Saya pernah bermimpi tinggi.
Jalan-jalan keluar negeri, sekolah lagi di luar negeri, punya mobil dan rumah bagus yang ada studio bandnya buat nongkrong anak2 juga perpustakaan karena saya telah jadi wartawan kenamaan tempat untuk diskusi ya ala-ala BBJ atau salihara gitu, dllsb-nya.
Itu bagus.
Tapi makin kusadari, impianku yg terluhur dan terkuat itu sederhana saja.
Menikah, berkeluarga, punya pekerjaan yang layak dan gaji yang cukup, merawat anak-anak, keluargaku bahagia, bapak-ibuku dan kakakku semuanya bergembira hidup tanpa beban.
Itu saja impianku. Semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpi umatnya. Godbless us
*ditulis malam hari kebangun, habis baca epaper koran kantor lalu berupaya beranjak tidur lagi
Reportase Jurnalistik, The Story Behind The News, Opini dan Idealisme, Karya Sastra, Catatan Perjalanan dan Kehidupan.
Thursday, December 8, 2016
Tuesday, July 26, 2016
Resep Jitu Blink-182 untuk Kembali ke Puncak
Album baru Blink-182: California (1 Juli 2016) |
Pergantian personil dalam sebuah band, apalagi vokalis dengan suara khas, tentu menimbulkan kekhawatiran pada penggemar bahwa band akan berubah. Kekhawatiran akan terjadi perubahan gaya baru yang segar namun tidak disukai penggemar atau sebaliknya. Pilihan lainnya, setia bermain dengan gaya lama dan berharap tetap menarik penggemar.
Opsi terakhir itulah yang dipilih band punk-rock-pop, Blink-182, dalam album terbarunya yang bertajuk California. Sempat diragukan penggemar karena keluarnya sang vokalis cum gitaris, Tom Delonge, California bertengger di peringkat pertama album terbaik di Inggris seperti dikutip situs Officialcharts. Album ketujuh Blink-182 ini mampu menyisihkan album 25 dari Adele di peringkat kedua, dan album A Head Full of Dreams oleh Coldplay di peringkat ketiga.
Prestasi itu diraih bahkan hanya seminggu setelah album mereka resmi beredar 1 Juli lalu. Ini adalah kali pertama bagi band asal San Diego, California, Amerika Serikat, sejak terbentuk tahun 1992. Kuncinya adalah konsisten memainkan gaya lama yang jadi ciri khas mereka.
Masuknya Matt Skiba, mantan vokalis dan gitaris grup band Alkaline Trio, menggantikan Tom ternyata tidak mengubah banyak warna musik Blink-182. Bersama dengan Mark Hoppus (pemain bas dan vokalis) dan Travis Barker (pemain drum), trio ini masih menawarkan musik menghentak, nada-nada sederhana dalam balutan perpaduan vokal dua suara, dan kord-kord sederhana gitar dan bas yang mudah diingat.
Dalam tunggalan andalan album ini, Bored to Death, not dan suara gitar yang dimainkan Matt Skiba di awal lagu mirip dengan permainan gitar Tom dalam lagu Adam’s Song dari album Enema of The State, 1999. Permainan drum Travis pun membawa kembali ingatan pada lagu Feeling This dari album Blink-182 tahun 2003, dengan ketukan yang variasi dan hentakan yang cepat. Vokal dan permainan bas Mark pun tampil memberi ritme dan mengisi musik.
Meski demikian tak dipungkiri bahwa Blink-182 kehilangan Tom. Tidak ada lagi suara cempreng dengan gaya menyanyi pengejaan kata dengan lantang dan sedikit dialek Australia yang jadi ciri khas Tom.
Warna suara Matt yang tidak jauh berbeda dengan Mark dan gaya permainan Matt yang tidak jauh berbeda dari Tom, membuat seakan hanya penambah personil saja. Alhasil dari 16 lagu yang ada dalam California, suara Mark lebih banyak mendominasi. Adapun Matt lebih banyak menyanyi suara dua (alto) melatari vokal Mark.
Karakter suara Matt baru terdengar jelas saat kedapatan menyanyi bagian refren dalam lagu Los Angeles dan Teenage Satelites. Bahkan bisa dibilang, hanya lagu Los Angeles saja yang bisa memberikan panggung gambaran siapa dirinya. Sebab, lagu ini aransemennya agak beda dengan lagu lainnya dan Matt lebih mendominasi vokalnya.
