gw kudeta. Gw akan bekerja sama dan berkoordinasi dengan mereka nantinya dalam sebuah kerja sama tim. Tapi deep down in my heart, gw tetep ngerasa bĂȘte.

Menjadi menyebalkan karena logika sehat gw sebagai peserta kompetisi memilih untuk MENANG! Tapi kenyataannya menyebutkan KALAH. Ada disinkronisasi abstraksi idealisme (keinginan) dan konkritiasasi realitas.

Tapi mau gimana lagi, semua uda kejadian. Gw mau ngeluh dan bĂȘte segimana pun juga, tetep aja ga akan mengubah keadaan.

Sekarang gw mau berkontemplasi dulu, kenapa sih kok gw bisa sampe kalah?

Gw kalah karena kurang 8 suara. Mengapa Vicky Ciseh bisa dapet 8 suara lebih banyak dari gw dan Tasha?

Apakah kita kurang niat berkampanye? Apakah cara kampanye kita yang kurang efektif?

Dari segi personal. Dulu waktu awal2 dipilih Tasha, gw sempet ragu, Bisa ga ya gw? Apa itu yang menyebabkan kegagalan ini? Tapi hanya awal2 aja kok, selebihnya gw sangat bersemangat berkampanye. Gw rasa itu hanyalah bagian awal dari dinamika emosi, dimana gw cukup terkejut menerima ajakan itu. Ya gimana sih, gada persiapan (karena sebelumnya gw ga mengincar kursi itu dan ga nyangka akan mendpatkan ksemptan untuk menjabatnya). Tapi hati kecil gw waktu itu berkata, “justru ini Kris, kesempatan untuk memperbesar kapasitas dan kualitasmu sebagai manusia”. Keyakinan itu makin membumbul setelah berdiskusi dengan Tasha bahwa dia orang yang tepat untuk di ajak bekerja sama, serta menilik situasi dan kondisi, tiada lagi rasa ragu gw untuk maju.

Gw melakukan apapun untuk memenangkan ini. Gw ini itu, diskusi kritis, bikin visi misi, photo session, bikin poster, latian nyanyi buat konser kampanye, ngajak BO sama Fani bkin galang dana pas kampanye, ijin pasang poster, ijin sound system, bawa gitar dan amplifier, ikut orasi, ajakin 2010, bikin tim sukses. Ternyata masih kurang 8 suara!

Jujur sempet ada rasa khawatir, dengan semua hetic seperti ini, apakah gw mampu menghasilkan prestasi kuliah yang maksimal? Tapi diri gw sendiri yang menjawab, Justru karena itu, uda aktif berorganisasi, IP gede lagi, siapa yang mau nolak? *perusahaan dan cewek tentunya. Hahaha. Gw akan punya catatan hidup (CV) yang baik. Gw akan mudah menjalani hidup. Kayak kata Tung Desem Waringin, Hidup akan keras kepada anda jika anda tidak keras terhadap hidup, begitu juga sebaliknya. Gw terpacu dengan semangat unggul. Gw akan menjadi seorang unggulan, bukan pecundang. Gw dan citra diri postif tentang gw.

Ada pula rasa khawatir, bahwa gw hanya akan jadi “bulan2an” dari system. Well to be honest, birokrasi kampus gw tuh agak ribet, anak2 maunya kemana, rektor maunya kemana. Terkadang pejabat elitnya pun kurang mendengar aspirasi mahasiswa. Menggunakan intervensi dan agitasi untuk melegitimasi kekuasaan dan kepentingannya termasuk kelulusan sivitas academica di mata kuliah tertentu, yang dianggap “mbeling”. Awalnya gw takut, tapii gw ga menyerah. Gimana caranya supaya gw bisa lolos dari semua itu? Jawaban dan caranya pun sudah gw pikirkan. Jawabannya adalah gw ga pernah ada maksud mbeling, gw adalah pro kebenaran. Apa yang salah ya mbok dluruskan. Vocal! Tapi gw ga pernah ada niat untuk bermusuhan dengan gedung 9 lantai itu. Gw bukan oposisi yang suka cari koreng, yang akan selalu mengkritik apa saja tentang kampus, walaupun itu benar. Tapi gw adalah penyambung lidah mahasiswa dan kampus, gw mau kampus gw lebih baik. Yang gw lakukan bukan rebellion, tapi for the sake of goods! Setelah bermodalkan itu semua di hati, Gw pun ga takut lagi isyu2 itu. Gw maju terus!

