Monday, March 16, 2015

Kita Menyebutnya Ibukota

Pagi di Jakarta jarang merekah
Namun tetap kita berharap sebongkah berkah

Pagi di Jakarta itu selalu kemrungsung
Namun tetap kita berharap setiap saat dada kita selalu membusung

Di Jakarta, detik waktu pun bisa ambil peran antogonis
Nomor wahid soal tuna kompromis

Di Jakarta, langit cerah beserta barisan awan pun seolah kita hirau
Lebih acuh kita dengan keluh akan peluh

Saat langit mendung, kita tahu bencana sedang terkandung

Hujan bagi pujangga adalah puisi
Namun hujan di Jakarta adalah tragedi

Menumpang angkutan, mata menggeliat ke kiri dan kanan
Awasi penumpang tak diundang dengan niatan tak berkenan

Pengendara roda dua sudah lupa nikmatnya hembusan angin segar
Asap lebih akrab di pernapasan

Buat roda empat dan lebih, parkir mengular berjemaah di jalanan itu sudah biasa
Putaran mesin sampai lupa cara berlari

Beruntung bagi kelas pekerja, yang masih rekreasi
Bagi yang liyan, vakansi hanya imaji

Lahan kapitalis tumbuh subur
Ibukota bersabda, memang harus kapitalis agaknya agar hidup naik terkatalis

Selamat datang di Jakarta
Kita Menyebutnya Ibukota

Saturday, March 14, 2015

Konservatif

Semakin hari, semakin dewasa, semakin saya menemukan bahwa saya adalah seorang konservatif.

Ambil contoh, untuk urusan gadget dan ponsel, saya ga ngerti seri terbaru dan ga mau ngerti. Saya tahu ada beberapa keluaran varian baru ponsel dan gadget yg nge-tren. But I just don't care itu hp fitur dan kelebihannya apa dll. Buat saya untuk apa hape baru yg canggih naujubilah dan mahal, jika akhirnya aplikasi yg saya pakai hanya BBM, sms, internet, telpon, twitter, facebook, calculator, document read, dan media player saja? Daripada ponsel itu jadi underperform di tangan saya, dan saya juga habis uang banyak, ya utk apa? Saya ga suka ponsel touchscreen, mau secanggih, se-ngetren apapun itu, gw ga peduli. karena kerjaan saya wartawan yg harus mengetik tuts saat wawancara bahkan perlu cepat dan tanpa melihat tuts. Bagaimana bisa saya lakukan itu dgn touchscreen? Saya tidak benci teknologi2, varian2 baru itu, juga saya tidak benci orang2 pengguna bahkan penggila gadget baru. Itu pilihan mereka atas sesuatu yg mereka sukai. Saya hanya merasa, untuk apa saya beli hal-hal itu? Saya cukup beli ponsel yg saya butuhkan: harga terjangkau, bisa cicilan bunga 0% DP dan tenornya terjangkau, spek sesuai kebutuhan saya. Sudah cukup.

Ambil contoh lain. Sejak masuk kerja saya sangat berhitung soal keuangan saya. Padahal sebelumnya saat kuliah, saya tergolong tidak boros, tapi saya tidak pernah terlalu merencanakan keuangan. Saya menghitung uang saya utk investasi. Saya hitung kebutuhan saya per bulan utk bensin motor, makan, pulsa, parkiran, dan lain-lain. Saya cari tahu kebutuhan keuangan saya utk beberapa tahun ke depan. Saya cari tahu harga rumah skrg, berapa cicilannya dan bagaimana saya bisa membelinya? Di saat bersamaan, saya sedang ambil cicilan motor. Semua itu saya lakukan karena tahu gaji saya tidak banyak, tapi cukup bila bisa dikelola dengan baik. Semua itu saya lakukan karena saya tahu saya akan jadi calon suami, calon ayah, saya akan jdi kepala rumah tangga, saya akan bertanggung jawab atas keluarga saya nanti. Lihat bagaimana biaya sekolah terus naik, biaya kesehatan, listrik, apa segala macam naik. Saya mau sekolah lagi utk strata dua, di luar negeri, dan kalau bisa dengan biaya sendiri plus beasiswa. Kalau tidak mulai disiapkan keuangannya dari sekarang, kapan lagi?