Selisih pendapat
Pilihan untuk setia pada ‘jalur’ warna musik itu berbuah manis dengan kesuksesan. Padahal, karena inilah sang vokalis karismatik yang juga salah satu pendiri band, Tom Delonge, dikeluarkan dari band pada awal 2015. Tom sendiri sampai saat ini merasa belum keluar dari Blink-182.
Mengutip situs Billboard, Travis mengungkapkan, sejak beberapa album terakhir Tom ingin sekali Blink-182 menghasilkan musik seperti U2 dan Coldplay. “Mark dan saya tidak pernah ingin berubah. Blink adalah Blink, Bung. Kami ingin bermusik seperti Blink,” ujar Travis.
Travis mengungkapkan, keinginan Tom untuk mengubah warna musik Blink-182 sudah terjadi sejak proses penggarapan album Neighborhoods yang dirilis 2011. Di album ini, gebukan drum Travis tidak seheboh album sebelumnya, coba buktikan lewat lagu Love Is Dangerous. Dalam lagu Up All Night, not dan kord yang dimainkan tak biasa mereka gunakan sebelumnya. Lagu-lagu di album ini pun banyak diwarnai musik elektro, yang mirip digunakan band proyek pribadi Tom, Angel and Airwaves.
Adapun Tom sendiri jenuh dengan warna musik Blink-182 sehingga band harus membuat suara baru. “Menurut saya, kami harus terus berkembang,” ujar Tom seperti dikutip majalah Rolling Stone edisi Juni 2016. Tom sendiri kini sibuk mengerjakan kegandrungannya akan luar angkasa melalui novel yang ia tulis bersama A.K Hartley yang berjudul Sekret Machines Book 1: Chasing Shadows.
Padahal harus diakui, kekuatan Blink-182 sebelumnya adalah karena trio formasi lama itu masing-masing memiliki karakter yang kuat. Perpaduan vokal yang sama-sama unik dari Tom dan Mark diiringi dengan gebukan drum yang super cepat, enerjik, dan variatif oleh Travis. Untungnya pilihan untuk tetap setia pada akar dan benang merah musik mereka berbuah manis.
Juga diposting di : http://www.kompasiana.com/benekrisna/resep-jitu-blink-182-untuk-kembali-ke-puncak_5796159a729373373991f02e
Monday, June 27, 2016
Review Album The Gateaway - Red Hot Chili Peppers
Thursday, June 16, 2016
Terbaik Sejauh Ini
yang terbit Kompas, Rabu (15/6)
naskah aslinya
Lawan Terkuat Sang Jawara
Sejak ratusan tahun, silat atau 'maen pukul' menjadi andalan dan kebanggaan di tanah Betawi. Para jawara dan warga Betawi menggunakannya untuk membela diri dan melawan pihak kolonial Belanda. Tetapi kini para jawara dan silat Betawi dihadapkan pada lawan ‘terkuat’ yaitu perubahan zaman.
Sejak ratusan tahun, silat atau 'maen pukul' menjadi andalan dan kebanggaan di tanah Betawi. Para jawara dan warga Betawi menggunakannya untuk membela diri dan melawan pihak kolonial Belanda. Tetapi kini para jawara dan silat Betawi dihadapkan pada lawan ‘terkuat’ yaitu perubahan zaman.
Pada abad 19,
hidup jawara silat Betawi, Si Pitung. Ia menjadi legenda lantaran jasanya
merampok tuan tanah Betawi dan Master Cornelis dan membagikannya untuk rakyat
kecil. Karena aksinya ia dijuluki “Robin Hood Betawi” (Robinhood Betawi: Kisah
Betawi Tempo Doeloe, Alwi Shahab, 2001).
Kini, silat Betawi telah beralih fungsi menjadi kesenian tradisional dan olahraga bela diri semata. Berdasarkan data Persatuan Pencak Silat Putra Betawi, yang dikutip dari buku “Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi” karya G.J Nawi (2016), saat ini ada 317 aliran silat tradisional Betawi. Meski jumlahnya banyak, nyatanya silat Betawi belum menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri.
Berbeda
dengan tempat latihan ilmu bela diri asing yang biasanya berada di pusat
kebugaran, pusat keramaian, dan ruko di pinggir jalan, lokasi sanggar silat
Betawi berada di antara gang-gang kecil pemukiman Jakarta. Untuk bisa menemukan
perguruan Silat Bheksi Tradisional Haji Hasbullah (THH) di Ciledug misalnya,
harus menyusuri gang kecil berukuran sekitar 1,5 meter. Lokasinya sekitar 10
meter dari jalan raya, di balik rumah-rumah warga.
