“Revolusi!
Revolusi! Revolusi sampai mati!”
“Revolusi! Revolusi! Revolusi harga
mati!”
Empat belas tahun sudah gugatan itu
mengumandang di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR-RI). Buah kristalisasi ekspresi yang lama terbungkam, membuncah menjadi
sebuah tuntutan, seakan menjadi kredo bagi oleh kumpulan kesatuan mahasiswa,
organisasi masyarakat, juga masyarakat sendiri yang berunjuk rasa saat itu.
Adalah Soeharto sebagai nahkoda dari
pemerintahan orde baru, yang dianggap oleh para demonstran sudah tidak layak
lagi berada di kursi pemerintah. “Musuh kita jelas, satu, Soeharto,” ungkap Budiman
Sudjatmiko salah seorang aktivis yang ikut gerakan ini. Budiman memosisikan
diri sebagai oposisi Soeharto dengan mendirikan Partai Rakyat Demokratik yang
membuat dia sempat bernaung di bui selama tiga setengah tahun.
Sementara itu Senayan terus digoyang
aksi masa. Serangkaian demonstrasi dan gugatan tak jemu mereka serukan. Hasilnya
kesatuan aksi yang mayoritas adalah mahasiswa itu berhasil menurunkan
pemerintah yang mereka anggap sudah tidak layak lagi berada di tampuk
kepemimpinan.
“Saya memutuskan berhenti dari
jabatan saya sebagai presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini,”
ujar Soeharto di Istana Merdeka, 21 Mei 1998. Ribuan masa bersorak gembira,
akhirnya usaha mereka berhasil. Implikasinya jelas : Orde baru jatuh, Soeharto lengser, Indonesia
masuk periode baru.
Para elit politik saat itu kemudian bergegas,
menyiapkan sejumlah format pemerintahan yang baru, dimana mereka menjanjikan
perubahan bagi negara. Kemudian “Gerakan 98” sukses membidani sebuah format
negara baru yang disebut reformasi. Berasal dari sebuah kata yaitu ‘formasi’
yang artinya barisan dan ditambah imbuhan ‘re’ yang artinya kembali, maka
reformasi secara etimologis berarti penyusunan kembali formasi. Maka secara
sederhana, definisi reformasi adalah penyusunan kembali format dan
perangkat-perangkat kenegaraan dalam usaha membuat kehidupan bernegara yang
lebih baik. Reformasi memiliki sejumlah agenda perubahaan mulai dari pemerintahan
yang bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), peningkatan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat, kebebasan berpendapat dan berekspresi, sampai reformasi
birokrasi seperti melarang oknum militer dan kepolisian dari kursi
pemerintahan. Masuklah Indonesia pada pemerintahan yang baru.
Waktu berlalu, rezim berganti, mulai
dari Habibie, Abdurachman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil Gus Dur,
Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka semua memimpin
di era pasca reformasi. Hasilnya? Habibie, teknokrat pewaris tahta Soeharto,
belum sempat berbuat banyak karena gelombang politik memintanya untuk segera
turun. Gus Dur naik menggantikannya. Kiai cum
negarawan ini, sukses menegakan pluralisme di Indonesia. Di era ini pula
Budiman diberikan remisi dan pemulihan semua hak politiknya. Namun belum genap
ia tunaikan masa jabatannya, kembali gelombang politik sukses menjatuhkan
presiden dari kursinya. Masyarakat kemudian merindukan sosok pemimpin yang
komplit dengan visi misi untuk negara, seperti yang ditemui dari sosok Soekarno,
presiden pertama yang juga pendiri Republik Indonesia. Maka naiklah sang putri,
Megawati Soekarnoputri sebagai obat kerinduan masyarakat akan mendiang ayahnya.
Mengantongi sejumlah harapan masyarakat, Mega diharapkan tangkas seperti
ayahnya kala berkuasa. Namun rupanya, ekspektasi itu hanya fatamorgana semata.
Mega jauh dari pencapaian ayahnya. Kemudian naiklah sang Menkopolhukam (Menteri
Politik, Hukum dan Keamanan) dari era Mega, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
presiden hingga saat ini. Era dimana demokrasi digaungkan menjadi landasan
negara.
