Mati
listrik atau yang lebih akrab disebut mati lampu merupakan hal yang
menyebalkan. Sebab, kita lagi asyik-asyik beraktivitas (which is hampir
pasti kegiatan kita itu ditopang oleh listrik), tiba-tiba berhenti. Yang lagi
asyik nonton TV mendadak ditonton TV. Lagi
seru-serunya nih ‘bawa’ Ronaldo di depan gawang buat shoot, eh dia mendadak lenyap. Amsyong semua keseruan.
Harapan untuk hilangkan mati gaya bertumpu
pada gawai. Mulailah sosmed dipadati, pasang status atau ngedumel soal kinerja
perusahaan listrik milik negara yang gitu-gitu saja. Kemudian kita menunggu
teman membalas atau setidak-tidaknya merespon dengan memberikan jempol, retweet, like this, memberi hati, cendol, dan segala macam jenis instrument yang
ditawarkan sosmed.
“Ah nggak ngaruh mati lampu. Gue masih
bisa asyik kok!” Hmm… yayaya. Sepertinya mati listrik nggak masalah ya.
Sejam berlalu. Dua jam berlalu. Tiga…
empat… lima… eh kok nggak nyala-nyala
ya?
Matahari mulai terbenam. Baterei gawai
sudah makin menipis. Biar hemat baterei, segala sosmed dan aplikasi ditutup.
Sekejap kegiatan berganti menjadi menyiapkan lilin untuk terangi malam.
Setelah matahari telah paripurna tenggelam
dan ganti shift dengan bulan, mulailah
kesunyian perlahan merambat menyapa.
Sampai tahap ini, manusia dihadapkan
dengan dua pilihan. Pertama, menjadi sedemikian stress ngedumel dengan
perusahaan listrik milik negara, yang mana nggak mengubah apapun juga. Atau
yang kedua melakukan refleksi.
Dalam keheningan, semua terlihat dan
terasa lebih jernih. Saat hening, denyut nadi pun terasa betul debarnya. Detik
jarum jam seakan hentakan drum pemusik yang tengah pentas.
Mendadak manusia berfilsafat. Saya sudah
sampai mana?
Agaknya deru cepat rutinitas warga kota membuat
manusia lupa untuk berhenti sejenak. Merenungkan apa saja. Ya apa saja.
Mendalami dan menyelami apa saja. Ya apa saja.
Mungkin memang manusia itu perlu dipaksa 'shut down' sesaat untuk bisa 'berhenti' untuk melangkah kembali.
"Di sini senang / di sana senang / dimana-mana hatiku senang // lalala..lalala..lalalaa..."
Saya yakin kalian semua tahu lagu ini. Saat kanak-kanak, lagu ini sukses menjadi lagu 'wajib' yang dinyanyikan. Lagu ini memang cocok sekali untuk anak-anak. Sebab, dunia anak memang penuh kecerian. Ya dimana-mana hati anak-anak senang.
Tapi belakangan saya merasa, lagu ini punya filosofi mendalam dan terus relevan sampai seumur hidup manusia. Lagu ini sebenarnya mengajak semua orang untuk bersyukur. Sesusah apapun hidupmu, bersyukurlah, dengan begitu dimana-mana hatimu akan senang.
Saya tidak suka makan pakai cabai.
Selain karena perut rewel, saya merasa makan cabai rempong, dikit-dikit mesti
minum. Eh ujung-ujungnya perut kenyang air bukan karena makan (alesan, bilang
aja ga kuat pedes! Hahaha)
Tapi kalian harus tahu, saya punya
cabai favorit. Satu-satunya ‘spesies’ cabai yang paling saya suka adalah cabai
yang buat didengar bukan dimakan. Ada yang tahu? Yup, Red Hot Chili Peppers!
A.k.a RHCP!