Kondisi
lokasi serupa juga terjadi di sanggar kesenian Betawi dan silat tradisional
Sanggar Si Pitung di Rawabelong, Jakarta Barat. Tidak hanya soal lokasi, namun
eksistensi silat Betawi pun kian terpinggirkan.
“Saya punya
teman, dia guru Bheksi, salah satu aliran silat tradisional Betawi. Tapi
anaknya malah lebih tertarik belajar Tae Kwon Do. Malu itu babehnye," ujar Bactiar (45), pendiri Sanggar Si Pitung, Jumat
(10/6).
"Yang lebih
serem lagi, itu teknologi, bikin
anak-anak nggak cuma lupa kebudayaan,
sholat aja lalai," lanjut pegiat
silat Betawi Cingkrik ini. Padahal, dulu warga Betawi dikenal akan dua hal
sholat dan silat.
Bachtiar
menilai, masih tradisionalnya pola pikir para pegiat silat membuat hal ini
kalah oleh zaman. Masih ada silat Betawi yang latihannya harus diam-diam di
ruangan tertutup dan malam hari. “Dulu begitu untuk menghindari Belanda. Kalau
sekarang jadi aneh. Beda dengan latihan Karate yang terbuka,” ujar Bachtiar.
Selain itu,
masih banyak pula kegiatan silat ini berjalan tanpa yayasan atau badan hukum
yang jelas membuat silat sulit berkembang. Marlian (46) dan Hendra (41) pegiat
silat Betawi Seliwa dari Kelurahan Sewan, Tangerang, tidak memiliki perguruan
yang jelas. Mereka hanya belajar pada orang-orang yang dinilai mampu silat.
Ilmu silat itu menjadi bekal Hendra yang bekerja sebagai petugas keamanan
pabrik di Tangerang.
Serangan balik
Meski demikian,
berbagai pihak tetap berusaha melancarkan ‘serangan balik’ terhadap keadaan
zaman agar bisa tetap eksis. Guru besar Silat Bheksi Tradisional Haji Hasbullah
(THH) Sabenuh Masir beberapa waktu lalu membuat Nada Sambung Pribadi (NSP) petuah
silat bekerjasama dengan Telkomsel. “Biar silat tetap ada dan terpromosikan setiap
ada yang telpon saya,” ujar Ketua Umum Silat Bheksi Tradisional Haji Hasbullah
(THH), Achmad Rofi (36) yang juga merupakan putra dari Sabenuh.
Harapan silat
ini masih bisa diteruskan ke anak-anak terlihat saat perguruannya mencatat 397
orang pada pendaftaran siswa baru Desember 2015. “Meskipun nanti juga menyusut
karena seleksi alam, tapi yang menggembirakan, mayoritas pendaftar adalah
anak-anak dan remaja,” ujar pengurus generasi ketiga THH ini rumahnya di Ciledug,
Tangerang, Jumat (10/6).
Saat ini, THH
memiliki sekitar 1.000 siswa yang aktif. Mereka tersebar di 22 cabang yang
aktif, yakni di Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Tangerang,
Tangerang Selatan, dan Depok.
Silat Betawi
juga masih kerap menunjukkan eksistensinya melalui upacara Palang pintu. “Dalam
sebulan bisa 3-4 kali kami tampilkan
Palang Pintu. Bisa untuk acara pernikahan Betawi, peresmian gedung, ulang
tahun, atau acara-acara lain,” ujar Sahroni, Ketua Sanggar Seni Setu Babakan.
Harapan untuk
mempertahankan kebudayaan silat Betawi ini tertuang dalam Peraturan Daerah DKI
Jakarta No.4/2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi yang menyebutkan
pelestarian kebudayaan Betawi diselenggarakan melalui pendidikan.
Sebelum Kompas pamit, Bachtiar menyisipkan
pantun penuh pesan. Begini bunyinya: Dari Ciawi ke cabang bungin /Ke Cipete lewat
Semanggi /Seni Budaya Betawi kudu kite kembangin/Kalo bukan kite siapa lagi// .
Setuju beh! (C11)
Sunday, May 29, 2016
Perihal mati listrik
Mati
listrik atau yang lebih akrab disebut mati lampu merupakan hal yang
menyebalkan. Sebab, kita lagi asyik-asyik beraktivitas (which is hampir
pasti kegiatan kita itu ditopang oleh listrik), tiba-tiba berhenti. Yang lagi
asyik nonton TV mendadak ditonton TV. Lagi
seru-serunya nih ‘bawa’ Ronaldo di depan gawang buat shoot, eh dia mendadak lenyap. Amsyong semua keseruan.
