Sisa waktu sampai Minggu, email surat permohonan wawancara dari kantor redaksi gue tak kunjung datang. Sampai akhirnya, Senin pagi gw dapet email dari Bintang soal surat permohonan wawancara. Langsung saja gw forward ke email Bu Humas dan langsung gue konfirm via BBM, dan beliau mengiyakan dan berjanji untuk follow-up.
Menanti Sebuah
Jawaban
Saat itu posisinya saya tengah menunggu follow-up
wawancara dari Bu Humas. Kalau kata band Padi sih, "Menanti Sebuah
Jawaban". Bukan jawaban pertanyaan cinta, tapi wawancara! hahahaa :p
Sehari tak ada balasan. Hari kedua, saya coba mengingatkan sambil
mempertanyakan. BBM gue cuma R (read), tapi gada balasan. Saya merasa.... Oh
oke.... ngertilah gimana di sana. Hari Kamis, tanggal merah, gue coba kirim
beliau greetings selamat tahun baru kalender Islam dan Jawa, untuk menjaga
hubungan baik dengan beliau.
Besoknya saya
malah bermain-main seharian dengan kawan SMA saya karena ada reuni akbar SMA
saya. Dan minggu itu di tutup dengan full bersantai-santai dalam suasana
long weekend. Meski demikian, dalam hati gue was-was juga, "Gimana nih,
gue belum bikin janji wawancara sama Jokowi? Mana deadline makin mepet?"
Tenang gue masih punya waktu tersisa, dan tenaga yang belum gue kerahkan
semuanya. Pasti bisa.
Bintang kemudian SMS gue, "Krisna gimana liputan
kamu? Kok gada kabar?"
"Iya nih Pak, belum ada jawaban. Mulai sening
saya bakal seminggu full nongkrong di Balkot deh Pak, kalau perlu saya sampai
kerumahnya," jawab gue.
"Mantap! Kabari terus ya," jawabnya.
"Oke Pak! Pasti saya kabari," jawab gue. Oke
emang gada cara lain selain kesana terus, untuk kuntit dia sampai dapat.
Mendadak Anak
Balai Kota
Senin Pagi, 19
November 2012, gue bangun jam setengah 6 pagi, bersiap-siap untuk segera
meluncur ke Balaikota. Setengah tujuh gue uda nongkrong di angkot, berharap
kendaraan capsul ini langsung meluncur. Namun apa lacur! Macet terlalu cepat
menyapa! Tidak sampai tiga kilometer kami berjalan, antrian mobil panjang
seperti ular. Jakarta keras sekali Bung! Bahkan sejak matahari belum genap
mengudara! Tidak cuma itu, di tengah perjalanan sopir angkot gue turun dari mobil dan hampir berkelahi dengan seorang pengendara sepeda motor. Pasalnya si pesepeda motor ini tak terima, angkot ini main berhenti saja tiba-tiba di tengah jalan. Karena kesal, dia memukul bumper belakang angkot dan memaki sang sopir. Tidak terima kendaraannya dihajar dan dirinya dimaki, sang sopir turun dan mengaka berkelahi. Namun kemudia serbuan klakson mobil dan motor serta makian pengendara bermotor lainnya meleraikan perkelahian antar keduanya. Fiuhh, Jakarta memang keras. Berbekal kesabaran dan headset, cukup ampuh membawa angin segar di
hati.
Akhirnya
setelah perjalanan panjang dan penuh kemacetan, sampailah gue di Balaikota.
Segera gue pergi menemui Bu Humas menanyakan kelanjutan permohonan wawancara saya.
Dia kemudian menyuruh saya untuk menemui Pak Admin Sekda untuk mengecek jadwal
gue. Sesampainya, gue pun mengutarakan maksud gue dengan Pak Admin Sekda dan memberitahukan kalau gue sudah kirim via email ke Bu Humas. Dia
malah mempertanyakan surat permohonan wawancara gue. Gue pun mengeluarkan surat
itu dari tas gue. Dia malah menyalahkan bahwa surat gue ini ga jelas, karena
tidak mencantumkan kepada Bapak Gubernur JokoWidodo di atas, namun sebenarnya
hal itu sudah tertera di badan surat. Pak Admin Sekda bersikeras menolak surat
gue, karena bukan begitu susunan surat yang formal. Tapi gue ga kalah
bersikeras juga, dengan argumen, ga masalahlah soal tata cara, ga usah terlalu
kaku gitulah birokrasinya, yang penting kan bapak tahu maksud dari surat ini.
Itu aja cukup kan? Doi masih menolak argumen gue malah mengatakan, kamu pernah
sekolah ga sih? Kan di ajarin cara nulis surat yang benar. Gue pantang menyerah
dengan bilang, Pak saya sudah jauh-jauh dari Bogor, saya ga mau lagi pulang
dengan tangan kosong, bisa ga sih hanya sekedar masukin jadwalnya. Toh gue uda
bilang ke Bu Humas juga, uda pada tahu maksud gue apa.
