Monday, July 30, 2012

Jakarta, Kota Sejuta Asa


Waktu itu saya sedang bercakap-cakap dengan teman soal Jakarta. Usai asyik membahas soal pilgub, dia menyuruh saya melakukan sesuatu, “Coba deskripsikan Jakarta dengan satu kalimat!”

Lalu saya menjawab, “Jakarta, kota sejuta asa.”

Bayangkan kurang lebih sepuluh juta manusia bergulat di dalamnya. Bahkan sebelum matahari genap mengudara di angkasa, mereka bangun pagi sekali setiap harinya, bukan karena tidak bisa tidur atau hobi begadang, namun karena harus segera bersiap membanting tulang untuk menabur asa menyemai rezeki. Kota yang tidak pernah tidur bahkan saat malam berganti hari. Semua demi asa tentang kehidupan yang lebih baik.

Mulai dari pedagang gedongan sampai asongan, karyawan sampai buruh pabrik, sopir pribadi sampai sopir angkot, anak jalanan sampai anak sekolahan, musisi ibukota sampai musisi bus kota, pegawai bank sampai penagih hutang, perantau sampai pribumi, aparat keamanan sampai preman, juragan sampai majikan. Semua bersama-sama bergumul mencari penghidupan di Jakarta. Semua demi sebuah asa tentang kehidupan yang lebih baik.

Namun sayangnya kota ini begitu kejam. Kota ini bukan tempat yang ramah untuk menyemai asa sepuluh juta manusia Jakarta itu. Macet, banjir, kriminalitas tinggi, akses pendidikan dan kesehatan yang sulit terjangkau semua silih berganti berusaha mematikan asa di hati. Dengan segala penuh sesak masalahnya, Jakarta sukses menempati peringkat ketujuh dari sepuluh kota paling dibenci di dunia menurut survey yang dilakukan media di Amerika, CNN. (sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/06/12/199410144/10-Kota-Paling-Dibenci-Jakarta-Nomor-Tujuh) Menurut CNN, Jakarta sama halnya dengan buah durian, berbau menyengat dan butuh ''perjuangan'' untuk menikmatinya.
.
Pemimpin yang Bisa Wujudkan Asa jadi Nyata

Menurut hasil penghitungan KPU atas pilgub putaran pertama, 11 Juli lalu, terpilih dua kandidat dengan perolehan suara terbanyak yaitu Jokowi-Ahok dan Foke-Nara untuk kembali bertarung di pilgub putaran kedua  (Sumber : http://pilkada.tempo.co/konten-berita/pilkada_dki/2012/07/20/418207/Calon-Gubernur-Jakarta-Putaran-II-Ditetapkan)

Ini saatnya perubahan. Mari memilih calon pemimpin yang bisa mengenyahkan masalah dan mampu  menggiring asa masyarakat menjadi nyata.

Punya visi misi, tegas, jujur, berintegritas, cinta dan mengerti pada rakyat. Pemimpin yang Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani . Sebuah ciri pemimpin yang sudah lama hilang di Indonesia. Adakah salah satu dari mereka yang memenuhi kriteria itu?  Bagaimana pendapat masyarakat Jakarta?

Menurut Politicawave, sebuah lembaga yang meriset opini masyarakat di dunia maya soal pilkada, Foke-Nara punya indeks persepsi yang kurang bagus di mata masyarakat, dibandingkan dengan Jokowi-Ahok.

Grafik Persepsi dan Citra Cagub di dunia Maya. (Sumber : www.politicawave.com)

Namun memilih gubernur bukan soal citra positif. Pilih yang paling mampu menahkodai Jakarta keluar dari segala problematikanya.


Perubahan di Jakarta bukan tidak mungkin, menilik Jakarta sudah mengantongi salah satu syarat yang diperlukan: asa untuk jadi lebih baik. Semua itu tinggal digenapi dengan hadirnya pemimpin yang mampu bekerja secara nyata mewujudkannya. Menjadikan Jakarta tak lagi durian, tapi permata Asia Tenggara dan dunia.

Friday, July 20, 2012

Mencari Bang Ali Jilid Kedua

"Menurut Lu, siapa gubernur terbaik yang pernah di miliki Jakarta?"

"Bang Ali sih yang paling oke," jawab saya cepat tanpa ragu dan berpikir panjang.

