Thursday, August 28, 2014

It's always nice to come back there

Saya selalu senang kembali ke tempat ini. Literaly, and meaningly. 4 tahun yang menyenangkan buat saya. Berkembang, suka, duka, cinta, dedikasi, dibenci, disegani, dihargai, dinanti... walah akeh-lah. Kampusku. Gombal? ben wae, nyatane aku seneng kok bola-bali ning kene! hahaha

Saya selalu suka udara sore seperti dahulu saat pulang kuliah. Bedanya dulu bermobil sekarang bermotor. Dulu musik mengalun, sekarang saya bernyanyi.

5 tahun lalu jadi MABA, dan Selasa kemarin saya (serasa kek alumni yang bener aja) ngasih ceramah soal hidup jdi mahasiswa ilkom UMN. hahaha makasih ya I'M Kom atas kepercayaannya.

It's always nice to come back there! :)

Genderang Perang Bernama MEA

Namanya Soedirman. Meskipun penyakit Tuberkulosis menggerogoti tubuhnya, ia terus memimpin pasukannya mengusir penjajah. Perkenalkan namanya Thomas Matulessy atau lebih akrab dipanggil Kapitan Pattimura. Bersama pasukannya, ia berhasil menghancurkan benteng pertahanan Belanda, Benteng Duurstede. Dari ujung Barat Indonesia, kita mengenal Cut Nyak Dien, yang berjuang melawan Belanda sampai akhir hayatnya. Tak terhitung juga pahlawan lainnya yang rela pertaruhkan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia.
Bertahun-tahun yang lalu para pejuang gugur demi dalam peperangan mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Bagaimana dengan kita saat ini?
Seperti yang kita ketahui bersama, tahun depan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kesepakatan tersebut menandai pasar bebas di kawasan Asia Tenggara. Implikasinya, akan terjadi kebebasan perdagangan dan arus pertukaran tenaga kerja di Asia Tenggara. Artinya barang-barang impor dan tenaga kerja asing bakal lebih bebas masuk. Namun juga sebaliknya barang-barang produksi dan tenaga kerja dalam negeri juga bisa lebih mudah keluar ke negara-negara Asia Tenggara.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta orang dan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen per tahun merupakan pasar yang sangat potensial, baik untuk pelaku usaha dalam maupun luar neger. Kesepakatan MEA ini ibarat pisau bermata dua. Apabila kita bisa mempersiapkan diri dengan baik, Indonesia bisa menjadi rajanya Asia Tenggara di bidang ekonomi. Barang-barang produksi dan tenaga kerja Indonesia bisa tersebar di seluruh negara Asia Tenggara. Namun sebaliknya, apabila kita tidak mempersiapkan diri dengan baik, Indonesia bakal kembali "terjajah" dengan gempuran barang-barang impor, tenaga kerja dan berbagai kepentingan pihak asing. Agaknya tidak berlebihan jika MEA disebut sebagai "perang" untuk generasi saat ini.

Pertanyaannya, apakah Indonesia, khususnya sektor Industri sudah siap menghadapi MEA?
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, baru sekitar 31% dari total sektor industri manufaktur yang memiliki daya saing pada masyarakat ekonomi Asean yang akan dimulai akhir tahun depan.

MS Hidayat, Menteri Perindustrian mengatakan bahwa daya saing industri manufaktur nasional dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) baru mencapai 31%. Angka tersebut diperoleh dari 3.998 pos tarif yang terdiri dari berbagai sektor industri manufaktur, baru 1.250 pos tarif atau 31,26% sektor industri yang dinyatakan siap menghadapi MEA. "Sisanya masuk dalam kategori rendah, dan diperkirakan bakal mengalami kesulitan saat MEA dilaksanakan," ujar Harjanto, Direktur Basis Industri Manufaktur Kemenperin..

