Monday, March 16, 2015

Kita Menyebutnya Ibukota

Pagi di Jakarta jarang merekah
Namun tetap kita berharap sebongkah berkah

Pagi di Jakarta itu selalu kemrungsung
Namun tetap kita berharap setiap saat dada kita selalu membusung

Di Jakarta, detik waktu pun bisa ambil peran antogonis
Nomor wahid soal tuna kompromis

Di Jakarta, langit cerah beserta barisan awan pun seolah kita hirau
Lebih acuh kita dengan keluh akan peluh

Saat langit mendung, kita tahu bencana sedang terkandung

Hujan bagi pujangga adalah puisi
Namun hujan di Jakarta adalah tragedi

Menumpang angkutan, mata menggeliat ke kiri dan kanan
Awasi penumpang tak diundang dengan niatan tak berkenan

Pengendara roda dua sudah lupa nikmatnya hembusan angin segar
Asap lebih akrab di pernapasan

Buat roda empat dan lebih, parkir mengular berjemaah di jalanan itu sudah biasa
Putaran mesin sampai lupa cara berlari

Beruntung bagi kelas pekerja, yang masih rekreasi
Bagi yang liyan, vakansi hanya imaji

Lahan kapitalis tumbuh subur
Ibukota bersabda, memang harus kapitalis agaknya agar hidup naik terkatalis

Selamat datang di Jakarta
Kita Menyebutnya Ibukota

No comments:

Post a Comment