Monday, March 21, 2011

Noktah, Tatal, Mozaik Menuju Utuh


Tak ubahnya sepotong surga, begitulah inderaku menangkapmu

Seketika sangkakala mengumandang menggelora, pesonamu datang menyentuhku

Mungkin saat ini, aku tak ubahnya noktah di tengah kepungan garis-garis arus besar

Namun ingat garis pun berasal dari noktah yang tumbuh dan berkembang. Aku akan mencoba keluar, menyeruak, membuat guratan sampai akhirnya tatal tercacar. Hingga akan mudah kau jumpai, seperti pesonamu menggetarkan romaku yang senantiasa hadir dengan jari-jemarinya yang manis.

Layaknya tatal tercacar, begitu pula kepingan mozaik-mozaik yang tersebar. Kan kususun milikmu sambil menawarkan kembali mozaikku yang terbaik untuk juga kau susun. Berharap, kita berjumpa di tengah, mengisi kepingan mozaik yang terbelah. Merapat, menyatu, menjadi Utuh.


Ad Maiorem Dei Gloriam

Bene Krisna

Mengakali Realita dengan idealita (dan sebaliknya)


Mulai dari semester 4, gw berjumpa dengan seorang teman yang bernama Steven. Steven ini orangnya unik. Dia adalah seorang koleris murni. Dia akan melawan semua orang yang bertentangan di jalannya. Yang lucu adalah gw sangat berlawanan dengan konsep pemahamannya tentang hidup. Gw dengan konsep gw tentang hidup luhur, bahwa uang itu perlu namun bukan segala-galanya sementara Steven hidup tuh realistis aja coy! Kuliah tuh ga penting, yang penting cari kerja, uang, nikah, punya anak, punya rumah. Namun lucunya sekarang kita berteman baik. Dia tetap berada di jalannya, gw pun demikian. Kita saling menghargai hidup kami satu sama lain. Mungkin karena dia membutuhkan gw yang rajin untuk menaikkan IP-nya, tapi entahlah gw rasa dia bukan tipe manusia yg suka memanfaatkan teman. Buktinya dia setia dan ga MT, saat minta tolong nitip absen karena hujan, namun pas hujan selesai dia tetap datang ke kampus. Logikanya klo dia ud titip absen ke gw, cabut pun gpp dong? Dia ga melakukan demikian.

Kembali gw problema utama, hanya saja, di dalam hati gw merenung. Wartawan : impian gw, cita-cita gw, tidak menawarkan hidup jalur bunga. Gaji yang di tawarkan tidaklah besar. Memang sudah lama gw menanamkan dalam hati, uang itu perlu tapi bukan segala-galanya, tapi tetap saja gw takut akan ketidakpastian masa depan. Bagaimana dengan istri dan anak-anak gw nantinya? Gw mulai sedikit banyak terpengaruh Steven. Dia hampir tiap hari mengatakan, “Percuma kuliah. Bob Sadino aja bilang ‘untung saya ga kuliah, jadi bego dan kebanyakan mikir kayak kalian’.” Ibaratnya idealis gw mulai tergoyahkan dengan tawaran realistis.

Gw saat itu masih semangat sama ide gw, sampe akhirnya gw tenggelam dalam kesibukkan gw dalam HMJ dan KBM. Gw sibuk dan sangat sibuk. Ketika menjelang tidur gw selalu menyempatkan diri untuk berdialog dengan diri gw sendiri, “Krisna apakah lw uda berada di jalan yang benar? Liat deh sibuk lw tuh ga ngaruh sama masa depan lw (ga ada hubungannya dengan kewartawanan, dan ga ngehasilin uang (ya iyalah gw kerja sosial). Uda gitu lw tuh Cuma di tai2in anak2 kampus yg bilang lw ‘sekumpulan anak sok kritis yang pengen eksis”.

The big question is, am I have gone in a wrong way?

Ga semudah itu nyerah. Gw mencari jawabannya. Kebetulan gw sedang mencanangkan suatu program bernama #SabtuBerkualitas (bisa dibaca post sebelumnya) dengan berkunjung ke Salihara untuk mengikuti kuliah filsafat tentang keluhuran : sukses menurut filsafat Plato. Dari situ gw belajar, hidup yang lurus dan luhur. Namun yg trjadi adalah malah makin banyak pertanyaan dalam kepala gw. Wartawan, uang, dan realita. Hidup itu perlu uang man! Menurut arĂȘte (filsafat keluhuran) sukses adalah ketika hidup manusia luhur.