Ia menjelaskan penghitungan daya saing itu dilakukan dengan menghitung nilai ekspor, impor dan penghitungan indeks dan tren dari Revealed Competitive Advantage (RCA). Setelah menghitungnya, Kemenperin melakukan pemetaan pos tarif sektor industri manufaktur tersebut dalam empat kelompok yaitu sektor industri kelompok K1, K2, K3, K4.

Kelompok K1 memiliki nilai paling tinggi. Adapun indikatornya adalah memiliki ekspor di atas US$ 10 juta dan impor di bawah US$ 5 juta dan memiliki indeks dan tren RCA positif. Sementara kelompok K2, memiliki indikator yang serupa dengan kelompok K1, namun memiliki tren RCA yang negatif. Sektor industri yang tergolong K1 dan K2 adalah industri logam, karet, tekstil, makanan dan minuman, serta otomotif.

Adapun untuk kelompok K3 adalah kelompok industri yang memiliki nilai ekspor dibawah US$ 10 juta dan impor diatas US$ 5 juta, dengan indeks RCA negatif namim tren RCA postif. Sementara itu untuk kelompok K4 adalah kelompok industri yang nilai ekspornya di bawah US$ 10 juta, dan impor di atas US$ 5 juta, serta memiliki indeks serta tren RCA yang negatif. Sektor industri yang masuk dalam kategori K3 dan K4 adalah industri semen, industri keramik dan industri pakaian jadi.

Hidayat mengatakan berdasarkan perhitungan tersebut pihaknya akan memilah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ofensif dan kelompok defensif. "Kelompok industri yang tergolong ofensif adalah kelompok industri yang kami andalkan untuk ekspansi dan rebut pasar luar negeri. Sedangkan kelompok industri defensif adalah kelompok industri yang kami andalkan untuk pertahankan pasar dalam negeri," terang Hidayat.

Kelompok industri yang tergolong ofensif adalah industri logam, karet, tekstil, makanan dan minuman, serta otomotif. Sedangkan kelompok industri yang defensif adalah industri garmen, alas kaki, semen dan keramik.

Suryo Bambang Sulisto, Ketuam Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia mengatakan salah satu cara untuk menjaga Indonesia agar tidak digempur produk negara lain adalah dengan menerapkan dan menggalakkan standar nasional Indonesia (SNI).

Achmad Widjaya, Vice Chariman Committee on Standardization and Quality Kadin Indonesia, mengatakan bahwa makanan dan minuman ini paling gampang diserang isu soal standarisasinya. Selain itu pihaknya juga mengatakan setelah industri makanan minuman, sektor yang perlu segera ditetapkan standarisasinya adalah industri keramik dan kaca. Achmad menjelaskan produk dalam negeri dari dua sektor industri ini ketat persaingannya dengan produk dari luar negeri. "Pesaing terkuat datang dari China, ancaman terdekat datang dari Vietnam," ujar Achmad.

Berdasarkan data World Bank, kekuatan ekonomi Indonesia berada di peringkat 16 di dunia dan terbesar di antara negara ASEAN. Kontribusi PDB Indonesia mencapai 38,67% dari total PDB negara ASEAN. Namun di sisi lain, tahun ini peringkat daya saing Indonesia di posisi 38 di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia di nomor 120, jauh di bawah Vietnam. Rendahnya daya saing bisa mengakibatkan Indonesia hanya menjadi tujuan pasar bagi negara tetangga.

