Wednesday, January 7, 2015

Perihal Sebuah Kebaruan

Agus Dewa Irianto, guru sosiologi SMA Gonzaga pernah berujar di salah satu kelasnya sekitar 6 tahun lalu bahwa ada dua bentuk perubahan sosial di dunia. Guruku waktu SMA yang sangat kukagumi dan kuakui sebagai sosok yang banyak merubah hidup saya ini, berujar, dua jenis perubahan itu dikenal dengan sebutan evolusi dan revolusi. (klik disini untuk tahu siapa itu Agus Dewa dan bagaimana perannya dalam hidup saya). Masih ingat betul di ingatan, sosok guru berkumis tebal dengan sepatu gunung yang tidak pernah absen saban hari lekat di kakinya itu, menerangkan soal itu sebagai berikut.

Evolusi adalah perubahan yang terjadi perlahan-lahan, bertahap, linear, membutuhkan waktu lama. Perubahan bakal berlangsung sepotong demi potong lalu munculah kebaruan. Bagusnya, evolusi lebih bertahan lama. Pasalnya perubahan dilakukan perlahan, sehingga saat ada ancaman akan segera terdeteksi sebelum makin berkembang. Selain itu perubahan juga sinergis dari seluruh komponen. Contohnya seperti evolusi manusia dari manusia purba menjadi manusia modern.

Lalu revolusi adalah perubahan yang terjadi dalam sekejap. Layaknya sebuah hentakkan, mengagetkan, layaknya seorang penebang pohon yang mencabut seluruh pohon hingga ke akar-akarnya, itulah revolusi. Perubahan terjadi dalam sekejap, secara signifikan dan menyeluruh dalam waktu cepat. Sejarah mencatat Soekarno dan angkatan 45 melakukan revolusi, bayangkan pada 16 Agustus 1945 Indonesia secara de jure masih terjajah, namun keesokannya harinya, hanya selisih 24 jam, Indonesia secara de jure memproklamirkan diri sebagai negara berdaulat, mengakhiri babak penjajahan selama 3 abad sebelumnya.

Beberapa bulan yang lalu, seorang direktur utama sebuah perusahaan swasta pernah saya wawancarai untuk rubrik CEO Wisdom/Kopi Sabtu Pagi di harian tempat saya bekerja. Bagi dia kepemimpinan adalah perihal melakukan atau membuat delta. Kita mengenal konsep delta di dunia matematika, fisika, kimia sebagai suatu selisih.. Namun disini artinya membawa yang buruk menjadi  baik, seperti orang tua mendidik dan membesarkan anaknya, seperti guru membuka cakrawala muridnya. Saya suka konsep leadership ini (namun tidak membuat serta merta orang ini dan perusahaannya imun dari kekritisan saya sebagai wartawan).

Selain itu saya juga pernah sebuah quotes, (dari siapa saya tidak ingat), semakin pintar wartawannya maka makin pintar masyarakatnya. Sedikit banyak hal ini menggaungi nurani saya. Apakah saya sudah cukup pintar agar bisa membuka cakrawala masyarakat?

Berpangkal dari situ, mulai awal tahun ini saya sedang bikin program pribadi yaitu membaca 2 buku sampai habis per bulan. Dalam setahun saya bisa mengunyah 24 buku. Tentu buku-buku yang positif dan membuka wawasan tentunya, bukan sembarang. Sebelumnya saya ya memang sudah membaca buku, tapi tak pernah tertib. Belakang saya juga lebih sering membaca koran tiap pagi untuk memberi nutrisi otak dan fondasi sebelum seharian meliput.

Tak hanya itu, saya merasakan tahun ini akan ada revolusi di hidup saya. Tinggal masalah keberanian dan kemauan untuk melakukannya. Taruhannya besar, tapi itu adalah taruhan besar. Namun bila kuberhasil saya akan capai satu level hidup yang bisa terlewati. Maka perlahan sedang kusiapkan, agar saat buah revolusi itu sudah merekah, maka pecahnya buah revolusi itu akan segera datang seiring dengan lonceng perubahan.

Manusia boleh berencana tapi Tuhan berkehendak. Tapi manusia punya kehendak bebas atas rahmat Tuhan. Godspeed and Godbless