Siapa itu Bang Ali? Apa Saja yang Sudah ia Lakukan untuk Jakarta?

Ali Sadikin, atau biasa dipanggil Bang Ali, seringkali disebut sebagai gubernur terbaik yang pernah dimiliki Jakarta karena ketegasannya, visi dan misinya, serta sejumlah peninggalan dari masanya yang masih berfungsi hingga sekarang. Gubernur yang menjabat tahun 1966-1977 ini menggagas pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, Pekan Raya Jakarta, Gelanggang Mahasiswa, Gelanggang Remaja, Pusat Perfilman Usmar Ismail. Minatnya untuk melestarikan budaya dan sejarah ia tunjukan dengan mendirikan sejumlah museum antara lain Museum Fatahillah, Museum Tekstil, Museum Keramik, Museum Wayang serta mengembalikan fungsi gedung-gedung bersejarah, seperti Gedung Juang 1945 dan Gedung Sumpah Pemuda.

Ia punya visi dan misi yang besar untuk pembangunan dan menyejahterakan rakyat Jakarta. Namun saat itu, dana APBD Jakarta tidak sebesar mimpinya. Alih-alih terjepit keadaan, malah ia membuat sebuah terobosan  yang pintar namun juga mengundang pertentangan di sisi lain. Ia melegalkan perjudian, membuka tempat hiburan dan melegalisasi pelacuran. Sontak hal itu membuat berang alim ulama yang menentang pembangunan dengan uang haram. Beliau bergeming. Nyatanya, uang itu benar-benar digunakan untuk pengaspalan jalan, membangun sekolah dan rumah sakit. Ia kemudian berkata, “Coba tengok jalan-jalan di dekat rumah Pak Haji sekalian, kalau tak setuju nggak usah lewat jalan haram itu! Biar saya yang tanggung dosanya!”

Siapa Pemimpin Empat Puluh Tahun Kemudian?

Empat puluh tahun berselang, Jakarta sedang menjalankan Pilkada. Jujur, saya merindukan sosok seperti Bang Ali untuk menukangi Ibukota yang sudah sesak dengan masalah ini. Rupanya saya tidak sendirian merindukannya. Menurut survey yang dilakukan LSI (Lingkaran Survei Indonesia) diambil kesimpulan bahwa mayoritas warga merindukan sosok Bang Ali (sumber  : http://www.tempo.co/read/news/2012/05/27/228406468/Warga-Jakarta-Masih-Rindu-Sosok-Ali-Sadikin)

Seperti yang diberitakan http://pilkada.tempo.co/konten-berita/pilkada_dki/2012/07/20/418207/Calon-Gubernur-Jakarta-Putaran-II-Ditetapkan, penghitungan oleh KPU menempatkan Jokowi-Ahok melawan Foke-Nara di putaran kedua pilgub DKI.

Saya akui masing-masing, cagub baik Jokowi maupun Foke, punya kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Bang Ali pun bukan malaikat. Semasa dia menjabat pun ada sejumlah masalah yang belum terselesaikan hingga kini, banjir misalnya. Namun yang perlu dicatat, adakah dari dua cagub kita ini yang punya visi misi serta keberanian seperti Bang Ali?

Menurut Politicawave, sebuah lembaga yang yang memantau "aktivitas" kampanye dan opini masyarakat di dunia maya, Foke-Nara punya indeks persepsi yang kurang bagus di mata masyarakat, dibandingkan dengan Jokowi-Ahok.

Grafik Persepsi dan Citra Cagub di dunia Maya. (Sumber : www.politicawave.com)


Dengan adanya politicawave, segala vox populi dunia maya jadi bisa terpantau. Siapa yang paling disukai dan yang tidak. Namun memilih gubernur bukan soal citra positif. Pilih yang paling mampu menahkodai Jakarta keluar dari segala problematika dan membawa Jakarta menjadi kota yang aman dan nyaman.

Wednesday, July 18, 2012

Dari Benyamin Sampai Sekarang

 
 "Jakarta kebanjiran / di Bogor angin ngamuk / rumah ane kebanjiran / gare-gare got mampet."

Itulah sepenggal lirik lagu Kompor Meleduk yang dipopulerkan oleh Benyamin Sueb pada tahun 1972. Sebuah lagu kritik sosial soal keadaan Jakarta yang selalu jadi langganan banjir, sebuah kondisi riil Jakarta kala itu. Seniman Betawi ini berseloroh dalam lagunya bahwa penyebab banjir di Jakarta adalah limpahan air hujan dari Bogor yang tak mampu ditampung saluran air di Jakarta karena tersumbat.
Empat puluh tahun kemudian rupanya kondisi serupa masih akrab ditemui warga Jakarta saat ini. Saluran air tersumbat akibat sampah menumpuk yang menghalangi aliran air, yang berujung pada banjir. Rupanya dalam waktu segitu lama keadaan di Jakarta tidak berubah. Diibaratkan dengan perjalanan hidup manusia, maka pada usia empat puluh tahun adalah dari ia lahir, lulus sekolah, bekerja, menikah sampai mempunyai anak sekitar usia SD atau SMP.
Selama rentang waktu itu pula Jakarta dipimpin oleh tujuh gubernur mulai dari Ali Sadikin sampai Fauzi Bowo. Kenyataanya, mereka gagal mengatasi masalah yang dikumandangkan Benyamin empat puluh tahun silam. Kalau kata orang Betawi bilang, "Ngapain aja lu sampe nih semua kagak pernah kelar?"
Seorang warga membersihkan sisa genangan air dari Luapan air Kali Krukut di Kampung Pulo, Jalan Bango, Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (2/11). TEMPO/Aditia Noviansyah  
(Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/07/04/083414873/Hujan-Sebentar-Pondok-Labu-Banjir-Lagi)

Tidak cuma soal banjir, sejumlah masalah klasik Jakarta seperti kemacetan lalu lintas, tingkat kriminalitas yang tinggi, akses kesehatan dan pendidikan yang belum menjangkau semua kalangan, tata kota yang semwrawut, masih mewarnai Ibukota Indonesia ini.

Potret Kemacetan Ibukota  
(Foto oleh : TEMPO/Eko Siswono Toyudho. Sumber : http://pilkada.tempo.co/konten-berita/pilkada_dki_program_janji/2012/07/03/414610/Jurus-Jokowi-Atasi-Macet)

Jakarta Mencari Pemimpin
Ibukota saat ini tengah melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Jakarta butuh pemimpin yang punya visi misi, dan menjalankannya dengan integritas, kejujuran, ketegasan namun tetap santun dan merakyat. Pemimpin yang melayani, bukan ingin dilayani. Pemimpin yang mampu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang artinya di depan, pemimpin memberi teladan atau contoh tindakan yang baik, di tengah atau di antara masyarakat menciptakan prakarsa dan ide, dari belakang memberikan dorongan dan arahan. Sebuah ciri pemimpin yang sudah lama hilang di Indonesia. Adakah salah satu dari mereka yang memenuhi kriteria itu?

Sumber : www.politicawave.com



Berbagai usaha dilakukan calon gubernur agar masyarakat mau memilih mereka. Berkembangnya teknologi internet, menempatkan sosial media sebagai instrumen baru dalam kampanye. Adalah Politicawave, sebuah lembaga yang memantau "aktivitas" kampanye dan opini masyarakat di dunia maya. Lembaga ini rutin merilis grafis dan dinamika tingkat elektabilitas masing-masing pasangan cagub-cawagub

Berbagai infografis berdasarkan pantauan dan riset dari Politicawave, sebuah lembaga yang memantau aktivitas kampanye dan opini masyarakat di dunia maya.



Mari ikut memilih, ambil suara dalam perubahan. Supaya tiada lagi keluhan, "Jakarta kebanjiran!" seperti yang dengungkan Benyamin empat puluh tahun silam. Menyongsong Jakarta yang lebih baik.