Franky Sibarani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia mengatakan bahwa pada dasarnya industri manufaktur Indonesia memang tidak terlalu kuat. Pasalnya industri ini masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu adalah masih tingginya ketergantung industri dengan bahan baku impor, mahalnya biaya energi, mahalnya biaya logistik, mahalnya bunga bank untuk pendanaan, serta masalah pengupahan dan ketenagakerjaan. "Meskipun itu bukan indikator satu-satunya soal daya saing, tapi saya kira masalah-masalah inilah yang menghambat pertumbuhan daya saing industri," ujar Franky pada Minggu (6/7). Selain itu ia mengatakan ada kesan dari pemerintah tidak solid mempersiapkan Indonesia menghadapi MEA, dan ada kesan bahwa pemerintah menelantarkan pengusaha berjuang sendiri menghadapi MEA.
Ia mengatakan alih-alih ada wacana membatalkan MEA, Indonesia justru harus segera membenahi diri untuk meningkatkan daya saing. "Sulit untuk membatalkan MEA," ujar Franky. Untuk bisa mengejar daya saing Franky mengatakan pemerintah yang mendatang harus bisa membenahi hal-hal tersebut. "Dorong kebijakkan untuk kepastian bahan baku, biaya logistik murah, beban energi murah, dan bunga bank yang murah," ujar Franky

Hidayat mengatakan bahwa daya saing industri merupakan pekerjaan yang harus terus menerus ditingkatkan. Ia mengatakan bahwa dalam Undang-Undang No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian adalah dasar persiapan Indonesia untuk sektor industri hingga 20 tahun ke depan. "Jadi kalau undang-undang itu bisa dijalankan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah turunan UU itu, itu adalah roadmap industri nasional yang untuk 20 tahun ke depan. Itu menjadi semacam GBHN [Garis Besar Haluan Negara] di bidang industri," ujar Hidayat. 

Siap tidak siap, Indonesia bakal memasuk medan peperangan bersama negara Asia Tenggara lainnya dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Indonesia harus bergegas berlari mempersiapkan diri agar keluar sebagai pemenang dalam 'peperangan' era kini.
 
---------------------------------------------------------------------------------------
Naskah asli berita yang kukirimkan ke kantorku untuk terbit 26 Agustus 2014

Jalan Panjang Menuju Kemandirian Industri



"Proklamasi. Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta 17 agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno Hatta."

Demikian presiden pertama Indonesia, Soekarno, menghembuskan sabda proklamasi ke bumi Indonesia. Proklamasi kemerdekaan merupakan sebuah pernyataan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka, bebas dari segala penjajahan. Apakah betul demikian kenyataannya setelah 69 tahun berselang?

Mari kita temui Bayu (28) karyawan swasta ini, pada akhir pekan kemarin, mengunjungi sebuah gerai ritel modern penjualan telpon genggam. Di rak pajangan produk, tampil berdampingan produk ponsel dalam negeri dan ponsel produk luar negeri yang diimpor dari luar. Tak butuh waktu lama, dia mengambil sebuah ponsel produk luar tersebut.

"Lebih bergengsi kan kalau dipakai dan dilihat orang," ujar Bayu. Padahal fitur ponsel lokal dan ponsel luar negeri itu tidak jauh berbeda. Harga jual yang ditawarkan pun cukup bersaing.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, jumlah ponsel impor di Indonesia pada 2013 sebesar 62,03 juta unit. Budi Darmadi, Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian mengatakan bahwa jumlah impor ponsel itu mengisi 90%-95% kebutuhan ponsel dalam negeri. Sisa 'kue' penjualan ponsel itu diperebutkan oleh sekitar lima pabrikan ponsel dalam negeri. Adapun sejak awal tahun ini hingga semester pertama berakhir, impor ponsel di Indonesia mencapai 27,33 juta unit.