Harapan untuk hilangkan mati gaya bertumpu
pada gawai. Mulailah sosmed dipadati, pasang status atau ngedumel soal kinerja
perusahaan listrik milik negara yang gitu-gitu saja. Kemudian kita menunggu
teman membalas atau setidak-tidaknya merespon dengan memberikan jempol, retweet, like this, memberi hati, cendol, dan segala macam jenis instrument yang
ditawarkan sosmed.
“Ah nggak ngaruh mati lampu. Gue masih
bisa asyik kok!” Hmm… yayaya. Sepertinya mati listrik nggak masalah ya.
Sejam berlalu. Dua jam berlalu. Tiga…
empat… lima… eh kok nggak nyala-nyala
ya?
Matahari mulai terbenam. Baterei gawai
sudah makin menipis. Biar hemat baterei, segala sosmed dan aplikasi ditutup.
Sekejap kegiatan berganti menjadi menyiapkan lilin untuk terangi malam.
Setelah matahari telah paripurna tenggelam
dan ganti shift dengan bulan, mulailah
kesunyian perlahan merambat menyapa.
Sampai tahap ini, manusia dihadapkan
dengan dua pilihan. Pertama, menjadi sedemikian stress ngedumel dengan
perusahaan listrik milik negara, yang mana nggak mengubah apapun juga. Atau
yang kedua melakukan refleksi.
Dalam keheningan, semua terlihat dan
terasa lebih jernih. Saat hening, denyut nadi pun terasa betul debarnya. Detik
jarum jam seakan hentakan drum pemusik yang tengah pentas.
Mendadak manusia berfilsafat. Saya sudah
sampai mana?
Agaknya deru cepat rutinitas warga kota membuat
manusia lupa untuk berhenti sejenak. Merenungkan apa saja. Ya apa saja.
Mendalami dan menyelami apa saja. Ya apa saja.
Mungkin memang manusia itu perlu dipaksa 'shut down' sesaat untuk bisa 'berhenti' untuk melangkah kembali.
Dimana-mana Hatiku Senang
"Di sini senang / di sana senang / dimana-mana hatiku senang // lalala..lalala..lalalaa..."
Saya yakin kalian semua tahu lagu ini. Saat kanak-kanak, lagu ini sukses menjadi lagu 'wajib' yang dinyanyikan. Lagu ini memang cocok sekali untuk anak-anak. Sebab, dunia anak memang penuh kecerian. Ya dimana-mana hati anak-anak senang.
Tapi belakangan saya merasa, lagu ini punya filosofi mendalam dan terus relevan sampai seumur hidup manusia. Lagu ini sebenarnya mengajak semua orang untuk bersyukur. Sesusah apapun hidupmu, bersyukurlah, dengan begitu dimana-mana hatimu akan senang.
May God Bless us All! :D
Saya yakin kalian semua tahu lagu ini. Saat kanak-kanak, lagu ini sukses menjadi lagu 'wajib' yang dinyanyikan. Lagu ini memang cocok sekali untuk anak-anak. Sebab, dunia anak memang penuh kecerian. Ya dimana-mana hati anak-anak senang.
Tapi belakangan saya merasa, lagu ini punya filosofi mendalam dan terus relevan sampai seumur hidup manusia. Lagu ini sebenarnya mengajak semua orang untuk bersyukur. Sesusah apapun hidupmu, bersyukurlah, dengan begitu dimana-mana hatimu akan senang.
May God Bless us All! :D
Satu-satunya Cabai yang Kusuka
Saya tidak suka makan pakai cabai.
Selain karena perut rewel, saya merasa makan cabai rempong, dikit-dikit mesti
minum. Eh ujung-ujungnya perut kenyang air bukan karena makan (alesan, bilang
aja ga kuat pedes! Hahaha)
Tapi kalian harus tahu, saya punya
cabai favorit. Satu-satunya ‘spesies’ cabai yang paling saya suka adalah cabai
yang buat didengar bukan dimakan. Ada yang tahu? Yup, Red Hot Chili Peppers!
A.k.a RHCP!
Saya mulai menyukai band funk-rock
asal California ini sejak mereka merilis album “By The Way” pada 2002. Waktu
itu saya masih kelas lima SD dan MTV masih mengudara di stasiun televisi swasta
tanpa berbayar. Saban pagi, kegarangan bas Michael “Flea” Balzary, variatifnya
suara gitar John Frusciante, hentakan drum yang dinamis dari Chad Smith, and
of course keempukan suara Anthony Keidis menjadi “sarapan” pagi sambil
sarapan beneran sebelum berangkat sekolah.
