Tuesday, September 16, 2014

There are many things that I, like to say to you but I don't know how... Oasis - Wonderwall

Saturday, September 13, 2014

Subsidi Habis di Knalpot (mobil pribadi)

Siang itu, komedian Tukul Arwana menepikan mobilnya di sebuah Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU). "Wah," ujar Tukul sambil geleng-geleng, seperti melihat ada yang janggal. Rupanya dia melihat sebuah mobil Alphard berwarna hitam metalik yang sedang isi bensin bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium.

"Wah-wah menyedihkan sekali," ujar Tukul sambil turun dari mobil dan menghampiri sang pemilik mobil Alphard itu.

"Eh mas Tukul ada apa ya?" ujar sang pemilik mobil menyapa Tukul yang lewat di depan mobilnya.

"Mobil mewah begini kok pakai bensin Premium?" ujar Tukul dengan nada ketus

"Pakai bensin Premium saja kan bisa jalan, Mas."

"Wah kalau gitu nggak peduli sama mobilnya dan nggak peduli sama bangsa dan negara. Mengharukan!" tutup Tukul. Sejurus kemudian, muncul logo Pertamax dibarengi tulisan "Pertamax lebih baik."

Demikian Tukul Arwana dalam iklan televisi yang dibuat Pertamina untuk kampanyekan, lebih tepatnya sebuah sentilan, kepada kalangan menengah ke atas yang masih hobi mengisi Premium (BBM bersubsidi), agar membeli Pertamax (BBM non-subsidi) untuk mobilnya. Agaknya iklan kampanye yang disiarkan di berbagai stasiun televisi beberapa tahun lalu ini, perlu lebih sering ditayangkan lagi saat ini. Pasalnya, subsidi BBM yang salah sasaran ini jadi salah satu 'gara-gara utama' soal BBM belakangan ini.

Beberapa bulan yang lalu ramai perdebatan soal peraturan pembatasan subsidi untuk BBM jenis Solar berdasarkan waktu-waktu tertentu. Tak lama berselang, ramai muncul barisan panjang pengantri BBM bersubsidi jenis Premium di SPBU di seluruh Indonesia, akibat kelangkaan pasokan.
 
Pembahasan soal BBM subsidi ini pun makin mengemuka dan sarat nuansa politis usai presiden SBY membacakan nota Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 yang menetapkan tidak ada kebijakkan penting untuk mengurangi defisit anggaran yang sudah terlalu besar menanggung subsidi energi. Tensi drama meningkat ketika Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya yang mengundang sejuta tanda tanya dibaliknya. Klimaksnya, adalah penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Meski penetapan status tersangka tidak terkait langsung dengan subsidi BBM, tapi penetapan Jero membuat lowong posisi menteri yang membuat pengaturan kebijakkan subsidi BBM ini makin tak jelas arah labuhannya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa sih soal subsidi BBM ini? Kenapa begitu hiruk-pikuk?

Seperti kita ketahui bersama, energi atau dalam bahasa lebih sederhananya BBM, tak pelak merupakan unsur penggerak masyarakat. Bagaimana tidak, jutaan orang naik kendaraan umum setiap harinya berbahan bakar minyak. Jutaan lainnya menggunakan kendaraan pribadi, baik mobil atau motor, juga berbahan bakar minyak. Sektor ekonomi, industri, korporasi semuanya membutuhkan BBM dalam setiap aktivitas mereka, mulai memproduksi barang, sampai distribusi barang/logistik. BBM menjadi tak asing dan kebutuhannya sudah mendesak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan.

Permasalahan dimulai karena nilai subsidi BBM di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 hanya cukup untuk bulan Oktober. Akhirnya terjadilah pembatasan pasokan Premium dan Solar yang membuat antrian panjang di SPBU di seluruh Indonesia yang dimaksudkan agar nilai subsidi cukup sampai akhir tahun. Artinya lewat Oktober, besar kemungkinan harga BBM bakal bebas subsidi, atau artinya harga BBM bersubsidi (baca: Premium dan Solar) bakal naik.

Sebetulnya BBM naik di bulan Oktober, merupakan keniscayaan, karena memang sudah tertera di APBN 2014. Namun masalah jadi makin berbau politis karena, presiden SBY mengesahkan postur RAPBN 2015 tak ada kebijakkan penghapusan subsidi energi.