Sampe akhirnya Sabtu kemarin gw beli DVD film 3 idiots. Film ini tuh sadis kerennya. Film ini sarat nilai-nilai dan kritik sosial dalam masyarakat. Khususnya di dunia pendidikan. Yang menariknya adalah segala kritik tersebut disampaikan melalui bahasa semiotika yang ditampilkan baik secara verbal maupun non-verbal.

“If we chase glory and money, it comes temporary. But if we chase excellent, thus money and glory will come along to.” Artinya jika kita belajar dengan motivasi mencari uang dan pekerjaan, hal tersebut tidak akan ada habisnya. Tapi bila yang dicari adalah ilmu pengetahuan, maka uang dan kekayaan akan datang dengan sendirinya. Jangan terlalu terpaku pada system, namun fokuslah kepada bagaimana membuat mahasiswa mempunyai hasrat untuk belajar. Seperti yang di sampaikan oleh film ini, pendidikan itu memberikan ilmu pengetahuan untuk mahasiswanya, bukan pembekalan untuk dapat menjadi bibit unggul yang bersaing dalam dunia kerja.

Dari film ini gw seperti menemukan jawaban atas kegalauan gw. Takut bahwa idealism gw ini Cuma omong kosong belaka. Bahwa idealism gw hanya seperti serigala tanpa taring, atau domba berbulu serigala.

Film ini memberi gw inspirasi, jawaban yang membuat gw kembali bersemangat dan bergairah kembali, setelah untuk sementara gw dirundung ketidakpastian kaki dalam langkahnya. Tidak terlalu berlebihan, jika film ini sedikit banyak mempengaruhi jalan hidup gw.

Gw akan menjadi manusia yang mengakali realita dengan idealita. Panggilan gw adalah menjadi wartawan, seorang public speaker, dosen, cendikiawan, dan Maecenas. Namun gw ga menutup mata, hidup itu perlu uang, dan memiliki uang sebelum lulus kuliah merupakan salah satu cita-cita gw. Maka gw harus pandai mengakali realita sambil tetap konsisten di jalur idealita gw. Wartawan adalah panggilan hidup, dan gw sadar, gaji gw nantinya ga seberapa. Maka gw harus mengakalinya dengan tidak bersandarkan hidup dari situ, namun dari usaha, atau kerja dobel (jadi dosen misalnya kayak si kukum Ignas Haryanto, dosen yang paling gw segani dan hormati, panutan gw) Gw ga bodoh untuk keras kepala dengan idealism sempit macam itu. Tapi memang idealism gw seperti itu. Kebutuhan rohani (panggilan profesi) terpenuhi namun juga kebutuhan materi terpenuhi. Impian gw ingin memiliki komunitas atau sanggar kebudayaan Salihara. Sebuah komunitas kebudayaan yang nirlaba, dimana menjadi tempat berkumpul para aktivis, pandai cendikia, para seniman dan budayawan. Bukankah itu proyek idealis? Konsep atau ide saya adalah mengakali kenyataan dengan idelitas, atau sebaliknya?

Gw ga mau munafik, tapi memang itu panggilan jiwa (baca : idealism atau cita-cita) gw ingin menjawab panggilan gw (melakukan profesi yang gw senangi. Do what you love an love what you do!) dengan menjadi wartawan, dosen, seniman –Rockstar, penyair, budayawan- dan Maecenas. Sambil ingin memperoleh keadaan duniawi dari menjadi seorang enterprenuer.(Dalam waktu dekat gw mau coba bisnis kaos di kampus gw) Memiliki rumah yg asyik (berseni), menyekolahkan anak2 dan mghidupi istri dll. Idealisme gw adalah gw ga mau kalah oleh kenyataan. Gw harus gigih mendapatkan cita-cita gw. Gw mau jadi wartawan, tapi gw mau gw makmur. Bukan berarti wartawan itu selalu kere, namun gw ingin lebih aja. Lagipula kredit kesejahteraan yang kecil juga rentan mengusik independensi wartawan dengan salam tempel dan suap2 menyuap. Lagi-lagi langkah-langkah ini mengerucut pada tujuan2 idealis.