Sunday, July 15, 2012

Menyoal Hakekat Belajar dan Pendidikan



            Dalam buku Sang Nabi karya Kahlil Gibran, dikisahkan seorang cendikiawan bijaksana pintar, laksana lentera pengetahuan, Almustafa namanya, hendak beranjak pergi meninggalkan kota yang didiaminya selama dua belas tahun belakangan. Begitu kaya ia dengan sabda kebijaksanaan, sehingga membuat masyarakat menuntut wejangan darinya sebelum kepergiannya. Usai memberikan wejangan dari beberapa pertanyaan, seorang guru menyelinap maju di tengah kerumunan orang dan bertanya, “Bagaimanakah seluk-beluk memberi pengajaran?” Ia pun menjawab, “Tak seorang pun dapat menanamkan pelajaran kecuali yang mulai terjaga di fajar subur pengetahuan. Bila ia bijaksana, sesungguhnya tiadalah ia memintamu memasuki gudang perbendaharaan kebijaksanaan itu, tapi akan menuntunmu ke depan pintu gerbang penalaran.”
            Kisah itu berakhir. Tapi punya makna mendalam disana. Secara implisit terdapat sebuah ajaran penting yang ingin disampaikan Kahlil Gibran melalui “alter ego”-nya yang bernama Almustafa.
Ajaran itu adalah bahwa kesadaran manusia untuk belajar adalah kunci keberhasilan manusia mendalami ilmu. Pernah lihat orang malas belajar lalu tidak berhasil sekolahnya? Di Indonesia kasus ini sangat biasa terjadi, baik di bangku sekolah dasar sampai bangku pendidikan tinggi. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena orang tersebut tidak mempunyai kesadaran untuk mau belajar. Tidak memiliki kesadaran untuk belajar membuat mereka sulit mendalami ilmu. Apa yang membuat mereka demikian? Mereka miskin motivasi. Belajar adalah soal nilai kuantitatif di atas kertas yang dijadikan dasar pemahaman berperan sebagai pemenuhan tuntutan formalitas hidup era modern, itu anggapan mereka. Jika mereka tidak memperoleh angka yang dijadikan standar kelulusan, maka mereka boleh dibilang, “gagal belajar”. Buntutnya panjang, alhasil para peserta ajar ini menghalalkan segala cara untuk dapatkan nilai diatas standar itu. Mereka yang nilainya berada di atas standar, dianggap pintar atau “sukses belajar”. Proses belajar telah dibakukan dalam sistem kaku yang tak lagi mengedepankan kreatifitas otak untuk berdaya, yang mendewakan nilai dengan standar kelulusan. Belajar seakan-akan menjadi hal yang sia-sia. Belajar untuk peroleh nilai bukan ilmu. Bahkan jika mereka mendapatkan nilai yang bagus, bukan berarti pemahaman akan ilmu mereka bagus kan? Salah total sudah pemahaman akan proses belajar itu. Itu yang membuat mereka tidak semangat belajar, yang berujung pada tidak adanya kesadaran untuk belajar yang berbuntut pada sulitnya mendalami ilmu.
Sebenarnya belajar adalah sebuah cara seseorang mencapai penalaran. Ilmu ada buah dari pengetahuan yang terus uji secara sistematis, logis dan berdasar dari penalaran. Belajar adalah kegiatan mendapatkan pengetahuan, menimba ilmu, lalu menggunakan ilmu itu sesuai kebijaksanaan untuk menjalani hidup.  Itulah esensi dari belajar.
Lalu bagaimana dengan pendidikan? Apa esensi dari pendidikan?
“Intisari dari pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, pengangkatan manusia ke taraf insani,” demikian petikan yang penulis ambil dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Secara lebih jelas, Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses humanisasi (human = manusia, plus imbuhan isasi = proses, membuat jadi. Proses membuat jadi manusia). Jadi menurut pria yang bernama kecil Suwardi Suryaningrat ini, manusia pada awalnya terlahir sama. Nol. Kecil, lemah, hanya bergantung dari orang lain disekitarnya (orang tua, guru, dll). Namun dengan mereka memperoleh pendidikan, mereka menjadi tahu dan mengerti bagaimana bertindak dan menjalani hidup dimana segala tindakan mereka diambil berdasar akal dan hati nurani. Melalui pendidikan itulah kedua hal tersebut bisa berfungsi dengan lebih sempurna. Proses itulah yang membuat manusia menjadi lebih “manusia”.
Pada zamannya, untuk mempermudah pemahaman orang soal yang dimaksud pendidikan, Ki Hajar meringkasnya sebagai cara manusia keluar dari kebodohan. Bagi bangsa yang baru keluar dari belenggu kolonialisme dan imperialise yang berusaha menancapkan kaki di tanah sendiri ini, pendidikan adalah solusi. Coba tengok, melalui enyaman pendidikan, lahir para intelektual yang kelak menjadi bapak-bapak membentuk fondasi bangsa. Kehidupan menjadi membaik. Meminjam istilah dari dunia sosiologi, pendidikan adalah ekskalasi sosial, cara manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Luar biasa sekali bukan pesan dari Almustafa dan Ki Hajar Dewantara? Adalah tugas dan pekerjaan dari seluruh pihak yang mengatasnamakan penyelenggara untuk berefleksi, mengevaluasi diri, apakah sudah mengerti dan menghayati hakekat belajar dan pendidikan? Dengan terlaksananya penyelenggaran pendidikan yang sesuai dengan hakekatnya, besar kemungkinan kesejahteraan dan kemampuan ilmu masyarakat kita lebih maju.