Pertama saya dengar lagu ini, saya
langsung jatuh cinta betul. “Gila nih band asyik banget musiknya!” Saya membeli
kasetnya (belum zaman CD apalagi MP3 waktu itu) dan bisa dibilang kali pertama
saya membeli kaset band asing pertama pilihan saya. Saya sering dengar musisi
asing, tapi kala itu rasanya, belum pernah beli kaset band asing. Dulu kaset
band saya itu Dewa 19, SO7, dan Padi. Selain itu ya my all time
favourite singer, Chrisye!
Saya sudah pernah dengar RHCP
sebelumnya saat dari videoklip “Californiacation” dari album yang mereka
keluarkan sebelumnya tahun 1999. Saat itu videoklip itu begitu hits karena
menampilkan animasi personil RHCP seperti main Playstation yang saat itu
lagi booming banget.
Namun, saya jatuh cinta ya sama “By
The Way” dan segenap lagu di dalamnya. Belum selesai demam lagu “By The Way”,
saya gandrung betul dengan lagu “The Zephyr Song”, “Universally Speaking”,
“Dosed”, “On Mercury”, dan “This is The Place”.
Dulu kaset diputar kebanyakan saat
saya sekeluarga sedang jalan-jalan berempat naik mobil. Baru saat SMP saya
dibelikan stereo boombox, kaset RHCP jadi teman saya waktu main
Playstation. Nyokap langsung tahu banget lagu-lagu RHCP dan dia selalu bilang
“Ini Lombok rawit ya yang main?”. Bahkan nyokap pun tahu hanya dengan sekali
denger, artinya musik mereka begitu khas.
Red Hot bahkan pernah saya jadikan
bahan untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia saat SMP kelas 1 tentang tokoh
idola. Disitulah pertama kalinya gw mengeksplor soal RHCP, bagaimana sejarahnya
dan sepak terjangnya. Jangan bayangkan seperti sekarang yang tinggal googling doang
dan semua informasi sudah keluar. Dulu saya sampai harus cari kliping-kliping
di majalah Hai dan majalah lain, pantengin MTV hingga membaca
teks di cover kaset untuk gali info soal RHCP.
Satu tahun kemudian, mereka
mengeluarkan album The Greatest Hits. Tampil dengan satu hits baru “Fortune
Faded”, melalui album itu mulailah saya berkenalan dengan nomor-nomor hits
mereka seperti “Otherside”, “Under the Bridge”, “Give it Away”, dan “Scar
Tissues”.. Saya juga mengenal lagu-lagu RHCP era awal seperti “Fight Like a
Brave” (diambil dari album Uplift Mofo Party Plan tahun 1987) karena menjadi soundtrack gim Tony Hawk Pro Skater 2.
Tapi saya sempat “kehilangan” RHCP.
Sebab album setelah “By The Way” yakni “Stadium Arcadium” dulu hanya
dikeluarkan dalam bentuk CD. Saat itu harga CD begitu mahal dan saya tidak
berani minta dibelikan orang tua. Saat itu 4share belum zaman, jadi tidak bisa
main unduh.
Cover Album Stadium Arcadium |
Influence dalam Bermusik
Saking saya sukanya dengan band ini,
saya sampai tak sadar bahwa mereka sukses merasuk menjadi influence saya
dalam bermusik. Waktu SMA saya tergabung dalam band Dewargon. Band beraliran
Pop Jazz ini sukses membawa saya menguasai panggung-panggung festival band SMA
di Jakarta. Berkat keuletan dan kedisiplinan kami rutin berlatih ditambah
kreativitas mengaransemen sehingga menghasilkan rasa baru dalam sebuah lagu,
jadi rahasia kesuksesan kami.
Namun, justru saat latihan-latihan
di studio band itulah saya disadarkan bassist kami saat itu, Yehezkiel Rogusto
atau Ekel yang bilang, saya itu main gitarnya funk dan rock
n roll banget. Mungkin karena saat itu saya punya efek gitar dengan
bisa membuat suara gitarku jadi ‘wah-wow-wah’ setiap kali saya menginjak pedal.