Berdasarkan pemberitaan KONTAN, pada Sabtu (16/8) postur anggaran RAPBN 2015 untuk pendapatan negara adalah sebesar Rp 1.726,29 triliun. Adapun anggaran belanja RAPBN 2015 adalah sebesar Rp 2.019,86 triliun. Artinya ada defisit Rp 257,57 triliun. Alih-alih mengurangi defisit anggaran, negara malah mengerek subsidi energi 2015 menjadi sebesar Rp 433,5 triliun, membengkak Rp 30,48 triliun dari subsidi energi tahun ini.

Mengapa sarat politis? RAPBN kita defisit antara pendapatan dan belanja. Artinya pemerintahan baru Jokowi-JK yang bakal dimulai Oktober tidak punya cukup dana untuk melakukan program-program mereka. Gampangnya, Jokowi-JK bakal ga punya duit buat jalanin program mereka, karena 'ga diwarisin' duit dari SBY (walaupun hal tersebut bisa diubah di APBN-Perubahan 2015, namun butuh waktu panjang di legislasi) Tidak hanya itu, pemerintah Jokowi-JK bakal dicap 'Jahat' karena pasti menaikkan BBM, akibat keniscayaan APBN 2014 yang menyebutkan bahwa subsidi BBM bakal habis di Oktober.

Padahal banyak pihak menyarankan, ini adalah waktu yang tepat bagi SBY untuk menaikkan BBM. Pasalnya pemerintahan ini tidak perlu lagi sibuk urusi citra. Selain itu juga bisa memberikan ruang fiskal kepada Jokowi-JK agar punya dana dalam menerapkan kebijakkan di pemerintahan baru.

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah memiliki banyak usulan dan kebijakkan untuk mengurangi pembengkakkan subsidi BBM ini. Mulai dari Radio Frequency Identification (RFID). Alat ini berfungsi untuk mengatur agar SPBU mengisikan BBM sesuai kuota. Sudah menganggarkan dana besar, tapi kebijakkan yang heboh di tahun 2011 itu, hingga saat ini menguap bagai angin entah kemana. Toh nyatanya, masih banyak kaum berada yang isi bensin Premium.

Yang paling anyar adalah usulan mengubah lubang tangki bensi dari Low Cost Green Car (LCGC) agar ukurannya hanya bisa diisi dengan selang / nozzle Pertamax. Untuk diketahui nozzle Premium lebih besar dari Pertamax. Jadi dengan mengecilkan lubang tangki bensin, diharapkan LCGC hanya bisa diisi Pertamax. Namun menurut hemat saya, kebijakkan ini pun aneh. Pasalnya populasi LCGC di Indonesia saat ini masih sedikit sekali. Sejak awal tahun sampai dengan Juli ini, mengutip Gaikindo (gabungan industri kendaraan bermotor Indonesia) jumlah LCGC yang terjual adalah 106.567 unit atau sebesar 14,5% . Membuat seluruh LCGC mengisi Pertamax tidak akan banyak memperbaiki defisit subsidi BBM.

Berbagai pejabat seperti Wamen ESDM, Ketua Kadin dan JK, mengatakan akar soal dari subsidi BBM ini adalah pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran. Berbagai sumber menyebutkan 70% subsidi BBM dinikmati 'The Haves' yang berkendaraan Alphard, BMW, dan sejenisnya. Padahal mereka itu sangat mampu beli Pertamax bahkan Pertamax Plus.

"... padahal uang itu hanya habis pada knalpot-knalpot mobil. Mana mau kalian jalan jelek, rumah sakit tidak bisa dibangun, pertanian tidak bisa dibangun, tapi hanya habis dana itu habis di knalpot-knalpot mobil," ujar JK, mengutip omongan beliau dari berbagai media online. Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo dan Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Suryo Bambang Sulisto mengatakan memberikan subsidi BBM itu seperti menaburkan garam di air laut.