Unique? So pasti! Godbless! :D

Ad Maiorem Dei Gloriam

Bene Krisna

Mengakali Realita dengan idealita (dan sebaliknya)


Mulai dari semester 4, gw berjumpa dengan seorang teman yang bernama Steven. Steven ini orangnya unik. Dia adalah seorang koleris murni. Dia akan melawan semua orang yang bertentangan di jalannya. Yang lucu adalah gw sangat berlawanan dengan konsep pemahamannya tentang hidup. Gw dengan konsep gw tentang hidup luhur, bahwa uang itu perlu namun bukan segala-galanya sementara Steven hidup tuh realistis aja coy! Kuliah tuh ga penting, yang penting cari kerja, uang, nikah, punya anak, punya rumah. Namun lucunya sekarang kita berteman baik. Dia tetap berada di jalannya, gw pun demikian. Kita saling menghargai hidup kami satu sama lain. Mungkin karena dia membutuhkan gw yang rajin untuk menaikkan IP-nya, tapi entahlah gw rasa dia bukan tipe manusia yg suka memanfaatkan teman. Buktinya dia setia dan ga MT, saat minta tolong nitip absen karena hujan, namun pas hujan selesai dia tetap datang ke kampus. Logikanya klo dia ud titip absen ke gw, cabut pun gpp dong? Dia ga melakukan demikian.

Kembali gw problema utama, hanya saja, di dalam hati gw merenung. Wartawan : impian gw, cita-cita gw, tidak menawarkan hidup jalur bunga. Gaji yang di tawarkan tidaklah besar. Memang sudah lama gw menanamkan dalam hati, uang itu perlu tapi bukan segala-galanya, tapi tetap saja gw takut akan ketidakpastian masa depan. Bagaimana dengan istri dan anak-anak gw nantinya? Gw mulai sedikit banyak terpengaruh Steven. Dia hampir tiap hari mengatakan, “Percuma kuliah. Bob Sadino aja bilang ‘untung saya ga kuliah, jadi bego dan kebanyakan mikir kayak kalian’.” Ibaratnya idealis gw mulai tergoyahkan dengan tawaran realistis.

Gw saat itu masih semangat sama ide gw, sampe akhirnya gw tenggelam dalam kesibukkan gw dalam HMJ dan KBM. Gw sibuk dan sangat sibuk. Ketika menjelang tidur gw selalu menyempatkan diri untuk berdialog dengan diri gw sendiri, “Krisna apakah lw uda berada di jalan yang benar? Liat deh sibuk lw tuh ga ngaruh sama masa depan lw (ga ada hubungannya dengan kewartawanan, dan ga ngehasilin uang (ya iyalah gw kerja sosial). Uda gitu lw tuh Cuma di tai2in anak2 kampus yg bilang lw ‘sekumpulan anak sok kritis yang pengen eksis”.

The big question is, am I have gone in a wrong way?

Ga semudah itu nyerah. Gw mencari jawabannya. Kebetulan gw sedang mencanangkan suatu program bernama #SabtuBerkualitas (bisa dibaca post sebelumnya) dengan berkunjung ke Salihara untuk mengikuti kuliah filsafat tentang keluhuran : sukses menurut filsafat Plato. Dari situ gw belajar, hidup yang lurus dan luhur. Namun yg trjadi adalah malah makin banyak pertanyaan dalam kepala gw. Wartawan, uang, dan realita. Hidup itu perlu uang man! Menurut arĂȘte (filsafat keluhuran) sukses adalah ketika hidup manusia luhur.

Sampe akhirnya Sabtu kemarin gw beli DVD film 3 idiots. Film ini tuh sadis kerennya. Film ini sarat nilai-nilai dan kritik sosial dalam masyarakat. Khususnya di dunia pendidikan. Yang menariknya adalah segala kritik tersebut disampaikan melalui bahasa semiotika yang ditampilkan baik secara verbal maupun non-verbal.

“If we chase glory and money, it comes temporary. But if we chase excellent, thus money and glory will come along to.” Artinya jika kita belajar dengan motivasi mencari uang dan pekerjaan, hal tersebut tidak akan ada habisnya. Tapi bila yang dicari adalah ilmu pengetahuan, maka uang dan kekayaan akan datang dengan sendirinya. Jangan terlalu terpaku pada system, namun fokuslah kepada bagaimana membuat mahasiswa mempunyai hasrat untuk belajar. Seperti yang di sampaikan oleh film ini, pendidikan itu memberikan ilmu pengetahuan untuk mahasiswanya, bukan pembekalan untuk dapat menjadi bibit unggul yang bersaing dalam dunia kerja.

