"Jakarta
kebanjiran / di Bogor angin ngamuk /
rumah ane kebanjiran / gare-gare got mampet."
Itulah sepenggal lirik lagu Kompor Meleduk yang dipopulerkan oleh Benyamin Sueb pada tahun 1972. Sebuah lagu kritik sosial soal keadaan Jakarta yang selalu jadi langganan banjir, sebuah kondisi riil Jakarta kala itu. Seniman Betawi ini berseloroh dalam lagunya bahwa penyebab banjir di Jakarta adalah limpahan air hujan dari Bogor yang tak mampu ditampung saluran air di Jakarta karena tersumbat.
Itulah sepenggal lirik lagu Kompor Meleduk yang dipopulerkan oleh Benyamin Sueb pada tahun 1972. Sebuah lagu kritik sosial soal keadaan Jakarta yang selalu jadi langganan banjir, sebuah kondisi riil Jakarta kala itu. Seniman Betawi ini berseloroh dalam lagunya bahwa penyebab banjir di Jakarta adalah limpahan air hujan dari Bogor yang tak mampu ditampung saluran air di Jakarta karena tersumbat.
Empat puluh tahun kemudian rupanya kondisi serupa masih
akrab ditemui warga Jakarta saat ini. Saluran air tersumbat akibat sampah
menumpuk yang menghalangi aliran air, yang berujung pada banjir. Rupanya dalam waktu
segitu lama keadaan di Jakarta tidak berubah. Diibaratkan dengan
perjalanan hidup manusia, maka pada usia empat puluh tahun adalah dari ia
lahir, lulus sekolah, bekerja, menikah sampai mempunyai anak sekitar usia SD atau
SMP.
Selama rentang waktu itu pula Jakarta dipimpin oleh tujuh
gubernur mulai dari Ali Sadikin sampai Fauzi Bowo. Kenyataanya, mereka gagal
mengatasi masalah yang dikumandangkan Benyamin empat puluh tahun silam. Kalau
kata orang Betawi bilang, "Ngapain aja lu sampe nih semua kagak
pernah kelar?"
Seorang warga membersihkan sisa
genangan air dari Luapan air Kali Krukut di Kampung Pulo, Jalan Bango,
Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (2/11).
TEMPO/Aditia Noviansyah
(Sumber :
http://www.tempo.co/read/news/2012/07/04/083414873/Hujan-Sebentar-Pondok-Labu-Banjir-Lagi)
Tidak cuma soal banjir, sejumlah masalah klasik Jakarta seperti kemacetan lalu lintas, tingkat kriminalitas yang tinggi, akses kesehatan dan pendidikan yang belum menjangkau semua kalangan, tata kota yang semwrawut, masih mewarnai Ibukota Indonesia ini.
Potret Kemacetan Ibukota
(Foto oleh : TEMPO/Eko Siswono Toyudho. Sumber :
http://pilkada.tempo.co/konten-berita/pilkada_dki_program_janji/2012/07/03/414610/Jurus-Jokowi-Atasi-Macet)
Jakarta Mencari Pemimpin
Ibukota saat ini tengah melaksanakan pemilihan kepala daerah
(Pilkada). Jakarta butuh pemimpin yang punya visi misi, dan menjalankannya
dengan integritas, kejujuran, ketegasan namun tetap santun dan merakyat.
Pemimpin yang melayani, bukan ingin dilayani. Pemimpin yang mampu Ing Ngarso
Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang artinya di
depan, pemimpin memberi teladan atau contoh tindakan yang baik, di tengah atau
di antara masyarakat menciptakan prakarsa dan ide, dari belakang memberikan
dorongan dan arahan. Sebuah ciri pemimpin yang sudah lama hilang di Indonesia.
Adakah salah satu dari mereka yang memenuhi kriteria itu?
Berbagai usaha dilakukan calon gubernur agar masyarakat mau memilih mereka. Berkembangnya teknologi internet, menempatkan sosial media sebagai instrumen baru dalam kampanye. Adalah Politicawave, sebuah lembaga yang memantau "aktivitas" kampanye dan opini masyarakat di dunia maya. Lembaga ini rutin merilis grafis dan dinamika tingkat elektabilitas masing-masing pasangan cagub-cawagub
Berbagai
infografis berdasarkan pantauan dan riset dari Politicawave, sebuah lembaga
yang memantau aktivitas kampanye dan opini masyarakat di dunia maya.
|
Mari ikut memilih, ambil suara dalam perubahan. Supaya tiada lagi keluhan, "Jakarta kebanjiran!" seperti yang dengungkan Benyamin empat puluh tahun silam. Menyongsong Jakarta yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment