Saya pernah baca bahwa otak manusia mampu mengeluarkan zat
yang fungsinya menguatkan rasa social dan mendorong manusia untuk berbagi. Mohon
maaf saya lupa persis nama zat itu, saya juga tidak ingat persis bagaimana
mekanisme otak itu bisa mengeluarkan zar itu. Yang pasti, semakin banyak
manusia mengeluarkan zat tersebut, manusia tersebut semakin social, suka berbagi,
tidak pelit, tidak egois, dan mengedepankan orang lain. Namun, kadar zat itu
berbeda-beda di tiap otak manusia. Mungkin itulah yang menjelaskan ada manusia
yang sangat suka berbagi, namun di satu sisi ada juga manusia yang egois dan
pelit setengah mati.
Saya tidak pernah melakukan penelitian ilmiah pada tubuh
saya. Namun, ada satu penelitian yang saya lakukan full time selama 24 tahun lebih saya hidup, berupa metode ‘partisipatif-observasif’
menjadi seseorang Benediktus Krisna Yogatama (Sama aja nyet!). Hasil riset
partisipatif-observatif gw terhadap diri gw sendiri, agaknya bisa diambil
kesimpulan bahwa gw seseorang yang otaknya banyak mengeluarkan zat tersebut.
Menjadikan saya seorang altruis dominan.
Apa itu altruis? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), altruis (kata benda) adalah orang yang banyak mengutamakan kepentingan
orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
Berbagai psikotes yang saya jalani memberitahu saya soal
ini. Bahkan, saya tahu soal ini sejak pertama kali serius perhatikan psikotes,
yaitu saat SMA. Saya altruis.
Dalam banyak kesempatan, kalau anda mengenal saya, bukannya narsis, saya suka berbagi. Saya tidak
pernah pelit untuk berbagi kontak narasumber kepada teman-teman wartawan
(kecuali isu dan bahan berita ya. Itu soal etika, dan eksklusif tetap harus
terjaga). Saat kuliah saya tak pernah segan berbagi bahkan menawarkan tebengan
mobil terhadap teman-teman kuliah yang pulang searah dengan gw. Teman-teman
sekolah gw pun tahu, gw selalu ringan tangan. Gw selalu gampang terenyuh untuk
menolong orang lain spontan, dan mau repot bantuin orang lain. For me it’s a
pleasure. Really.
Satu hal lain, gw juga orangnya paling ga suka ngerepotin
orang lain. Bahkan semakin dewasa saya semakin sadar bahwa gw bahkan
(terkadang) ga suka dibantu orang lain dalam beberapa perkara tertentu
(tergantung situasi dan kondisi). Yang paling gw ga suka adalah gw dikasihani
atau diremehkan.
Anyway, but that’s not the point. Kondisi altruis ini, ada
positif dan negativenya. Sebagian sudah terjelaskan di atas.
Namun, yang paling terasa adalah kondisi ini membuat gw
kesulitan untuk mengambil salah satu keputusan penting di dalam hidup. Karena
keputusan ini menyangkut seseorang yang sudah bertahun-tahun hidup di
lingkungan terdekat gw. Keputusan yang kalo gw ga hati-hati, satu dan lain
pihak akan keberatan, marah, kecewa, dan terjadilah perang dunia.
Saya terlahir di keluarga Jawa. Ada pepatah Jawa yang tidak
secara gamblang dibahas di rumah, tapi secara tidak sadar saya ejawantahkan:
mamayu hayuning bawono yang arti kasarnya kita harus senantiasa “melestarikan” lingkungan kita. Artinya kita harus menjaga
segala sesuatunya tetap baik, gamblangnya: jauhi konflik bahkan potensi konflik.
Saya pernah salah ambil keputusan 4-5 tahun lalu. Keputusan
itu masih berdampak hingga sekarang.
Saya merasa tidak menjadi diri sendiri selama 4-5 tahun. Ya,
banyak juga hal penting yang memang keinginan saya pribadi dan terlaksana, saya
tetap menjadi diri sendiri. Tapi ada beberapa hal yang juga penting, bukan
keinginan pribadi saya terdalam. Saya hidup di bawah bayang-bayang keputusan
saya sendiri.
Saya bukannya tidak pernah ambil keputusan penting dalam
hidup saya. Saya sering mengambil keputusan penting dalam hidup seperti memilih
kuliah dan karier. Satu keputusan penting pribadi yang besar sekali pengaruhnya
ke saya adalah: keluar dari Dewargon saat SMA. Saat kuliah saya juga merupakan
pemimpin redaksi majalah, kepala bagian di sebuah organisasi mahasiswa kampus.
Mengambil keputusan seperti itu mudah saja bagi saya. Karena saya merasa benar
saat mengambil keputusan itu.
Namun, yang satu ini beda. Saya bingung mana yang betul2
benar. Sebagian diri saya merasa, ada yang harus berakhir dan dikorbankan.
Sebagian lagi merasa, kamu benar2 tak tahu bersyukur, tega sekali. Sebagian
lagi mengaum dalam hati: kamu tidak pernah menjadi dirimu yang sebenarnya.
Sebagian lagi merasa, hati-hati. Dan bagi yang benar-benar kenal saya, gw
adalah orang yang sangat memikirkan masa depan. Karena kalau bukan gw yang
merancang masa depan, maka orang lain yang bakal merancangnya untuk gw. No, I don’t
want that fucking thing.
Saya juga nggak tahu, kenapa saya menulis ini. Nggak bikin
ada solusi turun dari langit juga. Yang ada malah sebagian orang yang baca
malah kepo dengan kehidupan pribadi saya. Well, what the hell. Mungkin juga
karena sebagian besar diri altruis saya (yang ga mau ngerepotin orang) yang
membuat saya (atau mungkin beberapa sifat saya yang lain yang kini benar-benar
selektif saya ceritakan) benar-benar kesulitan menemukan seseorang yang
benar-benar mau saya ajak bicara dan cari solusi. I’m alone.
Mungkin saya sedang berproses. Atau mungkin memang proses
manusia itu tidak akan pernah selesai. Atau Tuhan dan hal-hal yang belum
selesai, sedang berproses pada saya.