(versi Hardnews)
Anggota
Komisi Dua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari fraksi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Budiman Sudjatmiko, menjadi dosen
tamu pada kuliah umum matakuliah Komunikasi Politik di Student Lounge,
Universitas Multimedia Nusantara, Sabtu (26/5). Pada kuliah umum yang
dimoderatori oleh Dosen Komunikasi Politik Universitas Multimedia Nusantara
Nosami Rikadi, Budiman menekankan strategi komunikasi politik yang ideal adalah
menggabungkan informasi substantif dan atribut.
“Umumnya
politisi menekankan pada atribut dan kosong saat membicarakan substansi.
Idealnya mengemas strategi komunikasi politik dengan menggabungkan atribut
dengan substansi itu.” ujar Budiman di depan sekitar dua ratusan mahasiswa
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara.
Budiman
menerangkan bahwa ada dua jenis informasi dalam komunikasi politik yaitu
informasi substantif dan informasi atribut. Menurut pria kelahiran Cilacap, 10
Maret 1970 ini, informasi substantif adalah informasi yang terkait langsung
inti permasalahan. Sedangkan informasi atribut adalah hal-hal seputar yang
melekat pada politisi pada saat rapat, presentasi atau tampil di depan publik.
“Informasi
substantive itu contohnya rancangan undang-undang. Sedangkan atribut lebih
mudah dilihat, seperti rupa dan apa saja yang dikenakan si politisi, latar
belakangnya apa dan sebagainya.”
“Kebebasan demokrasi
Indonesia berdiri di atas asumsi bahwa negara bisa memilih pejabat publik
secara tepat. Diasumsikan masyarakat itu well-inform.
Masyarakat bisa dengan mudah mengakses semua informasi yang dibutuhkan untuk
mampu memilih politisi yang tepat,” ujar pria yang pernah tiga setengah tahun
mendekam di bui saat penghujung era orde baru. “Tapi faktanya tidak setiap
orang bisa nerima, karena kadar
kognitifnya dalam menerima informasi itu berbeda-beda. Masyarakat umumnya lebih
mudah mengenali informasi atribut, yang ada di permukaan saja.”
Karena menurutnya, ada
tiga tahap yang harus dilalui untuk menjadi politisi handal yaitu; tahap
substansi, pencitraan dan kekuasaan. “Politisi yang baik harus menguasai
materi, itu tahap pertama. Lalu dia
harus lakukan lobi politik untuk langkah konsolidasi politik yang kuat. Setelah
kuat, maka ia punya kekuatan untuk melakukan sesuai pemahaman materi
substansinya.” (BKY)
Budiman
Sudjatmiko memberikan kuliah umum tentang komunikasi politik di
Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong, Tangerang, Sabtu
(26/5). (Benediktus Krisna Yogatama) |
Budiman
: Idealnya, Menggabungkan Substansi dengan Atribut
(versi feature)
Sabtu,
26 Mei 2012, saat matahari belum genap beredar di puncak orbitnya, Universitas
Multimedia Nusantara (UMN) kedatangan tamu istimewa untuk menambah daya
intelektualitas mahasiswanya, khususnya kelas komunikasi politik. Bisa dibilang
istimewa karena dia seringkali disebut sebagai simbol personifikasi dari
gerakan pemuda angkatan 98, sebuah gerakan yang mengantar reformasi, yaitu
penyusunan kembali format-format sistem dan perangkat negara, gerakan yang
menjatuhkan rezim berkuasa saat itu, Orde Baru. Pernah pula ia enyam vonis 13
tahun penjara karena dengan lantang menentang sang penguasa. Ia adalah Budiman
Sudjatmiko.
Setelah
sempat terjadi kegaduhan akibat telatnya beliau sampai di lokasi karena
berbagai alasan non-teknis, juga membuat sebagian mahasiswa hilang simpati
akibat tidak menyebut ‘nusantara’ melainkan ‘nasional’ saat menyebut UMN,
Budiman membuka kuliah umumnya dengan penjelasan mengenai kondisi konstelasi
politik Indonesia saat ini.