The Red Hot Chili Peppers the latest formation. Gitaris Josh Klinghoffer (kiri atas), Vokalis Anthony Kiedis (kanan atas), basis Michael 'Flea' Balzary (kiri bawah), dan drumer Chad Smith (kanan bawah). Photo by Clara Balzary, posted on RHCP official website
Saya mulai menyukai band funk-rock
asal California ini sejak mereka merilis album “By The Way” pada 2002. Waktu
itu saya masih kelas lima SD dan MTV masih mengudara di stasiun televisi swasta
tanpa berbayar. Saban pagi, kegarangan bas Michael “Flea” Balzary, variatifnya
suara gitar John Frusciante, hentakan drum yang dinamis dari Chad Smith, and
of course keempukan suara Anthony Keidis menjadi “sarapan” pagi sambil
sarapan beneran sebelum berangkat sekolah.
Pertama saya dengar lagu ini, saya
langsung jatuh cinta betul. “Gila nih band asyik banget musiknya!” Saya membeli
kasetnya (belum zaman CD apalagi MP3 waktu itu) dan bisa dibilang kali pertama
saya membeli kaset band asing pertama pilihan saya. Saya sering dengar musisi
asing, tapi kala itu rasanya, belum pernah beli kaset band asing. Dulu kaset
band saya itu Dewa 19, SO7, dan Padi. Selain itu ya my all time
favourite singer, Chrisye!
Saya sudah pernah dengar RHCP
sebelumnya saat dari videoklip “Californiacation” dari album yang mereka
keluarkan sebelumnya tahun 1999. Saat itu videoklip itu begitu hits karena
menampilkan animasi personil RHCP seperti main Playstation yang saat itu
lagi booming banget.
Namun, saya jatuh cinta ya sama “By
The Way” dan segenap lagu di dalamnya. Belum selesai demam lagu “By The Way”,
saya gandrung betul dengan lagu “The Zephyr Song”, “Universally Speaking”,
“Dosed”, “On Mercury”, dan “This is The Place”.
Cover album ke-11 RHCP "By The Way"
Dulu kaset diputar kebanyakan saat
saya sekeluarga sedang jalan-jalan berempat naik mobil. Baru saat SMP saya
dibelikan stereo boombox, kaset RHCP jadi teman saya waktu main
Playstation. Nyokap langsung tahu banget lagu-lagu RHCP dan dia selalu bilang
“Ini Lombok rawit ya yang main?”. Bahkan nyokap pun tahu hanya dengan sekali
denger, artinya musik mereka begitu khas.
Red Hot bahkan pernah saya jadikan
bahan untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia saat SMP kelas 1 tentang tokoh
idola. Disitulah pertama kalinya gw mengeksplor soal RHCP, bagaimana sejarahnya
dan sepak terjangnya. Jangan bayangkan seperti sekarang yang tinggal googling doang
dan semua informasi sudah keluar. Dulu saya sampai harus cari kliping-kliping
di majalah Hai dan majalah lain, pantengin MTV hingga membaca
teks di cover kaset untuk gali info soal RHCP.
Satu tahun kemudian, mereka
mengeluarkan album The Greatest Hits. Tampil dengan satu hits baru “Fortune
Faded”, melalui album itu mulailah saya berkenalan dengan nomor-nomor hits
mereka seperti “Otherside”, “Under the Bridge”, “Give it Away”, dan “Scar
Tissues”.. Saya juga mengenal lagu-lagu RHCP era awal seperti “Fight Like a
Brave” (diambil dari album Uplift Mofo Party Plan tahun 1987) karena menjadi soundtrack gim Tony Hawk Pro Skater 2.
Tapi saya sempat “kehilangan” RHCP.
Sebab album setelah “By The Way” yakni “Stadium Arcadium” dulu hanya
dikeluarkan dalam bentuk CD. Saat itu harga CD begitu mahal dan saya tidak
berani minta dibelikan orang tua. Saat itu 4share belum zaman, jadi tidak bisa
main unduh.
Cover Album Stadium Arcadium
Influence dalam Bermusik
Saking saya sukanya dengan band ini,
saya sampai tak sadar bahwa mereka sukses merasuk menjadi influence saya
dalam bermusik. Waktu SMA saya tergabung dalam band Dewargon. Band beraliran
Pop Jazz ini sukses membawa saya menguasai panggung-panggung festival band SMA
di Jakarta. Berkat keuletan dan kedisiplinan kami rutin berlatih ditambah
kreativitas mengaransemen sehingga menghasilkan rasa baru dalam sebuah lagu,
jadi rahasia kesuksesan kami.