*Pernah diterbitkan di Majalah 9 edisi Mei 2012. Thanks to Viriya Paramita or Jawir buat kesempatan dan barter tulisannya untuk masing2 majalah kita. He-he-he :D

Saturday, July 14, 2012

Balada Layar Gelap : Sebuah Studi Kasus Terhadap Penyensoran Film “Balibo”



Cover Film Balibo



            Alkisah, Indonesia adalah negara yang mengaku telah sukses menempuh reformasi, yang menjanjikan kebebasan berpendapat, berkarya dan berekspresi dalam media manapun. Ternyata hal itu hanya impian dan fatamorgana semata. Bagaimana tidak, peran negara yang katanya sudah “dikurangi” dalam urusan kekang-mengekang ekspresi, juga kerap kali tertangkap basah masih mencoba mengurungkan karya-karya dan bentuk ekspresi yang mereka anggap tak layak. Bersenjatakan sebuah institusi yang dipayungi hukum dengan selusin lebih pasalnya, negara berkewenangan mencekal dan melarang beredarnya hal-hal yang tak lulus sensor. Perkenalkan Lembaga Sensor Film (LSF) namanya.
            Menurut UU No.7 tahun 1994 tentang Sensor Film, yang dimaksud dengan Sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dan reklame film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu. Itulah yang gatra yang nampak pada beranda landasan hukum LSF. Berlanjut dengan gatra berikutnya yaitu, “LSF mempunyai fungsi sebagai berikut :
  1. melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan/atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia;
  2. memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam bidang perfilman di Indonesia;
  3. memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya dan/atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijaksanaan kearah pengembangan perfilman di Indonesia.
Dengan landasan hukum yang memayungi, LSF berkewenangan untuk :
  1. meluluskan sepenuhnya suatu film dan reklame film untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
  2. memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
  3. menolak suatu film dan reklame film secara utuh untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
  4. memberikan surat lulus sensor untuk setiap kopi film, trailer serta film iklan, dan tanda lulus sensor yang dibubuhkan pada reklame film, yang dinyatakan telah lulus sensor;
  5. membatalkan surat atau tanda lulus sensor untuk suatu film dan reklame film yang ditarik dari peredaran berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat 1 Undang-undang Namor 8 Tahun 1992;
  6. memberikan surat tidak lulus sensor untuk setiap kopi film, trailer serta film iklan, dan tanda tidak lulus sensor yang dibubuhkan pada reklame film, yang dinyatakan tidak lulus sensor;
  7. menetapkan penggolongan usia penonton film;
  8. menyimpan dan/atau memusnahkan potongan film hasil penyensoran dan film serta rekaman video impor yang sudah habis masa hak edarnya;
  9. mengumumkan film impor yang ditolak.
LSF dengan segala perangkat hukumnya pun memulai sepak terjangnya “mengamankan” konten film yang dirasa tidak layak untuk ditampilkan, dengan pertimbangan dari beberapa sudut mulai dari pendidikan, agama, hingga politik dan keamanan. Atau mungkin “mengamankan” seluruh film.
Pada praktiknya, LSF akan memberikan rekomendasi kepada produser film untuk menghapus beberapa bagian di konten yang dirasa melanggar norma-norma dari pertimbangan itu. Satu dari sekian banyak film, ada satu judul film yang membuat heboh jagat visual bergerak ini. Balibo judulnya.
Balibo adalah sebuah film tentang lima jurnalis asal Australia yang pergi ke Timor Lester untuk meliput perang antara pasukan Indonesia dan pasukan Timor Leste disana. Singkat kata, film itu sukses bikin berang penguasa yang saat itu. Apakah karena itukah Balibo dilarang tampil di public? Ataukah ada alasan lain?
Memang tak dapat dipungkiri, ada beberapa bagian dalam film ini yang menampilkan adegan kekerasan seperti menembak, memukul, menendang, dan lain-lain. Bukankah itu juga seharusnya menjadi pertimbangan untuk menyensor film? Toh nyatanya, banyak film dengan porsi kekerasan lebih banyak tapi tetap beredar. Berarti premis ini bisa dibilang tidak tepat.
Analisis penulis lebih condong kepada alasan politis atas isu yang diangkat film ini. Pemerintah Indonesia melalui LSF, seakan ingin menutup kenangan buruk atas meninggalnya lima wartawan Australia yang melput disana. Lebih lanjut, Indonesia seakan ingin menutup kenyataan bahwa mereka telah berbuat sangat kejam saat perang itu terjadi. Entah khawatir nama baiknya sebagai negara yang (katanya) terkenal dengan sopan santun ini, atau khawatir mendapat “somasi” dari negara tetangga yang pamerannya tewas perang dalam film, saya tidak tahu.
Adalah persoalan geopolitik di kawasan Asia Tenggara saat itu yang membawa pada pembredelan film ini untuk publik. Di film ini di banyak di tampilkan pasuk gerilya Fretelin yang berhaluan Komunis, sedangkan Indonesia yang kala setting film itu berlangsung, 1975, yang masih dibawah rezim Orde Baru sangat alergi dengan aliran itu. Padahal saat film ini diproduksi, 2009, bahkan Soeharto sudah meninggal dunia dan kebebasan berekspresi (katanya) sudah dijaga betul eksistensinya, toh nyata persoalan geopolitik yang bahkan sudah terjadi puluhan tahun silam saja masih tak kuasa LSF untuk mensensor film ini.
Saya hanya menduga, itu semua adalah alasan layar hitam mengembang di film ini. Layar hitam yang besar yang menutup semua sudut untuk memandang. Menutupi sesuatu dibaliknya. Pandangan lenyap, dan seakan tidak ada apa-apa disana. Itulah ironi negeri yang katanya reformasi, dimana ekspresi tak segan ditutupi oleh ia yang tak senangi.