Menanggapi soal ini pemerintah sudah melakukan langkah seperti pemberdayaan dan peningkatan kapasitas produksi ponsel dalam negeri, mengundang investor asing untuk membuka pabrikan ponsel mereka di Indonesia agar menekan impor ponsel dan membuka lapangan pekerjaan, sampai dengan wacana pemberlakuan wacana pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk ponsel guna menakan ponsel. Khusus untuk usaha pemerintah yang terakhir itu, berdasarkan pengalaman 4-5 tahun lalu ketika PPnBM dikenakan untuk ponsel, alih-alih mampu tekan impor, malah Indonesia kebanjiran ponsel ilegal. Walhasil impor ponsel masih merajai Indonesia.
Mari kita tengok sektor industri lain. Industri seng alumunium juga merasakan hal serupa soal gempuran produk impor di Indonesia. Berdasarkan data dari Zinc Alumunium Steel Industries (IZASI) kebutuhan seng alumunium dalam negeri tahun 2013 adalah 500.000 ton.
Sementara pada 2013, impor seng alumunium adalah sebesar 321.065 ton. Angka tersebut setara dengan 64,21% dari total permintaan dalam negeri. Adapun negara importir berasal dari Vietnam, dan Taiwan. Pangkal persoalannya adalah di negara-negara importir pasarnya sudah jenuh, sehingga mereka mengimpor ke Indonesia dengan harga lebih murah daripada produk dalam negeri.

Padahal jika ditilik dari kapasitas produksi seng alumunium dalam negeri, sudah cukup untuk penuhi kebutuhan dalam negeri. Kapasitas produksi dalam negeri untuk seng alumunium adalah 560.000 ton per tahun. Namun utilitas industri hanya 30%-40%. Industri tidak bisa memproduksi lebih tinggi lagi, karena tidak ada pasar yang menyerap. Izasi sendiri sudah mengusulkan kepada pemerintah mengenai pembatasan impor sejak Desember 2012, namun sampai saat ini beleid itu belum juga terlaksana.

Catatan saja, seng alumunium adalah industri perantara dalam industri baja. Adapun produksi seng alumunium itu akan digunakan untuk jadi atap rumah, dan kebutuhan bahan bangunan lainnya.

Industri ponsel, dan industri seng alumunium, hanya salah sedikit gambaran mencolok dimana produk dalam negeri masih kalah bersaing dengan produk impor. Sektor-sektor industri lain juga mengalami nasib yang tidak berbeda. Produk dalam negeri terus digempur produk-produk impor.

Namun kita juga tidak boleh tutup mata pada industri yang mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Misalkan industri alas kaki dalam negeri, yang mampu menekan impor hanya 3%-4% dari total pasar alas kaki Indonesia.

Lalu apakah artinya Indonesia belum mampu mengeluarkan produk yang dipakai dalam negeri? Jawabannya sudah dan banyak. Tapi permasalahannya, bahan baku industri manufaktur untuk menciptakan produk dalam negeri Indonesia masih bergantung pada impor juga.

Kebutuhan bahan baku yang berasal dari impor mendera mulai dari hulu sampai hilir berbagai sektor industri. Sebagai contoh industri petrokimia misalnya, bahan baku di industri kimia dasar seperti naphta, sebesar 80%-100% masih mengimpor. Padahal hasil olahan petrokimia dapat menjadi bahan baku industri plastik dan kemasan, industri pemintalan benang yang berujung pada garmen, sampai pupuk.
Adapun sektor industri yang disebut-sebut sebagai induknya sektor industri sebagai besi dan baja pun harus impor. Bahan baku produksi mereka seperti batu bara masih 100% impor karena harus penuhi spesifikasi kalor khusus, selain itu bijih besi sekitar 95% juga masih impor. Untungnya salah satu bahan baku seperti batu kapur masih 100% dari dalam negeri. Produksi besi baja ini bisa digunakan untuk sektor konstruksi, galangan kapal dan berbagai industri alat berat lainnya.

Bisa dikatakan hampir seluruh sektor industri harus mengimpor untuk bahan baku produksi mereka. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor barang bahan baku di Indonesia pada Januari-Juni tahun ini sebesar US$ 68,81 miliar atau setara dengan 76,48% dari total impor keseluruhan yang mencapai US$ 89,97 miliar.