Namun, justru saat latihan-latihan
di studio band itulah saya disadarkan bassist kami saat itu, Yehezkiel Rogusto
atau Ekel yang bilang, saya itu main gitarnya funk dan rock
n roll banget. Mungkin karena saat itu saya punya efek gitar dengan
bisa membuat suara gitarku jadi ‘wah-wow-wah’ setiap kali saya menginjak pedal.
Suara gitar ‘wah’ identic dengan funk, apalagi cara ‘ngocok’ dan
metik saya yang nggak nge-jazz sama sekali. Selain karena itu dan hal lainnya,
saya memutuskan cabut dari Dewargon hehehe~
Jaminan Eargasm
Terus terang saat akhir SMP hingga
SMA, saya sempat “meninggalkan” RHCP. Waktu itu saya lebih gandrung dengan emo
dan rock n roll seperti Fall out Boy, My Chemichal Romance, Yellowcard,
Dashboard Confentional, The S.I.G.I.T, The Brandals, Aerosmith, Bon Jovi,
Mr.Big, dan lain-lain.
Pertama karena masalah CD yang
harganya super mahal kala itu. Kedua, meski publik dunia menilai “Stadium
Arcadium” adalah album terbaik RHCP, saya tidak merasakan demikian. Lagu “Dani
California” yang sempat jadi hit awal album itu tidak bikin saya senaksir “By
The Way”. Selain itu, pergaulan saya waktu itu dipenuhi emo dan rock n roll.
Terlepas dari itu, RHCP sendiri
seakan memasuki masa hiatus, dari 2006 mereka tidak lagi mengeluarkan album
lagi sampai keluarnya “I’m with You” pada 2011. Gitaris karismatik John
Frusciante memutuskan keluar dari band pada 2009 setelah menemukan egonya yang
lebih besar ketimbang tim. Posisi John digantikan gitaris muda yang sudah lama
menjadi additional player band, yakni Josh Klinghofer.
“Saya sempat takut. Saya tak sanggup
membayangkan membawa orang lain. Rasanya sudah tamat,” ujar Flea seperti
dikutip majalah Rolling Stones edisi
Oktober 2011. “Rasanya seperti kehilangan anggota keluarga,” lanjutnya.
Bagi Flea, musikalitas bersama John
terasa begitu spontan. “John membawa ide dan saya langsung menyambutnya, atau
sebaliknya.” Meski demikian, mereka berhasil menjaga salah satu penggemarnya di
ujung timur dunia di kecamatan Pamulang. Saya.
nih gue lagi baca majalah koleksi gue. Rolling Stones Edisi Khusus RHCP saat mereka keluarin album "Im with You" di edisi Oktober 2011
Saya kembali jatuh cinta sama RHCP
saat kuliah semester akhir, di tahun 2012. Saya unduh satu album full “I’m With
You” dan menjadi soundtrack wajib di mobil saat berangkat dan pulang kuliah.
Nomor-nomor seperti “Goodbye Hooray”, “Did I Let You Know”, “Meet me at The
Corner”, dan “Police Station” lebih saya sukai ketimbang hits yang ditawarkan
RHCP seperti “Monarchy of Roses”, “The Adventure of Rain Dance Maggie”,
“Brendan Death Song”, dan “Look Around”.
Cover album "I'm With You"
Saya juga mengunduh album permainan
terakhir John di album “Rock n Roll Hall of Fame”, dimana RHCP mengaransemen
lagu-lagu hits band RnR lain seperti “Havana Affairs” dari The Ramones dan
“Suffragete City” dari David Bowie. Aransemen ulang lagu musisi lain pernah mereka lakukan sebelumnya pada 1989 lewat lagu “Higher Ground” yang sebelumnya dipopulerkan oleh Stevie Wonder.