Apa gw kurang focus?

Sesaat setelah hari kampanye berakhir, rasanya badan gw capeeekkk…..banget…. mungkin karena ga cuma badan yang terus bekerja kesana kemari, tapi juga pikiran yang terus berputar, dan tekanan yang menyergap mental. Akibatnya sesaat setelah selesai kampanye, gw mau off dlu. FB dan twitter berkurang kapasitas persuasinya. Tanpa mengecilkan rasa hormat gw sama Fakriy dan Catherine, gw tau saingan berat gw Vicky Ciseh, gw ngerasa, gw akan menang walaupun tipis. Akibatnya uda dari beberapa hari belakangan ini gw lebih terfokus kepada hari setelah penghitungan suara (which is dalam imajinasi gw uda menang tentunya) gw uda nyiapin sederet agenda kegiatan yang akan gw da tasha lakukan. Mulai dari menghampiri Bu Sandra untuk meniliki hasil psikotes ank2 supaya gw ga salah dalam menempatkan anggota2 pada posnya. Gw uda rancang visi misi, ad/art, program kerja jngka pendek dan jangka panjang, agenda rapat, rencana gw di rapat akbar, konsep forum terbuka. Banyak deh. Gw uda sangat siap kerja. Tapi gw ga focus, emang lw uda menang? Kok uda mikir jauh banget? Menang dulu aja kali! Ga focus terhadap hal2 yang lebih dekat dulu

Apa gw kurang focus? Versi pribadi

Gw cinta kampus gw. Gw pengen kampus gw lebih baik. No bullshit! Kalo kampus gw makin bagus, gw sendiri yang untung. Kampus gw akan mempunyai kredibilitas tinggi. Saat gw lulus dari sini, hal itu akan memudahkan karier gw. Itulah salah satu alasan gw ikut HMJ selain karena impian dan keinginan gw membangkitkan kembali UKM jurnalistik. Itulah motivasi utama yang menggerakkan gw masuk HMJ. Juga karena amanah dari Bu bertha, kaprodi ilkom, yang mendorong gw untuk mengaktifkan kembali UKM itu yang sempat mati suri. Oke I’m in! Lalu kemudian Tasha ngajak gw jadi wakil, why not? Menangin aja sekalian. Disela-sela kampanye itulah, gw dan pikiran liar gw sering melanglang buana. Gw akan memperoleh posisi terhormat. Gw akan eksis. Semua anak ilkom akan mengenal gw. Dosen-dosen akan mengenal gw sbagai si aktif dengan presatasi menonjol. Gw akan masuk dalam jajaran bersama temen2 Gonz gw yang lain yang uda memangku jabatan penting angkatan di fakultas dan kampus mereka masing2. Gw akan menjadi pemimpin, which is pengalaman berorganisasi ini akan sangat penting untuk gw nantinya. CV gw akan tertulis tinta emas : WAKIL KETUA HMJ ILKOM. Gw punya posisi tawar yang tinggi saat PDKT dengan cwe ataupun ketika berurusan dengan orangtua gw. Gw akan memperoleh sweet revenge buat si nona yang pernah mencoreng harga diri gw, akan gw buat dya nyesel menolak manusia berkualitas ini. Tapi semua itu hanya akan gw dapet, kalo menang!

Tapi ya sudahlah, memang beginilah jalannya.

Pasti ada yang ingin Tuhan sampaikan dari rangkaian peristiwa ini.

Ini yang paling penting. When you get down, just grab something. Selama perjalanan pulang nyetir sendiri dari kampus sampe rumah, gw merefleksikan diri dan berkontemplasi. And here it goes the result:

1. 1.Kampanye pake tanda tangan di kaos, tripleks

2. 2.Lebih nyatalah dalam berkampanye

3. 3.Lebih jaga sikap saat berkampanye. Bukan tidak menjadi diri sendiri, tapi tidak menonjolkan kekonyolan dan kebiasaan buruk di tempat umum. Lebih serius dikitlah. Tau waktu kapan lw harus “tanpa topeng”, kapan harus berusaha sedemikian rupa untuk menampilkan citra dan sikap yang tepat

4. 4.Karena gw uda bukan wakil ketua dengan segudang kegiatan yang menyita waktu, gada alasan buat gw ga mencapai IPK diatas 3,5 semester ini. Mungkin Tuhan ingin nilai akademis gw lebih bersinar di 2 semester ini, jadi dia membelokkan gw menjadi hanya menjabat anggota.