Suara gitar ‘wah’ identic dengan funk, apalagi cara ‘ngocok’ dan
metik saya yang nggak nge-jazz sama sekali. Selain karena itu dan hal lainnya,
saya memutuskan cabut dari Dewargon hehehe~
Jaminan Eargasm
Terus terang saat akhir SMP hingga
SMA, saya sempat “meninggalkan” RHCP. Waktu itu saya lebih gandrung dengan emo
dan rock n roll seperti Fall out Boy, My Chemichal Romance, Yellowcard,
Dashboard Confentional, The S.I.G.I.T, The Brandals, Aerosmith, Bon Jovi,
Mr.Big, dan lain-lain.
Pertama karena masalah CD yang
harganya super mahal kala itu. Kedua, meski publik dunia menilai “Stadium
Arcadium” adalah album terbaik RHCP, saya tidak merasakan demikian. Lagu “Dani
California” yang sempat jadi hit awal album itu tidak bikin saya senaksir “By
The Way”. Selain itu, pergaulan saya waktu itu dipenuhi emo dan rock n roll.
Terlepas dari itu, RHCP sendiri
seakan memasuki masa hiatus, dari 2006 mereka tidak lagi mengeluarkan album
lagi sampai keluarnya “I’m with You” pada 2011. Gitaris karismatik John
Frusciante memutuskan keluar dari band pada 2009 setelah menemukan egonya yang
lebih besar ketimbang tim. Posisi John digantikan gitaris muda yang sudah lama
menjadi additional player band, yakni Josh Klinghofer.
“Saya sempat takut. Saya tak sanggup membayangkan membawa orang lain. Rasanya sudah tamat,” ujar Flea seperti dikutip majalah Rolling Stones edisi Oktober 2011. “Rasanya seperti kehilangan anggota keluarga,” lanjutnya.
Bagi Flea, musikalitas bersama John
terasa begitu spontan. “John membawa ide dan saya langsung menyambutnya, atau
sebaliknya.” Meski demikian, mereka berhasil menjaga salah satu penggemarnya di
ujung timur dunia di kecamatan Pamulang. Saya.
nih gue lagi baca majalah koleksi gue. Rolling Stones Edisi Khusus RHCP saat mereka keluarin album "Im with You" di edisi Oktober 2011 |
Saya kembali jatuh cinta sama RHCP
saat kuliah semester akhir, di tahun 2012. Saya unduh satu album full “I’m With
You” dan menjadi soundtrack wajib di mobil saat berangkat dan pulang kuliah.
Nomor-nomor seperti “Goodbye Hooray”, “Did I Let You Know”, “Meet me at The
Corner”, dan “Police Station” lebih saya sukai ketimbang hits yang ditawarkan
RHCP seperti “Monarchy of Roses”, “The Adventure of Rain Dance Maggie”,
“Brendan Death Song”, dan “Look Around”.
Cover album "I'm With You" |
Saya juga mengunduh album permainan
terakhir John di album “Rock n Roll Hall of Fame”, dimana RHCP mengaransemen
lagu-lagu hits band RnR lain seperti “Havana Affairs” dari The Ramones dan
“Suffragete City” dari David Bowie. Aransemen ulang lagu musisi lain pernah mereka lakukan sebelumnya pada 1989 lewat lagu “Higher Ground” yang sebelumnya dipopulerkan oleh Stevie Wonder.
Meski lama tak saya dengarkan dan
berganti gitaris, namun tetap saja, RHCP tetap selalu setia memanjakan telinga
saya. Josh memang berbeda dari John. Permainan gitar Josh lebih ‘absurd’ dengan
keberisikan efek-efek yang melatari musik band. Sementara suara gitar John
lebih melodic dengan suara-suara yang lebih bersih. Ada kalanya John juga pakai
efek berisik, tapi melodinya tetap terdengar jelas, sementara Josh tetap
konsisten dengan suara berisik yang melatari. Satu yang hilang adalah backing
vocal dari John yang diganti dengan paduan suara seperti lagu “Happiness
Loves Company”.
Saat kuliah, dunia internet dan
unduh sudah jadi kewajaran, saya sikat satu album “Stadium Arcadium” yang saat
itu belum pernah saya dengar komplit. Saya menemukan lagu-lagu asyik lainnya
seperti “Charlie”, “Tortured Me”, “Snow (he-oh)”, dan “Descration Smile”.
Lalu pada 2013 mereka mengeluarkan
album vinyl bertajuk “I’m With You-Singles Collection”. Meski tidak sedahsyat
“I’m With You”, tapi beberapa lagu tetap asyik di telingaku, seperti “Victoria
Machinery” dan “Hanalei”.