Saya suka traveling. Sejak kecil jika waktu berlibur, bokap-nyokap-kakak gw, kita berempat pasti tamasya. Ke gunung, pantai, museum, candi dalam negeri, luar negeri, you name it-lah. Bagi saya, travelling itu bentuk eskapis saya dari kepenatan rutinitas dan realitas. Bahkan seringkali saya peroleh magical moment tentang suatu konklusi akan suatu masalah, itu terjadi disaat saya benar2 relax, yg terjadi saat travelling.

Namun saat ini saya begitu perhitungan. Bukannya saya mendadak ga suka travelling, tidak, hanya masalah pengalokasian dana. Bahkan utk mengeluarkan uang utk self-pleasure seperti membeli kaos atau sekedar makan steak yg harganya seratus ribuan, bisa bwt saya merasa bersalah pada diri sendiri. "Mana katanya bwt masa depan, malah lu belanjain?" Ujar saya kepada diri saya sendiri di dalam hati. Walau dalam hati, keinginan traveling itu tetap ada dan selalu ada.

Saya lihat k***k, dia pernah menunjukkan buku saldonya. Dalam dua tahun kerja, hanya tertera Rp 5 juta. Saya sedih sekali dan kecewa sebenarnya. Bagaimana ke depan dia punya bekal finansial? Iya memang orang tua gw, Puji Tuhan, orang berkecukupan, tapi ada waktunya kita akan hidup sendiri bukan? Rp 5 juta itu sama dengan gaji gw sebulan lebih dikit wktu gw pertama kali kerja. 24 bulan kerja, dengan asumsi gajinya sekitar Rp 3-4 juta, artinya ada Rp 72 juta- 96 juta, masa yg kesisa cuma Rp 5 juta.  gajinya lu kemana aja bro? Belum lagi sampe sekarang dia kerjaannya pergi mulu, jajan mulu.

Soal budgeting ini berawal dari ketertarikkan saya dengan konsep financial planning. Semangat awal saya sebenarnya, saya hanya tidak ingin menjadi pecundang, yg sampai tua masih bergantung dgn orang tua, hanya karena ketololan pengelolaan uang. Saya mendalami financial planning. Saya bergaul dgn financial planner, mewawancarai mereka, menyerap ilmu mereka, rutin membaca kolom perencanaan keuangan di tabloid tempat gw kerja. Gw tergila-gila dgn konsep ini. "Ini adalah salah satu cara terbaik saya utk memulai masa depan dan bertahan hidup di Jakarta," ujar gw dalam hati.

Soal rokok, saya tidak pernah merokok. Ga takut dianggep ga keren? I don't give a shit sama kata orang. Karena hidup saya tidak bertanggung jawab dan tidak bergantung pada opinimu. Lalu skrg bbrpa teman baik gw uda bikin tato. Mereka tidak mengatakan saya culun klo saya ga tatoan. Tapi saya merenungi pilihan mereka utk membiarkan tubuh mereka dihiasi tinta permanen seumur hidup mereka. "Apa kata orang tua mereka? Bagaimana mereka bisa menghadapi orang tua mereka?" Pertanyaan mengalun di pikiran. "Apakah tato itu wajar? Apakah saya aja yg kaku? Apakah saya konservatif?"

Dalam 2 bulan terakhir, 4 orang teman saya resign dari kerjaannya. Ada yg ingin sekolah lagi, ada yg ingin 'hidup bebas' dan mengembara bersama impian idealisnya yg menggebu (which is a very good thing) dengan pacarnya bahkan (now that's an extreme thing), ada yg ingin jalan-jalan dan rehat. Tentu dengan berbagai macam alasan dan tujuan. Kata mereka mumpung masih muda. Saya tidak menyalahkan mereka, saya juga sebagai teman, setuju-setuju saja. Karena saya hapal, sekumpulan teman2 saya itu orang yg keras kepala, makin dikasih tahu, makin lanjut, saya sebagai teman hanya bisa support dan mendoakan keberhasilannya. Saya hanya mbatin, kalau saya, jika pindah dari suatu kapal, ya saya harus pindah ke kapal yang lebih besar. Apakah saya penakut? Apakah saya perhitungan? Apakah saya pny pikiran kayak orang tua, which means, am I a conservative thinker?

Apakah konservatif atau 'main aman' atau nggak neko-neko ini berasal rumah?