5. 5.Gw bisa punya sedikit lebih banyak waktu ketimbang apabila gw terpilih jadi wakil HMJ. Gw bisa nulis blog, novel, jalanini bisnis lagi, cuwawa-cuwiwi dengan sobat2ku, and of course waktu untuk si nona (wish me luck supaya in a relationship ya! Hahaha)

6. 6.gw uda punya pengalaman bagaimana merumuskan dasar2 organisasi, berkampanye, berkomunikasi massa, dll.

7. 7.Gw jadi eksis mendadak. Poster dan gambar gw terpampang di madding kampus. Tak pelak banyak anak2 2010 khususnya cewe yang ngajak kenalan. HAHAHAHA. Gw juga masuk ke dalam lingkaran pergaulan baru. Teman2 baru dimana sebelumnya gw ga pernah ngimpi bisa kenal gw juga seperti Ka Shirley, Ka Engge, misalnya. Teman2 2008nya Tasha. Juga Tasha sendiri! Hahaha

8..

8. The most important thing is, gw harus tulus dalam menjalankan tugas dan amanah. Meskipun gw niat dan bukan isapan jempol belaka akan kerja keras buat ilkom, tapi gw masih tidak bersih dari niat transaksional dalam bekerja. which is seperti tawaran menggiurkan eksistensi misalnya, atau manisnya sweet revenge. Ga itu salah! gw harus rendah hati! berzikir (klo kata org Islam). Gw harus bekerja dengan tulus dan hati yang bersih, maka hal2 itu akan datang dengan sendirinya. :D

Well I guest itu semua yang harus gw katakan. Sincerely I congrating Vicky and Ciseh become president and vice president of I’M KOM. Semoga kita bisa bekerja sama membangun Ilkom dan kampus menjadi lebih baik. Wish u all the best. Godbless! :D Well like I said before, “I still have to fight!”

Ad Maiorem Dei Gloriam

Wednesday, November 17, 2010

I'M Kom (HMJ ILKOM UMN) : First politics and campaign experience

Pertama kalinya gw terjun dalam dunia "politik". Gw ngatur strategi, gw ngeliat lawan gw ngapain, gw kampanye. Hahaha.

Haah...sungguh 2 minggu yang melelahkan

Tetap semangat buat ilkom! :D







Besok pengambilan suara. wish us luck!

Sunday, November 14, 2010

Sabilah!

Sabilah! (baca: bisalah!)

Gw berulangkali menguatkan dan meyakinkan diri, gw pasti BISA!

Gw sedang berkampanye memperebutkan posisi wakil ketua HMJ di kampus.

Sibuk menyiapkan. Ada banyak tekanan disana-sini. Kekhawatiran bahwa gw ga bisa memenuhi mereka pun menyeruak. khawatir bahwa gw akan menjadi just another bullshit in this system

Gw tahu apa yang harus gw lakukan. Gw ngerti banget apa yang terjadi. Selalu gw pikirkan selama seminggu ini. Gw pun uda ketemu solusinya. Gw punya partner yang sangat luar biasa, teman2 lain yang siap mendukung. Intinya gw siap banget untuk kerja.

Tapi gw cuma manusia biasa, yang punya rasa takut.

Fiuhh...untung banyak pihak yg mndukung. I really appriciate that!

Satu hal lagi, si nona, ngewall gw dluan, kita pun sms-an lagi setelah 3 tahunan vakum. eh dket lg dh sama gw. hahahaha. Oasis di padang gurun

Gw serahkan semuanya pada Tuhan, dia tahu yang terbaik untuk gw. hehehe :D

So Here I am

Flashback ke 8-12 tahun yang lalu. Waktu gw cuma seorang anak SD yang sangat freak maen game. Pulang sekolah dari jam 1 maen sampe jam 6, 7 hari dalam seminggu, 12 bulan dalam setahun. Seorang maniak game! Nilai raport berantakkan dan selalu calon veteran (khususnya kelas 5 SD gw inget banget!) Tukang dipanggil guru karena bermasalah kalo rapotan. Selalu jadi biang keributan di kelas. Ekstrem!