Semua lagu-lagu itu menjadi
pelanggan tetap playlist di HP saya dan di youtube saya. Saya dengarkan mereka
pakai headset sambil naik motor atau kabel aux saat di mobil. Saya dengarkan
mereka di kantor dengan headset menemai saya kerja. RHCP practically have
been my friend.
Kebaruan
Akhirnya pada 5 Mei 2016, RHCP meluncurkan
single terbarunya “Dark Necesities” untuk album terbaru mereka “The Gateaway”
yang baru akan rilis 17 Juni 2016. Dahsyat! Setelah tiga tahun, keluar juga
yang baru dari mereka. “Dark Necesities” tampil dengan simplisitas yang dibalut
dengan teknik tinggi. Mereka menampilkan lagu baru dengan rasa lama RHCP.
Slap bass Flea seperti memberi pesan
bahwa dialah raja basis Funk yang bermain dengan konsisten memberikan ritme dan
melody pada lagu ini. Meski beatnya sederhana dan lambat di lagu ini, hentakan
drum Chad Smith itu enak betul. Gitar Josh selalu siap melatari lagu dan ada
juga bagian solo melody gitar yang mengingatkan saya pada tone-tone John,
apalagi di bagian ending lagu efek gitarnya mengingat saya pada suara gitar
“Under the Bridge”. Vokal Keidis meski sudah tembus usia 50 lebih, tetap prima
dan enak seperti pertama saya jatuh cinta dengan “By The Way”.
Seakan mabuk RHCP, saya explore
mereka di aplikasi musik Spotify, dan saya menemukan lagu-lagu jadul RHCP yang
sangat gahar dan funk seperti “Coffee Shop” dan "Get Up and Jump". Yang lebih gila lagi, saya seperti
menemukan harta karun yang hilang. Saya menemukan puluhan lagu Red Hot yang
sudah direkam tapi tidak dirilis dalam album-album mereka atau The B-Sides.
Jadi menurut penelusuran saya di Google, yang dimaksud dengan The
B-Sides adalah lagu-lagu tambahan dari sisa-sisa rekaman album vinyl
alias piringan hitam. Entah bagaimana orang-orang itu bisa menemukannya, saya
tinggal dengerin saya di Youtube.
Lagu-lagu seperti “Rivers of
Avalon” dan “Bicycle Song” yang saya duga merupakan B-Side dari “By The Way”
punya kualitas sama baiknya dengan lagu-lagu yang dirilis di album itu. Saya
juga bingung kenapa mereka tidak merilis itu ya. Dalam waktu dekat akan saya
telusuri itu hahaha.
Saya kira demikian catatan memori personal saya dengan band
kesayangan saya ini. Saya sungguh berharap mereka bisa mampir ke Jakarta untuk
konser. Saya akan ngotot untuk wawancara mereka, foto bareng mereka, dan bikin
beritanya! Yeaah!
Sunday, April 3, 2016
Altruis
Saya pernah baca bahwa otak manusia mampu mengeluarkan zat
yang fungsinya menguatkan rasa social dan mendorong manusia untuk berbagi. Mohon
maaf saya lupa persis nama zat itu, saya juga tidak ingat persis bagaimana
mekanisme otak itu bisa mengeluarkan zar itu. Yang pasti, semakin banyak
manusia mengeluarkan zat tersebut, manusia tersebut semakin social, suka berbagi,
tidak pelit, tidak egois, dan mengedepankan orang lain. Namun, kadar zat itu
berbeda-beda di tiap otak manusia. Mungkin itulah yang menjelaskan ada manusia
yang sangat suka berbagi, namun di satu sisi ada juga manusia yang egois dan
pelit setengah mati.
Saya tidak pernah melakukan penelitian ilmiah pada tubuh
saya. Namun, ada satu penelitian yang saya lakukan full time selama 24 tahun lebih saya hidup, berupa metode ‘partisipatif-observasif’
menjadi seseorang Benediktus Krisna Yogatama (Sama aja nyet!). Hasil riset
partisipatif-observatif gw terhadap diri gw sendiri, agaknya bisa diambil
kesimpulan bahwa gw seseorang yang otaknya banyak mengeluarkan zat tersebut.
Menjadikan saya seorang altruis dominan.
Apa itu altruis? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), altruis (kata benda) adalah orang yang banyak mengutamakan kepentingan
orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
Berbagai psikotes yang saya jalani memberitahu saya soal
ini. Bahkan, saya tahu soal ini sejak pertama kali serius perhatikan psikotes,
yaitu saat SMA. Saya altruis.