Bokap adalah idola gw. Banyak hal gw belajar dari keteladanannya hidup sehari-hari. Dia jujur, lurus, luhur, ga ngerokok, ga neko-nekolah pokoknya. Tapi klo uda urusan yg melanggar prinsip, dia akan marah besar. Dari situ gw muncul kesadaran sendiri. "Bokap gw luar biasa lurus orangnya, kalo sampe anaknya ga beres, itu artinya bikin malu orang tua. Ortu sudah ksh contoh yg baik kok."

Apa karena perbedaan umur ortu yg terlalu jauh? Ortu gw uda kepala enam. Saat mereka remaja/awal dewasa dgn awal dewasa gw, itu selesih 3-4 dekade. Jaman uda berubah bos, tpi konsep mereka msh konservatif. Itulah yg kutelan. "Apakah karena itu saya jdi seperti ini?"

Mungkinkah itu semua penyebabnya? Saya tidak tahu.

Disisi lain, saya sungguh berani, totalitas, semangat,  dalam lakukan sesuatu ketika saya yakin itu benar dan tepat. Benar dan tepat dalam arti fungsional dan fundamental. Gw ga akan segan sikat terus itu. Seperti saat gw SMA jadi koordinator laskar gonz, saat kuliah menjadi pemred Ultimagz, KBM dan HMJ. Saya bergerak dgn hati, ga pake pamrih. Karena gw yakin itu benar dan emang terpanggil utk kerjakan sesuatu. Kegigihan itu yang dalam konsep jurnalistiknya, disebut vitalitas yg artinya kegigihan san totalitas utk mendapatkan berita dan menyajikannya dalam bentuk dan cara terbaik.

Apakah saya ga pengen main?

Iya namanya orang pasti mau dan butuh refreshing. Gw jg msh spent some time ke bioskop, makan di luar, ke luar kota sama teman2, mimik-mimik hahaha. Saya bersenang-senang dengan cara yg menurut saya bikin saya senang. Tidur itu bikin saya senang. Membaca di kamar, smbil dengarkan musik, itu bikin saya senang, maen game komputer itu bikin saya senang.

Apakah artinya saya tidak berani bermimpi?

Tidak saya punya impian, tujuan, jangka pendek, menengah dan panjang. Saya ingin naik kapal lebih besar, mendapatkan pengalaman, sekolah lagi dan membagikannya ke orang-orang. Saya sudah bermimpi punya mobil sejuta umat itu, karena memang itu yg saya butuhkan, utk keluarga muda saya kelak. Saya sudah tahu daerah mana yg saya ingin tinggali. Saya sudah memimpikan karier saya 5-7 tahun ke depan.

Apakah itu salah? Apakah mimpiku itu terlalu dangkal? Apakah mimpi itu terlalu 'aman'? Apakah menyiapkan diri terlalu rigid untuk masa depan itu konservatif? Apakah itu jenis mimpi seorang konservatif?

Pertanyaan paling mendasar dan paling penting, kenapa saya mempertanyakan semua ini? Apakah sebetulnya ini bentuk pemberontakkan gw, bahwa gw sebenarnya bukan seorang konservatif? 

Saya jadi teringat kata-kata wartawan Kompas, Wisnu Nugroho (INU), saat saya sempat mengenyam magang disana, "tetaplah gelisah". Karena dengan gelisah, kita akan selalu berkembang, mencari pangkal kegelisahan, mengatasinya, dan gelisah kembali dan berkembang, dan seterusnya. Terus mempertanyakan ini dan itu, seperti seorang filsuf. Atau juga seperti tulisan Mas Inu di halaman depan KOMPAS, bahwa mungkin saja, saya ini sedang mencoba berdamai dengan diri saya sendiri.

Seperti kata John Lennon, "Don't Hate What You Don't Understand". Saya tidak benci teman-teman saya, saya apresiasi mereka bahkan. Saya pun mencoba mengerti keputusan2 mereka. Hanya saja, saya tidak bisa membayangkan saya melakukan hal-hal tersebut.

Ada pepatah Jawa bilang, "Urip iku urup". Hidup itu harus menyala, bersinar, memberi makna dan arti kepada orang-orang lain. Pepatah ini sejalan dengan kata-kata Bunda Teresa, bahwa hidup itu harus memberi makna untuk orang lain. Maka akhir kata, konservatif atau apapun anda, itu hanya masalah cara dan kepribadian, tapi tujuannya adalah "urup".