#Info Terkait
 
                  -     Movie Trailer. Klik disini
-          Free download film balibo. Klik disini dan disini
-     Review tentang film balibo. Klik disini
-          Soal Timor Leste. Klik disini

Monday, July 2, 2012

Kumpulan Lukisan Raden Saleh

Mendengar nama besar si pelukis legendaris, Raden Saleh, cukup membuat saya untuk tertarik datang ke Galeri Nasional untuk menyaksikan lukisan-lukisannya. Saya cukup beruntung karena diperbolehkan untuk mengambil gambar, maka tidak saya sia-siakan dengan mendokumentasikan kembali lukisannya. Berikut foto-foto lukisan yang sama ambil dari pameran lukisan Pameran Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia, Rabu 13 Juni 2012.

Lobby depan Galeri Nasional berhiaskan gambar Raden Saleh


Suasana Pameran




Berburu Singa


 
Saint Jerome


Singa Memamerkan Taringnya
Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud

Gubernur Jenderal van den Bosch


Kapal Dilanda Badai
Kincir Air
Kuda dan Pemandangan
Memburu Singa

Pantai Selatan Jawa
Pemandangan Ideal Belanda dengan Rumah di Tepi Kolam II
Potret Bupati Cianjur, Raden Adipati Kusumaningrat
Gubernur Jenderal Meijer
Potret Pangeran Sjarif Alkadri

Potret Maria Johanna van Blommestein


Pemandangan Musim Dingin Belanda
Penangkapan Diponegoro
Penunggang Kuda Arab Diterkam Singa
Pertemuan Rahaia di Hutan
Gubernur Jenderal Adolphe Jean Phillipe Hubbert
Potret Gadis dengan Anjingnya




Ketika Hari Tanpa Kendaraan Bermotor (Sebuah Essay Foto Car Free Day)