Pagi di Jakarta jarang merekah
Namun tetap kita berharap sebongkah berkah
Pagi di Jakarta itu selalu kemrungsung
Namun tetap kita berharap setiap saat dada kita selalu membusung
Di Jakarta, detik waktu pun bisa ambil peran antogonis
Nomor wahid soal tuna kompromis
Di Jakarta, langit cerah beserta barisan awan pun seolah kita hirau
Lebih acuh kita dengan keluh akan peluh
Saat langit mendung, kita tahu bencana sedang terkandung
Hujan bagi pujangga adalah puisi
Namun hujan di Jakarta adalah tragedi
Menumpang angkutan, mata menggeliat ke kiri dan kanan
Awasi penumpang tak diundang dengan niatan tak berkenan
Pengendara roda dua sudah lupa nikmatnya hembusan angin segar
Asap lebih akrab di pernapasan
Buat roda empat dan lebih, parkir mengular berjemaah di jalanan itu sudah biasa
Putaran mesin sampai lupa cara berlari
Beruntung bagi kelas pekerja, yang masih rekreasi
Bagi yang liyan, vakansi hanya imaji
Lahan kapitalis tumbuh subur
Ibukota bersabda, memang harus kapitalis agaknya agar hidup naik terkatalis
Selamat datang di Jakarta
Kita Menyebutnya Ibukota
No comments:
Post a Comment