SMP setali tiga uang, tapi ada kemajuan dikit. Gw ud bukan cavet, nilai gw pun membaik, gw pun sempet mengenyam jabatan ketua kelas selama satu semester *bangga! Gw mulai bersosialisasi dengan banyak teman, melalui alat ekskalasi sosial bernama "BAND". Tapi gw tetep bermimpi melihat temen2 gw yang ranking dan berprestasi. Kapan ya gw kayak mereka? Ga usah jauh2 deh, gw liat kakak gw aja, nilainya ga pernah mengkhawatirkan.

SMA, titik balik hidup gw. SMA Gonzaga! disanalah gw mengalami revolusi diri! Membuat gw menjadi seorang yang berkarakter. Ada isinya. Gw ga tahu deh apa jadinya gw kalo ga sekolah disitu. Ga pernah berhenti gw mengagumi almamater gw ini, karena merekalah gw jadi seperti ini. Banyak hal yang terjadi disana.

Kurikulum disana bukan pengajaran tapi pendidikan. Bedanya? Pengajaran adalah siswa yang penting tahu, kalo pendidikan itu siswa dibentuk menjadi sebuah pribadi. Pendidikan yang diterapkan disana berbeda dari yang biasa, tentu saja hasilnya diluar biasanya (baca: luar biasa) Kita dibolehkan gondrong, . Kita diberi kebebasan namun tetap bertanggung jawab.

Pertemuan gw dengan guru sosiologi gw, AGUS DEWA IRIANTO, mengubah banyak hidup gw. Dya itu ngajarin anaknya cara pake otak, bener gw ga berlebihan, sebelum bertemu dya gw ngerasa otak gw ini lelet banget, kopong, garing. Habis ketemu dia gw ngerasa ngerti cara make otak, dan gw ngerasa "selama ini otak gw ngapain aj?" hahaha. Berpikir tuh harus logis, sistematis, runut. Dia ngajarin kita cara variabel bebas dan terikat, cara brainstorming, dan berbagai bekal berharga untuk hidup.

Pak Dewa itu selalu menantang siswa2nya seperti dengan istilah, "ANAK GONZAGA ITU CEMEN!!! GONDRONG DOANG GADA ISINYA", dia ingin kita itu merasa terhina, saat itulah kita bangkit dan bersemangat dan membuktikan diri bahwa kita itu bisa.
Dia selalu membanding2kan kita dengan sekolah lain. Dia ingin kita memiliki semangat unggul, lebih dari semuanya, kompetitif. Harus pintar, berkarakter, ada isinya. Harus sering liat keluar jangan kayak kacamata kuda

"Mau jadi apa anak SMA ga pernah baca?". Stelah dia ngomong itu, pipi gw rasanya kayak ketampar! Percaya apa ga, gw langsung rajin melahap semua bacaan, padahal mah dulunya gw maless banget baca

"Anak pak dewa itu ga ada yang takut sama PL", dia mengajak kita untuk berani, bukan untuk berkelahi. Melatih mental.

Di SMA jugalah, pertama kalinya dalam hidup, gw mengecap rasanya menjadi juara. Berkali-kali bahkan *pamer karena bangga! hehehe :D Panggung festival band dimana pun kita kuasai. Gw belajar semangat unggul, mental juara, kerjasama tim di band. Gw pun belajar ketegasan dan mengambil sikap disana, yaitu pas gw ngambil keputusan untuk cabut (ada deh alasannya, karena satu dan lain hal. Kapan2 akan gw bahas di post lainnya)

Wah kok jadi ngomong SMA gw ya? itu laen kali aj deh d post

Pas SMA pun gw masih bocah ingusan yang sedang mencoba mengembangkan sayapnya. Saat dimana gw mulai berani bermimpi. Saat dimana gw mulai terbang untuk memeluk mimpi2 itu. Masa-masa pencarian jati diri gw. Dimana galau adalah makanan sehari2 gw. Dimana kritis cenderung naif adalah agenda gw saban waktu. Mempertanyakan ini itu. Idealis mentok! Pengembangan diri adalah cabuk gw tiap hari

Syukurlah semua terlewati dengan baik

Impian akan menjadi JURNALIS...