Dalam banyak kesempatan, kalau anda mengenal saya, bukannya narsis, saya suka berbagi. Saya tidak
pernah pelit untuk berbagi kontak narasumber kepada teman-teman wartawan
(kecuali isu dan bahan berita ya. Itu soal etika, dan eksklusif tetap harus
terjaga). Saat kuliah saya tak pernah segan berbagi bahkan menawarkan tebengan
mobil terhadap teman-teman kuliah yang pulang searah dengan gw. Teman-teman
sekolah gw pun tahu, gw selalu ringan tangan. Gw selalu gampang terenyuh untuk
menolong orang lain spontan, dan mau repot bantuin orang lain. For me it’s a
pleasure. Really.
Satu hal lain, gw juga orangnya paling ga suka ngerepotin
orang lain. Bahkan semakin dewasa saya semakin sadar bahwa gw bahkan
(terkadang) ga suka dibantu orang lain dalam beberapa perkara tertentu
(tergantung situasi dan kondisi). Yang paling gw ga suka adalah gw dikasihani
atau diremehkan.
Anyway, but that’s not the point. Kondisi altruis ini, ada
positif dan negativenya. Sebagian sudah terjelaskan di atas.
Namun, yang paling terasa adalah kondisi ini membuat gw
kesulitan untuk mengambil salah satu keputusan penting di dalam hidup. Karena
keputusan ini menyangkut seseorang yang sudah bertahun-tahun hidup di
lingkungan terdekat gw. Keputusan yang kalo gw ga hati-hati, satu dan lain
pihak akan keberatan, marah, kecewa, dan terjadilah perang dunia.
Saya terlahir di keluarga Jawa. Ada pepatah Jawa yang tidak
secara gamblang dibahas di rumah, tapi secara tidak sadar saya ejawantahkan:
mamayu hayuning bawono yang arti kasarnya kita harus senantiasa “melestarikan” lingkungan kita. Artinya kita harus menjaga
segala sesuatunya tetap baik, gamblangnya: jauhi konflik bahkan potensi konflik.
Saya pernah salah ambil keputusan 4-5 tahun lalu. Keputusan
itu masih berdampak hingga sekarang.
Saya merasa tidak menjadi diri sendiri selama 4-5 tahun. Ya,
banyak juga hal penting yang memang keinginan saya pribadi dan terlaksana, saya
tetap menjadi diri sendiri. Tapi ada beberapa hal yang juga penting, bukan
keinginan pribadi saya terdalam. Saya hidup di bawah bayang-bayang keputusan
saya sendiri.
Saya bukannya tidak pernah ambil keputusan penting dalam
hidup saya. Saya sering mengambil keputusan penting dalam hidup seperti memilih
kuliah dan karier. Satu keputusan penting pribadi yang besar sekali pengaruhnya
ke saya adalah: keluar dari Dewargon saat SMA. Saat kuliah saya juga merupakan
pemimpin redaksi majalah, kepala bagian di sebuah organisasi mahasiswa kampus.
Mengambil keputusan seperti itu mudah saja bagi saya. Karena saya merasa benar
saat mengambil keputusan itu.
Namun, yang satu ini beda. Saya bingung mana yang betul2
benar. Sebagian diri saya merasa, ada yang harus berakhir dan dikorbankan.
Sebagian lagi merasa, kamu benar2 tak tahu bersyukur, tega sekali. Sebagian
lagi mengaum dalam hati: kamu tidak pernah menjadi dirimu yang sebenarnya.
Sebagian lagi merasa, hati-hati. Dan bagi yang benar-benar kenal saya, gw
adalah orang yang sangat memikirkan masa depan. Karena kalau bukan gw yang
merancang masa depan, maka orang lain yang bakal merancangnya untuk gw. No, I don’t
want that fucking thing.
Saya juga nggak tahu, kenapa saya menulis ini. Nggak bikin
ada solusi turun dari langit juga. Yang ada malah sebagian orang yang baca
malah kepo dengan kehidupan pribadi saya. Well, what the hell. Mungkin juga
karena sebagian besar diri altruis saya (yang ga mau ngerepotin orang) yang
membuat saya (atau mungkin beberapa sifat saya yang lain yang kini benar-benar
selektif saya ceritakan) benar-benar kesulitan menemukan seseorang yang
benar-benar mau saya ajak bicara dan cari solusi. I’m alone.
Mungkin saya sedang berproses. Atau mungkin memang proses
manusia itu tidak akan pernah selesai. Atau Tuhan dan hal-hal yang belum
selesai, sedang berproses pada saya.
Subscribe to:
Posts (Atom)