Sejurus
kemudian, doi mengutak-atik komputernya dan menunjukkan daftar permintaan
bertemu dan atau wawancara dengan Jokowi. Banyak sekali, menumpuk! mulai dari
media elektronik, TV, cetak, dan lembaga-lembaga lainnya. Jadwalnya penuh, dan
nampaknya dia ga akan keburu gw wawancara sampai Desember, padahal itu deadline
gw. Saat Pak Admin Sekda sedang scroll down daftar itu, ternyata nama gue dan
media gue uda tercantum disitu. Ternyata gue uda masuk wishlist. Tapi ya
itu tadi, jangankan gue yang baru masukin sekitar seminggu yang lalu, yang dari
awal bulan November pun belum di garap.
Gue pun
menelpon Bintang, untuk menceritakan semuanya. Menolak gagal gue menawarkan doorstop
atau mencari narasumber lain.
"Ga, saya
ga mau kalau doorstop. Jawaban dia jadi ga fokus dan apa adanya. Dan
saya belum ada rencana untuk mengganti narasumber. Kamu coba aja terus ya,
masih ada sedikit waktu," ujar Bintang, dan telpon ditutup.
Ada benarnya
juga untuk tidak doorstop, karena pasti akan berebutan dengan wartawan
lain. Pekerjaan yang sepertinya mudah ini, mendadak jadi memusingkan. Jokowi
sangat sulit diminta waktunya untuk wawancara eksklusif. Dia adalah bintang
saat ini, namanya dielu-elukan dimana-mana, artis pun lewat. Sementara deadline
terus memburu. Masa iya gue akan gaga;? Ga pernah jadi pilihan gue itu! Gue
perlu memikirkan cara untuk bisa mendapatkan wawancara dengan dia.
Pertama yang di
pikiran gue adalah gue terlebih dahulu menguasai medan. Gue harus tahu bagaimana
denyut wartawan Balikota, jadwal Jokowi dan berbagai kebiasaannya di Balaikota.
Intinya mengumpulkan segala informasi yang gue perlukan untuk bisa berhasil.
Langkah pertama yang harus gue lakukan, gue harus bergaul dengan wartawan
balkot.
Ga lama setelah
gue keluar dari kantor Bu Humas, di selasar Balaikota gue melihat gerombolan
wartawan ramai di pintu masuk Balaikota. Ternyata mereka sedang doorstop Jokowi.
Doorstop terus sampai habis pertanyaan atau sampai dia sampai ke mobil. Mana duluan yang lebih dulu. |
Setelah Jokowi masuk ke dalam mobil dan pergi,
sekejap kemudian selasar menjadi sepi. "Kemana perginya
wartawan-wartawan itu?" Tanya gue dalam hati. Padahal rencananya gue
pengen JB-JB, kenalan sama mereka. Tapi situasi sudah sangat sepi. Gue
melongok ke kiri dan kanan, gue menemukan seseorang sidang melihat gambar di
kamera SLR yang dikalungkannya. Nampaknya dia wartawan. Gue pun mendekatinya.
Benar dia adalah seorang wartawan. Namanya Mas Arfi,
fotografer dari Liputan 6. Gw berkenalan dengan dia mencoba bertanya-tanya
soal Balkot. Rupanya dia bukan wartawan yang mangkal di Balkot, hanya hari
itu kebetulan dia sedang ditugaskan di balkot untuk mengambil gambar Jokowi.
Kemudian dia membawa saya untuk bertemu wartawan-wartawan yang mangkal di
balakot untuk makan siang bareng. Jadi mereka tidak ikut pergi menguntit
Jokowi pergi.
Kami makan Siomay kaki lima yang mangkal di belakang
Balaikota atau depan DPRD Jakarta. Disana gue kenalan dengan wartawan balkot.
Ada Bang Al dari Indonesiarayyanews.com, Bang Bintang (yang ternyata kakak
kelas gue waktu SMP dulu) dari Warta Kota, dan dua orang lainnya gue lupa
namanya. Setelah itu, sambil menanti kedatangan Jokowi, kita masuk ke gedung
balaikota untuk melihat Ahok. Lama menunggu, Ahok tak kunjung keluar dari
ruang rapatnya di balaikota. Karena jenuh gue keluar, dan ternyata saat di
beranda, gue menemukan mobil Jokowi. Dia sudah pulang ke Balaikota dan
melewatkannya. Ah shit man! Harusnya gue stay di beranda aja, daripada
di atas tadi. Belajar dari situ, gue pun konsisten stay di beranda.