Meski lama tak saya dengarkan dan
berganti gitaris, namun tetap saja, RHCP tetap selalu setia memanjakan telinga
saya. Josh memang berbeda dari John. Permainan gitar Josh lebih ‘absurd’ dengan
keberisikan efek-efek yang melatari musik band. Sementara suara gitar John
lebih melodic dengan suara-suara yang lebih bersih. Ada kalanya John juga pakai
efek berisik, tapi melodinya tetap terdengar jelas, sementara Josh tetap
konsisten dengan suara berisik yang melatari. Satu yang hilang adalah backing
vocal dari John yang diganti dengan paduan suara seperti lagu “Happiness
Loves Company”.
Saat kuliah, dunia internet dan
unduh sudah jadi kewajaran, saya sikat satu album “Stadium Arcadium” yang saat
itu belum pernah saya dengar komplit. Saya menemukan lagu-lagu asyik lainnya
seperti “Charlie”, “Tortured Me”, “Snow (he-oh)”, dan “Descration Smile”.
Lalu pada 2013 mereka mengeluarkan
album vinyl bertajuk “I’m With You-Singles Collection”. Meski tidak sedahsyat
“I’m With You”, tapi beberapa lagu tetap asyik di telingaku, seperti “Victoria
Machinery” dan “Hanalei”.
Semua lagu-lagu itu menjadi
pelanggan tetap playlist di HP saya dan di youtube saya. Saya dengarkan mereka
pakai headset sambil naik motor atau kabel aux saat di mobil. Saya dengarkan
mereka di kantor dengan headset menemai saya kerja. RHCP practicallyhave
been my friend.
Kebaruan
Akhirnya pada 5 Mei 2016, RHCP meluncurkan
single terbarunya “Dark Necesities” untuk album terbaru mereka “The Gateaway”
yang baru akan rilis 17 Juni 2016. Dahsyat! Setelah tiga tahun, keluar juga
yang baru dari mereka. “Dark Necesities” tampil dengan simplisitas yang dibalut
dengan teknik tinggi. Mereka menampilkan lagu baru dengan rasa lama RHCP.
Slap bass Flea seperti memberi pesan
bahwa dialah raja basis Funk yang bermain dengan konsisten memberikan ritme dan
melody pada lagu ini. Meski beatnya sederhana dan lambat di lagu ini, hentakan
drum Chad Smith itu enak betul. Gitar Josh selalu siap melatari lagu dan ada
juga bagian solo melody gitar yang mengingatkan saya pada tone-tone John,
apalagi di bagian ending lagu efek gitarnya mengingat saya pada suara gitar
“Under the Bridge”. Vokal Keidis meski sudah tembus usia 50 lebih, tetap prima
dan enak seperti pertama saya jatuh cinta dengan “By The Way”.
Seakan mabuk RHCP, saya explore
mereka di aplikasi musik Spotify, dan saya menemukan lagu-lagu jadul RHCP yang
sangat gahar dan funk seperti “Coffee Shop” dan "Get Up and Jump". Yang lebih gila lagi, saya seperti
menemukan harta karun yang hilang. Saya menemukan puluhan lagu Red Hot yang
sudah direkam tapi tidak dirilis dalam album-album mereka atau The B-Sides.
Jadi menurut penelusuran saya di Google, yang dimaksud dengan The
B-Sides adalah lagu-lagu tambahan dari sisa-sisa rekaman album vinyl
alias piringan hitam. Entah bagaimana orang-orang itu bisa menemukannya, saya
tinggal dengerin saya di Youtube.
Lagu-lagu seperti “Rivers of
Avalon” dan “Bicycle Song” yang saya duga merupakan B-Side dari “By The Way”
punya kualitas sama baiknya dengan lagu-lagu yang dirilis di album itu. Saya
juga bingung kenapa mereka tidak merilis itu ya. Dalam waktu dekat akan saya
telusuri itu hahaha.
Saya kira demikian catatan memori personal saya dengan band
kesayangan saya ini. Saya sungguh berharap mereka bisa mampir ke Jakarta untuk
konser. Saya akan ngotot untuk wawancara mereka, foto bareng mereka, dan bikin
beritanya! Yeaah!