Suryo atau yang akrab disapa SBS mengatakan bahwa akibat subsidi BBM yang terus membengkak ini, pembangunan tidak berjalan. "Bayangkan satu triliun lebih habis setiap harinya buat dibakar di knalpot-knalpot mobil. Berikan satu provinsi lima triliun saja, lalu 50%nya untuk pembangunan infrastruktur, bayangkan ekonomi Indonesia berkembangnya seperti apa?" ujar SBS, Kamis (12/9).

 "Dengan uang sekitar Rp 400 triliun hasil penghematan subsidi itu Indonesia bisa membanguna apa saja," ujar SBS Namun permasalahannya mencabut subsidi BBM tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Pasalnya ada sekelompok oknum yang kepetingannya terganggu. Yang teranyar adalah temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan total transaksi senilai total Rp 1,3 triliun pada seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Batam. Si oknum tersebut memiliki pulau, karaoke, dan toko. Si oknum tersebut diduga bermain di jaringan mafia selundupan BBM. Itu baru satu dari banyak 'pemain' lainnya.

Belum lagi pemain yang ekspor dan impor BBM. Seperti diketahui Indonesia belum mempunyai refinery untuk mengolah minyak mentah jadi BBM. Jadi kita itu selama ini ambil minyak mentah, kita ekspor, dan kita impor balik setelah diolah refinery menjadi BBM. Nah di siklus inilah diduga banyak pemain menadah cipratan keuntungannya.

Lalu baik gimana?

Menurut hemat saya pribadi hapuskan sajalah subsidi BBM ke 70% orang yang tidak berhak itu. Caranya? Gampang, larang semua mobil pribadi untuk isi Premium. Mereka itu mampu beli Pertamax. Tapi tetap berikan subsidi ke angkutan umum, dan angkutan barang / logistik.

Menurut saya ini merupakan solusi yang paling ideal untuk Indonesia. Supaya inflasi tetap landai (karena tidak ada snowball efek dari kenaikkan tarif kendaraan umum dan biaya logistik distribusi perdagangan) dan tidak ada gejolak sosial yang berarti (karena kalangan menengah ke bawah tidak terlalu tergencet inflasi). Kalau mobil pribadi kan yang kena dampaknya hanya kaum berada saja, kalangan luas tidak berdampak inflasi.

Solusi ini tidak perlu biaya besar dan proyek canggih seperti RFID, yang sekarang juga tidak jelas juntrungannya. Selain itu juga tidak perlu bersusah payah mengecilkan lubang tanki bensin mobil apa segala macam. Simpel, hanya perkuat pengawasan dan ketegasan peraturan bahwa mobil pribadi dilarang isi Premium. Di sisi lain perlu penguatan hukum untuk menindak tegas para penyelundup BBM dan jaringan mafia migas itu.

Lalu uang hasil penghematan subsidinya bisa dialokasi pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Bayangkan ada ribuan rumah sakit, dan sekolah serta ratusan proyek infrastruktur di seluruh Indonesia, yang bisa dibikin dari uang hasil penghematan subsidi tersebut.

Selain itu menurut hitungan kasar SBS, untuk membikin satu refenery butuh sekitar Rp 80 triliun. Setidaknya jika yang dihemat 70%nya dari pencabutan ke 'The Haves' saja kita bisa 280 triliun. Dengan uang itu kita bisa bikin 2-3 refenery, sehingga Indonesia tidak perlu impor BBM lagi.

Ibarat kanker, subsidi BBM memang sudah menyandera anggaran pembangunan, dan membangkrutkan negara.  Untuk menyembuhkan kanker perlu pengobatan yang rasanya pahit, tapi setelah itu badan akan kembali sehat dan bugar. Seperti Indonesia, paska dicabut subsidi BBM, pasti akan ada inflasi (walaupun bisa diminimalkan apabila dengan skenario pengawasan 70% itu), tapi setelah itu pembangunan bisa terstimulus dan ekonomi Indonesia bisa maju

Inilah yang perlu dipahami masyarakat Indonesia kebanyakkan. Mayoritas berpendapat bahwa pencabutan subsidi BBM ini akan memiskinkan (karena ada potensi terkereknya inflasi). Sebetulnya ini bukan pencabutan subsidi, tapi realokasi subsidi ke pembangunan yang lebih berguna, daripada triliunan rupiah per harinya hanya berakhir di knalpot mobil (pribadi).