Cover Film Balibo |
Alkisah, Indonesia adalah negara yang mengaku telah
sukses menempuh reformasi, yang menjanjikan kebebasan berpendapat, berkarya dan
berekspresi dalam media manapun. Ternyata hal itu hanya impian dan fatamorgana
semata. Bagaimana tidak, peran negara yang katanya sudah “dikurangi” dalam urusan
kekang-mengekang ekspresi, juga kerap kali tertangkap basah masih mencoba
mengurungkan karya-karya dan bentuk ekspresi yang mereka anggap tak layak.
Bersenjatakan sebuah institusi yang dipayungi hukum dengan selusin lebih
pasalnya, negara berkewenangan mencekal dan melarang beredarnya hal-hal yang
tak lulus sensor. Perkenalkan Lembaga Sensor Film (LSF) namanya.
Menurut
UU No.7 tahun 1994 tentang Sensor Film, yang dimaksud dengan Sensor film adalah
penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat
atau tidaknya sebuah film dan reklame film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan
kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara
tertentu. Itulah yang gatra yang nampak pada beranda landasan hukum LSF. Berlanjut
dengan gatra berikutnya yaitu,
“LSF mempunyai fungsi sebagai berikut :
- melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan/atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia;
- memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam bidang perfilman di Indonesia;
- memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya dan/atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijaksanaan kearah pengembangan perfilman di Indonesia.
Dengan landasan hukum yang
memayungi, LSF berkewenangan untuk :
- meluluskan sepenuhnya suatu film dan reklame film untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
- memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
- menolak suatu film dan reklame film secara utuh untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
- memberikan surat lulus sensor untuk setiap kopi film, trailer serta film iklan, dan tanda lulus sensor yang dibubuhkan pada reklame film, yang dinyatakan telah lulus sensor;
- membatalkan surat atau tanda lulus sensor untuk suatu film dan reklame film yang ditarik dari peredaran berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat 1 Undang-undang Namor 8 Tahun 1992;
- memberikan surat tidak lulus sensor untuk setiap kopi film, trailer serta film iklan, dan tanda tidak lulus sensor yang dibubuhkan pada reklame film, yang dinyatakan tidak lulus sensor;
- menetapkan penggolongan usia penonton film;
- menyimpan dan/atau memusnahkan potongan film hasil penyensoran dan film serta rekaman video impor yang sudah habis masa hak edarnya;
- mengumumkan film impor yang ditolak.
LSF
dengan segala perangkat hukumnya pun memulai sepak terjangnya “mengamankan”
konten film yang dirasa tidak layak untuk ditampilkan, dengan pertimbangan dari
beberapa sudut mulai dari pendidikan, agama, hingga politik dan keamanan. Atau
mungkin “mengamankan” seluruh film.
Pada
praktiknya, LSF akan memberikan rekomendasi kepada produser film untuk
menghapus beberapa bagian di konten yang dirasa melanggar norma-norma dari
pertimbangan itu. Satu dari sekian banyak film, ada satu judul film yang
membuat heboh jagat visual bergerak ini. Balibo judulnya.
Balibo
adalah sebuah film tentang lima jurnalis asal Australia yang pergi ke Timor
Lester untuk meliput perang antara pasukan Indonesia dan pasukan Timor Leste
disana. Singkat kata, film itu sukses bikin berang penguasa yang saat itu.
Apakah karena itukah Balibo dilarang tampil di public? Ataukah ada alasan lain?
Memang
tak dapat dipungkiri, ada beberapa bagian dalam film ini yang menampilkan
adegan kekerasan seperti menembak, memukul, menendang, dan lain-lain. Bukankah
itu juga seharusnya menjadi pertimbangan untuk menyensor film? Toh nyatanya,
banyak film dengan porsi kekerasan lebih banyak tapi tetap beredar. Berarti
premis ini bisa dibilang tidak tepat.
Analisis
penulis lebih condong kepada alasan politis atas isu yang diangkat film ini.
Pemerintah Indonesia melalui LSF, seakan ingin menutup kenangan buruk atas
meninggalnya lima wartawan Australia yang melput disana. Lebih lanjut,
Indonesia seakan ingin menutup kenyataan bahwa mereka telah berbuat sangat
kejam saat perang itu terjadi. Entah khawatir nama baiknya sebagai negara yang
(katanya) terkenal dengan sopan santun ini, atau khawatir mendapat “somasi”
dari negara tetangga yang pamerannya tewas perang dalam film, saya tidak tahu.
Adalah
persoalan geopolitik di kawasan Asia Tenggara saat itu yang membawa pada
pembredelan film ini untuk publik. Di film ini di banyak di tampilkan pasuk
gerilya Fretelin yang berhaluan Komunis, sedangkan Indonesia yang kala setting
film itu berlangsung, 1975, yang masih dibawah rezim Orde Baru sangat alergi
dengan aliran itu. Padahal saat film ini diproduksi, 2009, bahkan Soeharto
sudah meninggal dunia dan kebebasan berekspresi (katanya) sudah dijaga betul
eksistensinya, toh nyata persoalan geopolitik yang bahkan sudah terjadi puluhan
tahun silam saja masih tak kuasa LSF untuk mensensor film ini.
Saya
hanya menduga, itu semua adalah alasan layar hitam mengembang di film ini.
Layar hitam yang besar yang menutup semua sudut untuk memandang. Menutupi
sesuatu dibaliknya. Pandangan lenyap, dan seakan tidak ada apa-apa disana.
Itulah ironi negeri yang katanya reformasi, dimana ekspresi tak segan ditutupi
oleh ia yang tak senangi.
#Info Terkait
- Movie Trailer. Klik disini
- Review tentang film balibo. Klik disini
- Soal Timor Leste. Klik disini
No comments:
Post a Comment