Thursday, June 14, 2012

Pesona Legenda Lukisan Raden Saleh


Di beranda sebuah gedung pemerintahan kolonial, berkerumun puluhan orang, baik pribumi yang menyesali maupun kompeni yang mencaci. Gempar situasi karena telah ditangkap seorang geriliya pemberani, yang menolak untuk kompromi. Tangannya dikunci erat oleh seorang kompeni, namun ia masih enggan menyerah. Berpakaian kain dan celana berwarna putih, berhiaskan ikat sorban di kepalanya, Pangeran Diponegoro ditangkap dan dipaksa menyerah oleh pihak Belanda yang menangkapnya.

Rupanya itu hanyalah hasil goresan kuas pelukis modern awal pribumi pertama, Raden Saleh, dalam mahakaryanya yang berjudul Penangkapan Diponegero. Lukisan yang dibuat tahun 1857, itu membuat namanya melalang buana seantero Eropa dan Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia kala itu). Selain karena detail lukisan, atmosfer, serta cerita yang terlukis hanya dari melihat, yang membuat lukisan itu istimewa adalah karena dia tak berada di lokasi penangkapan saat itu. Dia tengah berada di Eropa untuk memperdalam ilmu goresan kuasnya, sementara setting lukisan itu terjadi suatu tempat di Jawa. Semua adalah buah imajinasi pikirannya.

Lukisan Raden Saleh yang paling terkenal, Penangkapan Diponegoro
 
Setelah menghabiskan waktu dengan berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, akhirnya, oleh  Goethe-Institut Indonesia bekerja sama dengan Galeri Nasional dan Kedutaan Besar Jerman, lukisan-lukisan Raden Saleh ini kembali pulang untuk menyapa publik di tanah air. Tidak hanya satu, tapi puluhan yang telah berusia hampir dua abad ini, dapat dinikmati di pameran bertajuk "Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia", ini dibuka untuk umum mulai dari tanggal 3-17 Juni 2012, di Galeri Nasional, Menteng, Jakarta Pusat.

Pameran terbagi menjadi beberapa bagian, di dasarkan atas teknik dan penekanan lukisan. Di ruang pameran awal pameran, dipamerkan karya-karya Raden Saleh dengan objek naturalis.  Seperti pada karyanya yang berjudul Pemandangan Musim Dingin Belanda dan Pemandangan Ideal Belanda dengan Rumah di Tepi Kolam, lukisan-lukisan tersebut adalah cerminan pemandangan alam. Di bagian berikutnya ada bagian pameran yang menekankan teknik figur, dimana ia menggambar orang-orang (layaknya potret) sebagaimana aslinya, seperti pada karyanya yang berjudul Saint Jerome, Gubernur Jenderal van den Bosch.

Pemandangan Musim Dingin Belanda


Gubernur Jenderal van den Bosch

Raden Saleh juga terkenal dengan lukisan singanya. "Ia sangat gemar dengan detail dan realisme, maka menggambar singa adalah suatu kegemaran dan tantangan buatnya," ujar Gege salah seorang pemandu pameran. Nampak ada beberapa karya Raden Saleh yang menggabungkan binatang, natur dan figur, seperti pada karyanya yang berjudul Berburu Singa, Pemburu Diserang Harimau.

Berburu Singa


Meski nampak sempurna meniru realita yang ia gambarkan, serta mampu memancarkan pendar pesona (aliran romantisme) dari lukisannya, rupanya Raden Saleh juga memiliki beberapa kelemahan dalam melukis. Nampak pada lukisan Portrait of Adolphe Jean Philippe Hubert Desire Bosch, proporsi tangan kanan Bosch lebih kecil dari tangan kirinya, sehingga Raden Saleh "mengakalinya" dengan membuat tangan kanannya masuk di saku jaket seragamnya.

Portrait of Adolphe Jean Philippe Hubert Desire Bosch


Namun nampaknya, hal seakan kabur di mata pengunjung. Nama besar dan ketenaran Raden Saleh mampu mengundang sekitar 3.000 pengunjung per harinya, baik seniman, pejabat publik, karyawan, sampai mahasiswa dan pelajar. "Rame banget sampai-sampai pameran yang biasanya cuma sampai jam enam sore jadi extend sampai jam sembilan malam khusus weekend," ujar Gege.

 "Gue dateng kesini karena lukisan Raden Saleh bagus-bagus. Detail banget, bagus banget," ujar Vivi salah seorang pengunjung. Vivi mengaku puas bisa melihat sendiri lukisan Raden Saleh, karena selama ini ia hanya bisa mendengar soal legenda lukisan Raden Saleh.