Dari film ini gw seperti menemukan jawaban atas kegalauan gw. Takut bahwa idealism gw ini Cuma omong kosong belaka. Bahwa idealism gw hanya seperti serigala tanpa taring, atau domba berbulu serigala.

Film ini memberi gw inspirasi, jawaban yang membuat gw kembali bersemangat dan bergairah kembali, setelah untuk sementara gw dirundung ketidakpastian kaki dalam langkahnya. Tidak terlalu berlebihan, jika film ini sedikit banyak mempengaruhi jalan hidup gw.

Gw akan menjadi manusia yang mengakali realita dengan idealita. Panggilan gw adalah menjadi wartawan, seorang public speaker, dosen, cendikiawan, dan Maecenas. Namun gw ga menutup mata, hidup itu perlu uang, dan memiliki uang sebelum lulus kuliah merupakan salah satu cita-cita gw. Maka gw harus pandai mengakali realita sambil tetap konsisten di jalur idealita gw. Wartawan adalah panggilan hidup, dan gw sadar, gaji gw nantinya ga seberapa. Maka gw harus mengakalinya dengan tidak bersandarkan hidup dari situ, namun dari usaha, atau kerja dobel (jadi dosen misalnya kayak si kukum Ignas Haryanto, dosen yang paling gw segani dan hormati, panutan gw) Gw ga bodoh untuk keras kepala dengan idealism sempit macam itu. Tapi memang idealism gw seperti itu. Kebutuhan rohani (panggilan profesi) terpenuhi namun juga kebutuhan materi terpenuhi. Impian gw ingin memiliki komunitas atau sanggar kebudayaan Salihara. Sebuah komunitas kebudayaan yang nirlaba, dimana menjadi tempat berkumpul para aktivis, pandai cendikia, para seniman dan budayawan. Bukankah itu proyek idealis? Konsep atau ide saya adalah mengakali kenyataan dengan idelitas, atau sebaliknya?

Gw ga mau munafik, tapi memang itu panggilan jiwa (baca : idealism atau cita-cita) gw ingin menjawab panggilan gw (melakukan profesi yang gw senangi. Do what you love an love what you do!) dengan menjadi wartawan, dosen, seniman –Rockstar, penyair, budayawan- dan Maecenas. Sambil ingin memperoleh keadaan duniawi dari menjadi seorang enterprenuer.(Dalam waktu dekat gw mau coba bisnis kaos di kampus gw) Memiliki rumah yg asyik (berseni), menyekolahkan anak2 dan mghidupi istri dll. Idealisme gw adalah gw ga mau kalah oleh kenyataan. Gw harus gigih mendapatkan cita-cita gw. Gw mau jadi wartawan, tapi gw mau gw makmur. Bukan berarti wartawan itu selalu kere, namun gw ingin lebih aja. Lagipula kredit kesejahteraan yang kecil juga rentan mengusik independensi wartawan dengan salam tempel dan suap2 menyuap. Lagi-lagi langkah-langkah ini mengerucut pada tujuan2 idealis.

Unique? So pasti! Godbless! :D

Ad Maiorem Dei Gloriam

Bene Krisna

Sunday, March 13, 2011

Program itu bernama #SabtuBerkualitas

Halo semua apa kabar? Sudah lama ga ngepost nih gw. Hehe

Sebagai jomblo malam minggu menawarkan godaan galau dan bĂȘte yang sangat kuat bagi penderita galaumania. Gw jomblo bukan karena ga laku, tapi karena gw terlalu idealis bahkan dalam hal memilih pacar yang probably pasangan hidup. Ada si nona ini sih, dia sukses memenuhi hampir semua criteria gw. I think we booth fit one and filling in one another. I hope she’s the one :D

Eniwei, Berangkat dari stagnansi di malam minggu yang ga jauh2 dari mengerjakan kewajiban rumah, maen PES, gitar2an, tidur, mentok-mentok kalo jalan ke mall (which is keluarin duit lagi. Hadeehh -___-*) Sangat tidak berkualitas bukan? insiatif pun tercetus dengan mengadakan acara yang meningkatkan kualitas malam minggu. Tercetuslah acara #sabtuBerkualitas, dimana gw dengan rutinnya setiap Sabtu, pergi mengunjungi tempat2 yg asyik, unik, beda dari yang lain dan tentunya berkualitas seperti tempat2 kebudayaan, aktivis, toko buku, dll.

