Sunday, April 3, 2016

Altruis




Saya pernah baca bahwa otak manusia mampu mengeluarkan zat yang fungsinya menguatkan rasa social dan mendorong manusia untuk berbagi. Mohon maaf saya lupa persis nama zat itu, saya juga tidak ingat persis bagaimana mekanisme otak itu bisa mengeluarkan zar itu. Yang pasti, semakin banyak manusia mengeluarkan zat tersebut, manusia tersebut semakin social, suka berbagi, tidak pelit, tidak egois, dan mengedepankan orang lain. Namun, kadar zat itu berbeda-beda di tiap otak manusia. Mungkin itulah yang menjelaskan ada manusia yang sangat suka berbagi, namun di satu sisi ada juga manusia yang egois dan pelit setengah mati.

Saya tidak pernah melakukan penelitian ilmiah pada tubuh saya. Namun, ada satu penelitian yang saya lakukan full time selama 24 tahun lebih saya hidup, berupa metode ‘partisipatif-observasif’ menjadi seseorang Benediktus Krisna Yogatama (Sama aja nyet!). Hasil riset partisipatif-observatif gw terhadap diri gw sendiri, agaknya bisa diambil kesimpulan bahwa gw seseorang yang otaknya banyak mengeluarkan zat tersebut. Menjadikan saya seorang altruis dominan.

Apa itu altruis? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), altruis (kata benda) adalah orang yang banyak mengutamakan kepentingan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.

Berbagai psikotes yang saya jalani memberitahu saya soal ini. Bahkan, saya tahu soal ini sejak pertama kali serius perhatikan psikotes, yaitu saat SMA. Saya altruis.

Dalam banyak kesempatan, kalau anda mengenal saya,  bukannya narsis, saya suka berbagi. Saya tidak pernah pelit untuk berbagi kontak narasumber kepada teman-teman wartawan (kecuali isu dan bahan berita ya. Itu soal etika, dan eksklusif tetap harus terjaga). Saat kuliah saya tak pernah segan berbagi bahkan menawarkan tebengan mobil terhadap teman-teman kuliah yang pulang searah dengan gw. Teman-teman sekolah gw pun tahu, gw selalu ringan tangan. Gw selalu gampang terenyuh untuk menolong orang lain spontan, dan mau repot bantuin orang lain. For me it’s a pleasure. Really.

Satu hal lain, gw juga orangnya paling ga suka ngerepotin orang lain. Bahkan semakin dewasa saya semakin sadar bahwa gw bahkan (terkadang) ga suka dibantu orang lain dalam beberapa perkara tertentu (tergantung situasi dan kondisi). Yang paling gw ga suka adalah gw dikasihani atau diremehkan.

Anyway, but that’s not the point. Kondisi altruis ini, ada positif dan negativenya. Sebagian sudah terjelaskan di atas.

Namun, yang paling terasa adalah kondisi ini membuat gw kesulitan untuk mengambil salah satu keputusan penting di dalam hidup. Karena keputusan ini menyangkut seseorang yang sudah bertahun-tahun hidup di lingkungan terdekat gw. Keputusan yang kalo gw ga hati-hati, satu dan lain pihak akan keberatan, marah, kecewa, dan terjadilah perang dunia.

Saya terlahir di keluarga Jawa. Ada pepatah Jawa yang tidak secara gamblang dibahas di rumah, tapi secara tidak sadar saya ejawantahkan: mamayu hayuning bawono yang arti kasarnya kita harus senantiasa “melestarikan”  lingkungan kita. Artinya kita harus menjaga segala sesuatunya tetap baik, gamblangnya: jauhi konflik bahkan potensi konflik.

Saya pernah salah ambil keputusan 4-5 tahun lalu. Keputusan itu masih berdampak hingga sekarang.
Saya merasa tidak menjadi diri sendiri selama 4-5 tahun. Ya, banyak juga hal penting yang memang keinginan saya pribadi dan terlaksana, saya tetap menjadi diri sendiri. Tapi ada beberapa hal yang juga penting, bukan keinginan pribadi saya terdalam. Saya hidup di bawah bayang-bayang keputusan saya sendiri.

Saya bukannya tidak pernah ambil keputusan penting dalam hidup saya. Saya sering mengambil keputusan penting dalam hidup seperti memilih kuliah dan karier. Satu keputusan penting pribadi yang besar sekali pengaruhnya ke saya adalah: keluar dari Dewargon saat SMA. Saat kuliah saya juga merupakan pemimpin redaksi majalah, kepala bagian di sebuah organisasi mahasiswa kampus. Mengambil keputusan seperti itu mudah saja bagi saya. Karena saya merasa benar saat mengambil keputusan itu.

Namun, yang satu ini beda. Saya bingung mana yang betul2 benar. Sebagian diri saya merasa, ada yang harus berakhir dan dikorbankan. Sebagian lagi merasa, kamu benar2 tak tahu bersyukur, tega sekali. Sebagian lagi mengaum dalam hati: kamu tidak pernah menjadi dirimu yang sebenarnya. Sebagian lagi merasa, hati-hati. Dan bagi yang benar-benar kenal saya, gw adalah orang yang sangat memikirkan masa depan. Karena kalau bukan gw yang merancang masa depan, maka orang lain yang bakal merancangnya untuk gw. No, I don’t want that fucking thing.

Saya juga nggak tahu, kenapa saya menulis ini. Nggak bikin ada solusi turun dari langit juga. Yang ada malah sebagian orang yang baca malah kepo dengan kehidupan pribadi saya. Well, what the hell. Mungkin juga karena sebagian besar diri altruis saya (yang ga mau ngerepotin orang) yang membuat saya (atau mungkin beberapa sifat saya yang lain yang kini benar-benar selektif saya ceritakan) benar-benar kesulitan menemukan seseorang yang benar-benar mau saya ajak bicara dan cari solusi. I’m alone.

Mungkin saya sedang berproses. Atau mungkin memang proses manusia itu tidak akan pernah selesai. Atau Tuhan dan hal-hal yang belum selesai, sedang berproses pada saya.