Empat Belas Kemudian
Empat belas tahun sudah Reformasi berjalan. Rupanya
keadaan tak banyak berubah. Mungkin yang paling nyata hanya kebebasan
berekspresi dan berpendapat saja yang benar-benar dijaga tegak payung hukumnya.
Selain itu sama saja. Pemerintahan tetap saja kotor. Ekonomi tumbuh namun tetap
tak kuat menahan krisis keuangan dunia. Yang meresahkan tentu saja aksi anarkis
sejumlah organisasi masyarakat (ormas) yang main hakim sendiri dan merasa
paling benar di jalannya.
Di saat yang sama, sejumlah tokoh gerakan
98 sudah duduk nyaman di kursi parlemen. Sebut saja Rama Pratama dan Budiman
Sudjatmiko. Rama pernah mengenyam bangku DPR dengan menjadi kader Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) pada periode 2004-2009. Sedangkan Budiman, sosok yang
seringkali dijadikan personifikasi gerakan 98 ini sekarang menjabat sebagai
Komisi Dua Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun rupanya
kuasa mereka di parlemen menjadi fenomena anomali dengan gerakan mereka kala
muda. Mereka yang dahulu mengkritik pemerintah, rupanya juga “tunduk” pada
godaan kekuasaan. Rama Pratama bahkan tersangkut kasus korupsi. Sedangkan
Budiman, dinilai oleh banyak pengamat politik tidak lagi segarang dulu ketika
masih tutun di jalanan.
“Butuh waktu
untuk menyelesaikan semua agenda reformasi,” ujar Budiman ketika ditanya soal
mengapa empat belas tahun usai reformasi keadaan tak kunjung membaik.
“Kini semua
pihak mengerubungi, tak jelas lagi mana lawan mana kawan. Zaman dulu, jelas
musuh kita cuma satu, Soeharto,” ujarnya Budiman.
Budiman Sudjatmiko |
Anomali Aktivis
Fenomena yang
dialami Budiman dan Rama Pratama kontradiksi dengan apa yang mereka kerjakan
ketika masih menjadi aktivisi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa aktivis yang
dulu mengkritisi pemerintah menjadi gelap mata ketika sudah berada di kisaran
kekuasaan.
Namun sejarah
mencatat satu nama yang selalu dikenang sebagai “kiblat” para aktivis mahasiswa
di Indonesia. Bukunya selalu menjadi rujukan ketika mereka butuh energi ekstra
untuk mengkritisi sejumlah pihak yang mereka anggap tak adil. Seorang yang
seringkali dijadikan personifikasi aktivis mahasiswa angkatan 1966. Dia adalah
Soe Hok Gie.
Gie, panggilan
akrabnya, adalah seorang aktivis mahasiswa yang sangat vocal pada zamannya. Tak
pernah gentar ia lontarkan kritik pada penguasa saat itu, Soekarno. Bersama
teman-temannya, ia turun ke jalan untuk mengkritisi pemerintah yang mereka
anggap kacau saat itu. “Soekarno tak ubahnya raja-raja Jawa. Ia feodal dan
punya banyak istri. Para pengacau seperti itu pantas ditembak mati di lapangan
banteng,” ujar Gie dalam catatan hariannya.
Seperti halnya
Budiman tiga puluh dua tahun kemudian, Gie berhasil menjatuhkan rezim yang
berkuasa saat itu. Teman-temannya pun mendaki karier di parlemen, Gie memilih
setia pada jalurnya sebagai “watchdog”
pemerintahan. Setali tiga uang dengan parlemen yang mereka jatuhkan, rupanya
teman-teman Gie pun tak kalah korup dan buruknya.
Nampaknya memang
ada kecenderungan seseorang untuk
menjadi gelap mata dengan kekuasaan, padahal dahulunya mereka adalah aktivis
yang menyerukan kebusukan pemerintah. Namun Gie berbeda. Dia adalah anomaly
dari sekian banyak aktivis mahasiswa yang ada. Sayang (atau mungkin beruntung)
dia mati muda. Dia belum sempat berbuat lebih banyak lagi untuk Indonesia.
Mungkinkah ada sosok Gie yang baru? Yang kritis menyuarakan perubahan? Yang
tetap setia meski dikepung sedapnya dunia kekuasaan? Yang tetap setia mengawal
perubahan (baca : reformasi) sehingga benar-benar paripurna agendanya? Kita
tunggu saja.
No comments:
Post a Comment