Dalam buku Sang
Nabi karya Kahlil Gibran, dikisahkan seorang cendikiawan bijaksana pintar,
laksana lentera pengetahuan, Almustafa namanya, hendak beranjak pergi
meninggalkan kota yang didiaminya selama dua belas tahun belakangan. Begitu
kaya ia dengan sabda kebijaksanaan, sehingga membuat masyarakat menuntut
wejangan darinya sebelum kepergiannya. Usai memberikan wejangan dari beberapa
pertanyaan, seorang guru menyelinap maju di tengah kerumunan orang dan
bertanya, “Bagaimanakah seluk-beluk memberi pengajaran?” Ia pun menjawab, “Tak
seorang pun dapat menanamkan pelajaran kecuali yang mulai terjaga di fajar
subur pengetahuan. Bila ia bijaksana, sesungguhnya tiadalah ia memintamu
memasuki gudang perbendaharaan kebijaksanaan itu, tapi akan menuntunmu ke depan
pintu gerbang penalaran.”
Kisah itu berakhir. Tapi punya makna mendalam disana.
Secara implisit terdapat sebuah ajaran penting yang ingin disampaikan Kahlil
Gibran melalui “alter ego”-nya yang bernama Almustafa.
Ajaran
itu adalah bahwa kesadaran manusia untuk belajar adalah kunci keberhasilan
manusia mendalami ilmu. Pernah lihat orang malas belajar lalu tidak berhasil
sekolahnya? Di Indonesia kasus ini sangat biasa terjadi, baik di bangku sekolah
dasar sampai bangku pendidikan tinggi. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena
orang tersebut tidak mempunyai kesadaran untuk mau belajar. Tidak memiliki
kesadaran untuk belajar membuat mereka sulit mendalami ilmu. Apa yang membuat
mereka demikian? Mereka miskin motivasi. Belajar adalah soal nilai kuantitatif
di atas kertas yang dijadikan dasar pemahaman berperan sebagai pemenuhan
tuntutan formalitas hidup era modern, itu anggapan mereka. Jika mereka tidak
memperoleh angka yang dijadikan standar kelulusan, maka mereka boleh dibilang,
“gagal belajar”. Buntutnya panjang, alhasil para peserta ajar ini menghalalkan
segala cara untuk dapatkan nilai diatas standar itu. Mereka yang nilainya
berada di atas standar, dianggap pintar atau “sukses belajar”. Proses belajar
telah dibakukan dalam sistem kaku yang tak lagi mengedepankan kreatifitas otak
untuk berdaya, yang mendewakan nilai dengan standar kelulusan. Belajar
seakan-akan menjadi hal yang sia-sia. Belajar untuk peroleh nilai bukan ilmu.
Bahkan jika mereka mendapatkan nilai yang bagus, bukan berarti pemahaman akan
ilmu mereka bagus kan? Salah total
sudah pemahaman akan proses belajar itu. Itu yang membuat mereka tidak semangat
belajar, yang berujung pada tidak adanya kesadaran untuk belajar yang berbuntut
pada sulitnya mendalami ilmu.
Sebenarnya
belajar adalah sebuah cara seseorang mencapai penalaran. Ilmu ada buah dari
pengetahuan yang terus uji secara sistematis, logis dan berdasar dari
penalaran. Belajar adalah kegiatan mendapatkan pengetahuan, menimba ilmu, lalu
menggunakan ilmu itu sesuai kebijaksanaan untuk menjalani hidup. Itulah esensi dari belajar.
Lalu
bagaimana dengan pendidikan? Apa esensi dari pendidikan?
“Intisari
dari pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, pengangkatan manusia ke
taraf insani,” demikian petikan yang penulis ambil dari Bapak Pendidikan
Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Secara lebih jelas, Ki Hajar Dewantara
menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses humanisasi (human = manusia, plus
imbuhan isasi = proses, membuat jadi. Proses membuat jadi manusia). Jadi
menurut pria yang bernama kecil Suwardi Suryaningrat ini, manusia pada awalnya
terlahir sama. Nol. Kecil, lemah, hanya bergantung dari orang lain disekitarnya
(orang tua, guru, dll). Namun dengan mereka memperoleh pendidikan, mereka
menjadi tahu dan mengerti bagaimana bertindak dan menjalani hidup dimana segala
tindakan mereka diambil berdasar akal dan hati nurani. Melalui pendidikan
itulah kedua hal tersebut bisa berfungsi dengan lebih sempurna. Proses itulah
yang membuat manusia menjadi lebih “manusia”.
Pada
zamannya, untuk mempermudah pemahaman orang soal yang dimaksud pendidikan, Ki
Hajar meringkasnya sebagai cara manusia keluar dari kebodohan. Bagi bangsa yang
baru keluar dari belenggu kolonialisme dan imperialise yang berusaha
menancapkan kaki di tanah sendiri ini, pendidikan adalah solusi. Coba tengok,
melalui enyaman pendidikan, lahir para intelektual yang kelak menjadi
bapak-bapak membentuk fondasi bangsa. Kehidupan menjadi membaik. Meminjam
istilah dari dunia sosiologi, pendidikan adalah ekskalasi sosial, cara manusia
untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Luar
biasa sekali bukan pesan dari Almustafa dan Ki Hajar Dewantara? Adalah tugas
dan pekerjaan dari seluruh pihak yang mengatasnamakan penyelenggara untuk
berefleksi, mengevaluasi diri, apakah sudah mengerti dan menghayati hakekat
belajar dan pendidikan? Dengan terlaksananya penyelenggaran pendidikan yang
sesuai dengan hakekatnya, besar kemungkinan kesejahteraan dan kemampuan ilmu
masyarakat kita lebih maju.
*Pernah diterbitkan di Majalah 9 edisi Mei 2012. Thanks to Viriya Paramita or Jawir buat kesempatan dan barter tulisannya untuk masing2 majalah kita. He-he-he :D
No comments:
Post a Comment