“Kita
memasuki era demokrasi liberal. Era multipartai,” ujarnya di hadapan ratusan
mahasiswa dari Fakultas Ilmu Komunikasi UMN. Kemudian ia menjelaskan bahwa di
era ini kebebasan berpendapat, ekspresi dan informasi dilindungi oleh payung
hukum, sehingga demokrasi dan liberalisasi mendapatkan koridornya. “Jauh lebih
baik dibandingkan otoriterian. Demokrasi dengan segala keburukannya masih jauh
lebih baik,” ujar Budiman usai bercerita soal beberapa temannya yang dibunuh
ataupun hilang usai mengkritisi pemerintah saat itu (orde baru).
“Kebebasan
demokrasi Indonesia berdiri di atas asumsi bahwa negara bisa memilih pejabat
publik secara tepat. Diasumsikan masyarakat itu well-inform. Masyarakat bisa dengan mudah mengakses semua informasi
yang dibutuhkan untuk mampu memilih politisi yang tepat,” ujar pria yang pernah
tiga setengah tahun mendekam di bui saat penghujung era orde baru.
“Tapi faktanya tidak
setiap orang bisa nerima, karena
kadar kognitifnya dalam menerima informasi itu berbeda-beda. Masyarakat umumnya
lebih mudah mengenali informasi atribut, yang ada di permukaan saja, ketimbang
informasi substansi yang jadi pokok pembahasan.”
Budiman
menerangkan bahwa ada dua jenis informasi dalam komunikasi politik yaitu
informasi substantif dan informasi atribut. Menurut pria kelahiran Cilacap, 10
Maret 1970 ini, informasi substantif adalah informasi yang terkait langsung
inti permasalahan. Contohnya rancangan undang-undang, rumusan kebijakan dan
lain sebagainya. Sedangkan informasi atribut adalah hal-hal seputar yang
melekat pada politisi pada saat rapat, presentasi atau tampil di depan publik.
Warna dan cara pakaian, potongan rambut, cara berorasi, dan hal seputar yang
melekat padanya adalah contoh informasi atribut.
“Umumnya
politisi menekankan pada atribut dan kosong saat membicarakan substansi.
Idealnya mengemas strategi komunikasi politik dengan menggabungkan atribut
dengan substansi itu.” ujar Budiman yang memberi kuliah umum di Student Lounge,
gedung kampus Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong, Tangerang.
Kemudian
ia mengambil contoh pada kampanye Obama untuk mencalonkan diri menjadi presiden
pada tahun 2008. Obama memperkuat tim sukses kampanyenya dengan merekrut
seorang neuro-scientist, seorang ahli
kerja otak. Menurut ahli kerja otak itu, manusia punya respon beragam dalam
menanggapi informasi. Ada berbagai cara mereka mengolah informasi yang mereka
terima, mulai dari yang bersikap reflektif
dan refleksive, ada pula yang evaluative, pun kognitif. Celakanya adalah mayoritas manusia merespon itu adalah
dengan sikap refleksive, secara
spontan memutuskan suka atau tidak suka hanya dalam beberapa menit impresi
pertama yang didapat dari informasi atribut. Mengapa? Respon refleksive didorong atas rasa emosional
yang terpicu dari menanggapi stimuli dari politisi yang berkampanye, yang
seringkali mengaburkan pertimbangan rasional kognitif sekalipun. Karena untuk
menelan informasi substantive, seseorang butuh waktu, sedangkan atribut, hanya
dalam beberapa menit saja, informasi itu telah lunas ditelan seseorang dan
dicerna menjadi sikap: suka atau tidak suka.
Relevansinya apa dengan
komunikasi politik di era demokrasi liberal? Karena sistem ini merestui suara
terbanyak sebagai pemenang yang sah, maka itu perlu dilakukan strategi
komunikasi politik yang tepat agar mampu meraih simpatik public agar mampu
mendulang banyak suara saat pemilihan umum. Sekali lagi Budiman menekankan pada
penggabungan informasi substansi dengan informasi atribut.
Budiman juga
menambahkan ia tetap yakin bahwa ‘kualitas’ yang ‘dibungkus’ secara tepat
adalah senjata ampuh mendulang suara saat pemilihan umum.
Karena menurutnya, ada
tiga tahap yang harus dilalui untuk menjadi politisi handal yaitu; tahap
substansi, pencitraan dan kekuasaan. “Politisi yang baik harus menguasai
materi, itu tahap pertama. Lalu dia
harus lakukan lobi politik untuk langkah konsolidasi politik yang kuat. Setelah
kuat, maka ia punya kekuatan untuk melakukan sesuai pemahaman materi
substansinya.”
No comments:
Post a Comment