Gw ga mau kayak anak muda kebanyakan, yang saban malam minggu cabut ke Mall. Oke mall itu perlu ketika kita emang butuh barang yg dcari dan dibeli, tapi ga usah jadi sebuah habitual. Kalo lw ud punya penghasilan sendiri terserah deh, tapi mall itu tak segan-segan menawarkan suatu pola hidup konsumtif nan hedonis, kasian bonyok lw palakin mulu saban sabtu. Masih banyak tempat seru dan unik di luar sana, dimana lw bisa spent time dengan menyenangkan dan berkualitas tanpa keluarin banyak uang. Bisa mendapat pengalaman baru yang tidak orang lain rasakan bahkan pikirkan. Berani berbeda dan memberontak atas kemampanan, itulah semangat anak muda! Selamat ber- #SabtuBerkualitas! Cheerss!!! :D

#SabtuBerkualitas di minggu pertama gw, yaitu 26 Februari 2011. Waktu itu gw berangkat dengan segerombol teman “Ring satu” gw capcus ke Kompas Gramedia BookFair. Buku-buku yang dijual disini murah gila!!! Ga nanggung-nanggung tuh buku disunat ampe 90%. Temen gw sih Felix Jody nemu buku Tjipta Lesmana tentang Gaya Komunikasi Politik Presiden dari Soekarno mpe SBY yg aslinya 100rb dia dapet 20ribu doang! Sampe detik ini dia gw tawarin untuk gw beli balik bukunya ga mau, bangke! haha Bahkan ada komik dan buku yang dijual seharga Rp.2000 aja! Masyauloh Haleluya! Di rak bagian 2rb smape 20 rb, orang-orang sampe desak-desakkan, sikut-sikutan untuk berebut buku. Buku-buku sampe jatuh dari raknya, berserakkan di lantai. Ckckck… kalap bener yak nih orang2. Eniwei it’s a nice experience to be there! :D

#SabtuBerkualitas minggu kedua, 5 Maret 2011 gw cabut ke sanggar kebudayaan Salihara untuk ikut kuliah umum tentang Filsafat keluhuran: Arete oleh Plato yang dibawakan oleh Pujangga, jurnalis dan musafir kehidupan Goenawan Mohamad (idola gw nih!) dan ahli filsafat nomor wahid di Indonesia Franz Magnis Suseno . Lagi2 dengan temen “Ring satu”, kita capcus untuk menikmati malam minggu berkualitas. Kami semua awam dengan filsafat tapi tidak alergi dengannya. Kami punya minat dan ketertarikkan dengan filsafat, namun apa daya, tak punya dasar materi yang kuat tentang filsafat, jatuhlah kita dalam labirin pikiran. Hanya kalimat dengan logika common sense biasa yang dapat kami serap. Namun saya tidak merasa pulang dengan tangan hampa, saya mengerti esensi filsafat keluhuran itu, dan membawa saya ke sebuah pertanyaan baru. Namun yang lebih menyenangkan lagi, akhirnya saya dapat berfoto dengan idola saya di dunia jurnalistik Goenawan Mohamad. I was so damn happy! :D Gw pengen sepintar dia, sebijak dia, sehebat dia, inspirasi saya!


Berfoto dengan Goenawan Mohamad

#SabtuBerkualitas minggu ketiga yaitu hari ini 12 maret 2011. Tadi sore gw cabut ke kineforum bwt nonton film. Kineforum itu terletak di kompleks Taman Ismail Marzuki. Kineforum ini lagi merayakan bulan film nasional dan memutarkan film-film local yang berkualitas! Kali ini saya berangkat dengan sobat-sobat gw dari ilkom A, lumayan sekalian reuni kecil, kangen jalan sama mereka. Hehe :D Kita akhirnya nonton “Ira Maya Putri Cinderella”, film jadul 80an. Well, we laugh all about the movie, because we use our modern perspective to judge the movie. Such as, bad a very simple act, ridiculous dress, blur pixel, et cetera. Tapi menyenangkan sekali, secara gw baru sekali kesana, jadi nambah pengalaman juga. Hehehe :D

Minggu depan kemana dan ngapain ya enaknya? Hahaha

Bene Krisna

Ad Maiorem Dei Gloriam