Kuliah. UMN. 2 smester katam dengan IPK yang sangat membanggakan (menurut gw) Dimana saat SD pun gw ga pernah ngimpi untuk meraih nilai setinggi ini. Bahkan saat SMA pun nilai merah pun masih akrab di lembaran raport gw. Tapi pas kuliah, tidak kubiarkan satu tetes tinta merahpun terjatuh di lembar raport gw. Gw pun melesat mengejar mimpii gw:JURNALIS

Gw lebih aktif menulis, juga membaca. Diskusi dengan dosen, dan sejumlah teman yg kritis. Gw pun ikut sebuah bisnis untuk mencari uang sendiri. Keluar masuk siaran TV. Masih aktif ngeband. Ikut lomba debat mahasiswa di Jak TV.

Gw telah berubah total! bahkan dalam setahun pun, semua teman SMA gw pun kaget.
"Ini si Bene? Rajin banget!"
"Bene si laskar gonz? anjrit! makan apa loe Ben?"
"Asik dah sibuk sekarang, cari duit"
"Gila lw Kris, yakin nih masih lw teman SMP gw yang suka nyoret tembok orang bareng?"

Sumpah demi Tuhan itu ga gw karang2, itu semua kata temen2 gw.

Bahkan bapak gw pun bilang, "Ajaib, dulu kamu setiap rapotan selalu bikin deg2an, sekarang nilai B aja lebih dikt dari A". *bangga banget gw denger ini. Thanks Pah! :D

So here I am, gw kandidat wakil ketua himpunan mahasiswa jurusan. Fiuuhh...ini puncak karier keorganisasian gw. Sebelumnya gw cuma level anggota. Paling mentok jadi ketua laskar gonz yang secara kelembagaan santai dan tidak bisa disebut lembaga formal. Tapi liat gw sekarang! Dulu pas SD, SMP, ditunjuk jadi ketua pun gw selalu mengelak. hahaha. Infantil!

So here I am, still have to fight!

*Maaf kalo postingan ini kental dengan aroma narsis. Coba pahamilah kalau anda berada di posisi saya. Seorang pecundang yang berubah menjadi pemimpin!

Sunday, November 7, 2010

Kebebasan Pers, Sebuah Euforia Era Reformasi


Saat Orde Baru (Orba) berkuasa, kental diingatan banyak orang bahwa berpendapat dan mengkritisi pemerintah merupakan hal yang diharamkan. Banyak aktivis, mahasiswa, tokoh-tokoh yang kritis ditangkap, dijadikan tahanan politik tanpa sidang, diasingkan, dihilangkan, bahkan diambil nyawanya. Sebut saja seperti penulis kawakan Pramoedya Ananta Toer yang ditangkap dan diasingkan karena buku yang ia tulis, tetralogi Bumi Manusia, di anggap oleh pemerintah orba sarat ajaran komunis. Hal senada juga terjadi pada media. SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan dan Percetakkan) dijadikan senjata ampuh negara untuk membungkam media. Media yang kritis dan vocal tidak segan-segan dicabut SIUPP-nya, dibredel, dilarang terbit. Majalah Tempo nampak sudah kenyang oleh pengalaman ini. Juga dikenal organisasi profesi jurnalistik bikinan negara, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), yang fungsinya mengawasi setiap media yang dianggap “mbeling” saat itu. Masa dimana kebebasan berpendapat dibungkam system pers otoritarian.

Sejak rezim “otoriter” orde baru digulingkan, Indonesia memasuki babak baru kehidupan sosial politik yaitu era reformasi. Terdiri dari kata ‘formasi’ yang artinya susunan ditambah imbuhan re- yang artinya mengulang kembali, reformasi merupakan era dimana format-format perangkat kenegaraan, peraturan serta undang-undang diatur kembali dalam rangka menciptakan tatanan hidup bernegara yang lebih ideal.