Padahal impor sangat rentan dengan nilai tukar rupiah dibandingkan dollar. Seperti diketahui, sejak pertengahan tahun lalu, mata uang Garuda mengalami pelemahan dari kisaran Rp 9.000 per satu dollar jeblok ke equilibrium baru kisaran Rp 11.300 - Rp 11.800 per satu dollar. Alhasil industri yg bergantung pada bahan baku impor, langsung mencatat raport merah di laporan keuangan mereka. Untuk tutupi beban akibat pembengkakkan nilai kurs, perusahaan pun mengerek harga jual. Akhirnya konsumen yg harus menanggung kenaikkan harganya, dan menurunkan daya beli masyarakat.
Mengapa industri dalam negeri masih sangat bergantung pada impor? Pangkal persoalannya adalah industri penunjang bahan baku atau barang modal belum bisa menopang industri manufaktur. Alhasil, industri masih harus bergantung pada impor. Memang juga sudah terdapat industri penunjang yang memproduksi bahan baku, tapi karena volume produksinya kurang, sehingga harga satuannya menjadi mahal, alhasil pengusaha lebih memilih mengimpor saja.

Franky Sibarani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia mengakui bahwa industri dalam negeri masih mengandalkan bahan baku dari dalam negeri. "Saya melihat kebijakkan pemerintah masih minim untuk mendukung pasokan bahan baku," ujar Franky. Ia melihat kebijakkan bahan baku seharusnya diutamakan dahulu untuk sektor dalam negeri. Ia juga melihat perlu pembenahan hulu ke hilir, baik industri penunjang dan industri manufaktur supaya bisa makin mandiri.
MS Hidayat, Menteri Perindustrian pun mengakui hal serupa. "Itu salah satu pekerjaan rumah kita," ujar Hidayat. Ia mengatakan pembenahan soal bahan baku tersebut sudah tertuang di UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Disana disebutkan akan dibahas Rencana Peraturan-Perundangan (RPP) yang membahas lebih detail mengenai pengadaan bahan baku industri.

Dia mengatakan bahwa pembenahan persoalan bahan baku tersebut perlu koordinasi dengan kementerian lain. Sebagai contoh pengaturan kebijakkan insentif fiskal menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan (kemenkeu), insentif itu perlu untuk mengundang investor untuk membangun industri penunjang di dalam negeri. Selain itu mengatur pasokan sumber daya alam seperti gas alam untuk bahan baku industri keramik dan pupuk misalnya, hal itu berada di bawah kewenangan Kementerian Sumber Daya Alam dan Mineral. Agaknya lemahnya koordinasi dan kuatnya ego sektoral masing-masing kementerian jadi salah satu persoalan lambatnya pemecahan persoalan ini.

Mengenai membanjirnya barang impor jadi, pemerintah juga sudah mengeluarkan seruan mengenai Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). "P3DN itu perlu ditingkatkan. Misalkan nanti akan ada instruksi kepada seluruh instansi pemerintah untuk pakai produk dalam negeri, seperti mejanya, keramiknya misalkan. Nanti akan ada di RPP yang mengatur sanksi soal pelanggaran instruksi tersebut," ujar Hidayat.
Pihaknya juga menggalakkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk memproteksi produk dalam negeri supaya tidak kebanjiran impor. Sudah bukan rahasia lagi, barang jadi impor memang lebih murah, namun kualitasnya dipertanyakan. Maka untuk melindungi konsumen dan menekan impor, pemerintah berlakukan SNI di beberapa sektor industri seperti industri mainan anak misalnya.

Akhir kata, sebetulnya menggunakan barang impor bukanlah suatu 'dosa' dan tidak dilarang. Impor sah-sah saja dilakukan jika memang untuk penuhi kebutuhan yang belum dipenuhi dalam negeri. Namun apakah kita perlu sebegitu bergantungkah hingga terbelenggu dengan barang impor? Sampai kapan kiranya kita mau seakan 'terjajah' seperti ini? Selamat ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke 69.

------------------------------------------------------------
Merupakan naskah asli berita yang kukirimkan ke kantorku untuk terbit 19 Agustus 2014