Waktu berlalu, siang berganti sore. Matahari
pun lenyap berganti awan mendung. Hujan deras mengguyur Jakarta. Jokowi tak
kunjung keluar dari kantornya. Pukul tiga sore, pegawai Pemda satu per satu
keluar dan nongkrong di beranda. Mereka nongkrong dan berbaur tak ubahnya
wartawan. Gue pun menghabiskan waktu dengan ngobrol dengan beberapa wartawan
dan pegawai pemda yang nongkrong disana. Isu berhembus, Jokowi akan pulang
habis maghgrib. Pukul empat sore, pegawai pemda berhamburan pulang. Tak
sampai sepuluh menit parkiran mobil dan motor pegawai balkot telah sepi dari
empunya. Jam lima, satu per satu wartawan mulai pulang, mungkin harus setor
berita ke kantornya. Sementara beberapa wartawan masih stay disana
menanti Jokowi.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, gue pun
mulai memikirkan, ini sampai jam berapa? Kemudian gue berpikir, kalau gue
terlalu malam, gue ga bisa pulang. Angkot di Lebak Bulus untuk jurusan
Pamulang lewat dari jam 10an sudah sepi. Sementara untuk mencapai Bulus saja
perlu waktu, apalagi hujan deras sepanjang hari, pasti macet total. Kalau gue
uda kenal deket sama wartawan Balkot, gue pilih nginep deh, tapi berhubung
belum kenal banget, kayaknya gue emang harus segera balik. Toh masih ada hari
lain, dan sedikit waktu itu memikirkan rencana yang lebih matang di lain hari
ketimbang doorstop. Akhirnya gw putuskan untuk pulang.
Determinasi Pulih
Besoknya, gue ga ke balkot karena ada kelas. Dan
bahkan gue memilih untuk pergi nonton Bioskop. Pikiran gue sedang kalut dan
stress waktu itu, ini gimana caranya ketemu Jokowi? Masa iya gue gagal?
Kemudian di perjalanan pulang, gue mendapatkan kembali semangat gue. Harus
gue akuin, sebelumnya gue belum merasa enjoy dengan freelance
ini karena bisa dibilang, liputan ini menuntut gue untuk keluar dari zona
nyaman gue. Karena praktis setelah usai semester kemarin bisa di bilang gue
menjalani gaya hidup liburan! Karena semester ini gue hanya ambil satu mata
kuliah sisa dan skripsi yang membuat gue banyak stay dan nyantai di rumah
sejak bulan Juni. Gue udah kayak babi aja. Makan, tidur, main. Badan melar,
otak ga lagi encer. Skripsi dan bimbingan pun sesuka-sukanya gue mau kerjain
kapan. Wah ancur dah gue. Padahal sebelum libur, gue adalah seorang pekerja
keras, semua kegiatan mahasiswa, pers kampus, tugas kuliah semua gue handle,
gada yang failed dan emang ga boleh failed. Man, gue jadi cemen dalam
waktu yang cepat karena terlalu lama berkutat di comfort zone itu.
Namun semua semangat itu tiba-tiba kembali usai gue
menumpahkan semua perasaan gue ke Vivi. Setelah itu gue berkata sama diri gue
sendiri, "Kata Loe hidup itu harus kerja keras Kris? Gini aja uda takluk
Loe? Cemen!" Dan secara magis, tiba-tiba gue mendapatkan semangat gue.
Gue yang pekerja keras, gue yang menolak gagal. Determinasi gue pulih. Sesaat
setelah itu otak gue dipenuhi oleh berbagai cara yang patut dicoba untuk
mengejar Jokowi.
Gue berpikir, kalau cara formal tidak bisa, rasanya
halal-halal saja menggunakan cara non-formal untuk mendapatkan
wawancara. Tapi gue masih mau mencoba cara semi-formal dengan cara
memberikan surat permohonan secara langsung ke Jokowi, yang gue bikin dengan
tulisan tangan sendiri, dimana isinya gue akan curhat tentang semua yang uda
gue lakukan untuk mendapatkan wawancaranya. Tidak cuma itu, untuk membedakan
gue dengan permintaan wawancara yang lain, gue akan meminta Pak Jokowi untuk
menandatangi buku dies natalis 40 tahun Fakultas Kehutanan UGM (Univ. Gadjah
Mada). Kaitannya apa? Pakde gue adalah dosen kehutanan UGM, dan doi adalah
alumni kehutanan UGM, maka seharusnya ada keterikatan emosional di dalamnya,
jadi meningkatkan kesempatan gue untuk mewawancarai dia, juga sebagai hadiah
untuk pakde gue yang sudah sebelumnya mengirimkan sejumlah materi soal lingkungan
hidup dan kehutanan atas permintaan gue, supaya gue punya sedikit banyak
pengetahuan pegangan tentang lingkungan hidup dan kehutanan. Dan besok gue
akan pergi ajak Alvin (karena doi bawa motor) agar gue bisa menyusul Jokowi.
Itulah taktik gue.
Sampai di rumah gue langsung membuat surat
itu, sambil men-charge BB dan kamera gue, agar tidak kehabisan baterei
besok harinya. Namun tiba-tiba saja listrik padam. Wuaaah anjriiit betul! di
saat gue perlu banget listrik, malah mati. Gue harus tunggu listrik nyala
untuk menyelesaikan semuanya, padahal gue perlu tidur cepet supaya besok bisa
bangun subuh, karena mau nyuci baju dulu. Untungnya sekitar setengah jam
kemudian listrik kembali nyala, dan gue langsung kerjain lagi surat itu.
Surat itu kemudian selesai, gue lampirkan dengan surat permohonan wawancara
yang asli, surat tugas, dan daftar pertanyaan wawancara lalu gue masukan rapi
dalam amplop. Sudah rapi, semua siap, besok tinggal kasih secara langsung
kepada Jokowi.
|
No comments:
Post a Comment