Reformasi sarat dengan agenda perubahan. Mulai dari perubahan system sosial politik dimana demokrasi digaungkan sebagai azas negara, pelucutan kekuatan militer angkatan darat, meningkatnya toleransi agama dengan disahkannya imlek sebagai hari libur nasional, juga termasuk di dalamnya pengesahan undang-undang kebebasan pers dalam rangka melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Mengacu pada teori demokrasi Thomas Aquinas, bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi, selain lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif (trias politika). Maka kebebesan pers merupakan syarat mutlak bagi Indonesia untuk menjadi negara demokrasi. Karena pada prinsipnya demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Pers berperan sebagai watchdog trias politika, menjaga agar pemerintahan tetap pada jalurnya, yaitu dalam rangka mensejahterakan rakyat.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dengan disahkanya Undang-Undang ini, dunia pers jurnalistik menghirup aroma kebebasan setelah “terbelunggu” selama puluhan tahun dalam rezim orba. Tidak seperti dulu yang selalu was-was, Pers bebas memberitakan, berpendapat, bahkan mengkritis pemerintah. Masyarakatpun memiliki hak untuk berekspresi, berpendapat, juga mengkritisi pemerintah.

Lebih lanjut disebutkan dalam pasal 5 UU No.4 tahun 1999 bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan berita dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah.

Pasal kelima UU No.4 tahun 1999 ini, ingin menunjukkan bahwa system pers di Indonesia adalah system pers bebas bertanggung jawab. Sistem pers yang memiliki tanggung jawab sosial (Social Responsibilty Theory). Jadi pers bebas melakukan pemberitaan dan mengkritis pemerintah namun tetap dalam koridor-koridor “kepantasan”, karena pers juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial khalayak masyarakat.

Namun pada kenyataannya pemberitaan di media seringkali kebablasan. Terlalu vulgar dan cenderung mengarah pemberitaan yang merugikan pihak-pihak tertentu seperti pencemaran nama baik, pelanggaran privasi sumber pemberitaan, dan lain sebagainya.

Di media cetak, judul headline-headline dan artikel surat kabar makin kritis bahkan keterlaluan dan cenderung pada pencemaran nama baik. Seperti contohnya yang terjadi pada harian Kompas, Jumat, 5 November 2010, yang mengatakan “Hati DPR Tumpul”. Ada pula cover majalah Tempo, 29 Juni 2010, yang mengatakan “Rekening Gendut Polisi” ditambah dengan ilustrasi gambar seorang polisi sedang membawa celengan berbentuk babi.

Tidak hanya itu,isi artikelnya pun banyak yang dengan terang-terangan mengarahkan kritik kepada yang bersangkutan. Penggunaan kata sindiran lazim digunakan, bahkan sarkastikpun sering menguap di halaman surat kabar.

Masyarakat pun kini makin kebablasan dalam mengemukakan pendapat. Sebut saja ketika demonstrasi yang terjadi 28 Januari 2010, menuntut ketegasan dan kecekatan presiden mengambil keputusan. Para demonstran membawa seekor kerbau di area demonstrasi, mereka mengkritik presiden SBY lambat seperti seekor kerbau. Ada pula kasus yang masih hangat baru-baru ini, yaitu artis kawakan Pong Harjatmo mencoret atap gedung DPR dengan tulisan “Jujur, Adil, Tegas”.

Bisakah pers dan masyarakat secara terang-terangan “menghina” suatu pihak dan instansi pemerintah? Bukankah sudah ada undang-undang pencemaran nama baik? Bukankah mereka bisa terjerat undang-undang tersebut?

Hal tersebut terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Buku kedua-kejahatan, bab XVI, Pasal 310 yang berbunyi:

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Memang benar ada undang-undang pencemaran nama baik, namun kebebasan berpendapat tersebut dilindungi oleh undang-undang kebebasan pers. Kedua undang-undang ini memang saling berbenturan. Adapula rancangan undang-undang rahasia negara yang berpotensi akan menjadi UU tandingan kebebasan pers dalam “mengubek-ubek” rahasia negara.

Berdasarkan UU No.4 tahun 1999, pers memang berhak dan bebas melakukan pemberitaan dan kegiatan jurnalistik. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana dan apa saja batas-batas koridor kepantasan dalam pemberitaan tersebut? Maka dari itu selalu mucul perdebatan mengenai batas-batas kebebesan pers, dimana AJI (Aliansi Jurnalis Independen) organisasi profesi tandingan PWI, selalu memperjuangkan hal ini.

Bila dianalisis secara kritis, hal ini terjadi karena pers Indonesia telah terlalu lama “dibungkam”, sehingga ketika mereka diperbolehkan bersuara, keluarlah teriakan. Era dimana informasi dapat dengan bebas beredar, dimana berpendapat bebas dilakukan. Kebebasan pers, merupakan buah euphoria era reformasi.