Sekilas Tentang Raden Saleh

Raden Saleh lahir di Semarang tahun 1870. Ia mulai menyukai gambar ketika masih duduk di bangku Sekolah Rakyat. Terlahir dari keluarga pejabat, ia memiliki akses yang dekat dengan seniman-seniman asal Eropa yang sedang "menggambar" Hindia Belanda. Ia pun berkenalan dengan  A. Payen seorang pelukis asal Belgia. Bisa dikatakan dia adalah guru lukis pertama Raden Saleh. Terkesan dengan bakat sang murid, ia kemudian mengusulkan Raden Saleh agar berkelana memperdalam ilmu di Eropa.

Selama berkelana di Eropa, kemampuan melukisnya berkembang pesat. Saat itu Eropa sedang menggelora dengan kebangkitan seni dan budayanya, atau yang lebih dikenal dengan masa Renaissance, membuat dia dengan mudah bertemu dan bergaul dengan senima-seniman kenamaan lainnya. Maka tak heran saat ia mengadakan pameran, dengan cepat namanya menggelora di dunia lukis. Apalagi usai lukisan Penangkapan Diponegoro itu tampil di sebuah pameran di Eropa. Dengan cepat namanya menjadi buah bibir dan decak kagum seantero Eropa dan Hindia Belanda.

Setelah namanya terkenal ia dipanggil untuk melukis di berbagai tempat di Eropa. Bahkan ratu Belanda pun pernah memintanya menjadi pelukis kerajaan. Lelah berkelana di Eropa ia putuskan untuk kembali ke Hindia Belanda sebelum akhirnya dia meninggal 23 April 1880 di Buitenzorg (sekarang Bogor) karena sakit.

Raden Saleh

Wednesday, June 13, 2012

Quo Vadis Reformasi?


“Revolusi! Revolusi! Revolusi sampai mati!”
“Revolusi! Revolusi! Revolusi harga mati!”

            Empat belas tahun sudah gugatan itu mengumandang di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Buah kristalisasi ekspresi yang lama terbungkam, membuncah menjadi sebuah tuntutan, seakan menjadi kredo bagi oleh kumpulan kesatuan mahasiswa, organisasi masyarakat, juga masyarakat sendiri yang berunjuk rasa saat itu.
            Adalah Soeharto sebagai nahkoda dari pemerintahan orde baru, yang dianggap oleh para demonstran sudah tidak layak lagi berada di kursi pemerintah. “Musuh kita jelas, satu, Soeharto,” ungkap Budiman Sudjatmiko salah seorang aktivis yang ikut gerakan ini. Budiman memosisikan diri sebagai oposisi Soeharto dengan mendirikan Partai Rakyat Demokratik yang membuat dia sempat bernaung di bui selama tiga setengah tahun.
            Sementara itu Senayan terus digoyang aksi masa. Serangkaian demonstrasi dan gugatan tak jemu mereka serukan. Hasilnya kesatuan aksi yang mayoritas adalah mahasiswa itu berhasil menurunkan pemerintah yang mereka anggap sudah tidak layak lagi berada di tampuk kepemimpinan.
            “Saya memutuskan berhenti dari jabatan saya sebagai presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini,” ujar Soeharto di Istana Merdeka, 21 Mei 1998. Ribuan masa bersorak gembira, akhirnya usaha mereka berhasil. Implikasinya jelas :  Orde baru jatuh, Soeharto lengser, Indonesia masuk periode baru.
             Para elit politik saat itu kemudian bergegas, menyiapkan sejumlah format pemerintahan yang baru, dimana mereka menjanjikan perubahan bagi negara. Kemudian “Gerakan 98” sukses membidani sebuah format negara baru yang disebut reformasi. Berasal dari sebuah kata yaitu ‘formasi’ yang artinya barisan dan ditambah imbuhan ‘re’ yang artinya kembali, maka reformasi secara etimologis berarti penyusunan kembali formasi. Maka secara sederhana, definisi reformasi adalah penyusunan kembali format dan perangkat-perangkat kenegaraan dalam usaha membuat kehidupan bernegara yang lebih baik. Reformasi memiliki sejumlah agenda perubahaan mulai dari pemerintahan yang bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, kebebasan berpendapat dan berekspresi, sampai reformasi birokrasi seperti melarang oknum militer dan kepolisian dari kursi pemerintahan. Masuklah Indonesia pada pemerintahan yang baru.
            Waktu berlalu, rezim berganti, mulai dari Habibie, Abdurachman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka semua memimpin di era pasca reformasi. Hasilnya? Habibie, teknokrat pewaris tahta Soeharto, belum sempat berbuat banyak karena gelombang politik memintanya untuk segera turun. Gus Dur naik menggantikannya. Kiai cum negarawan ini, sukses menegakan pluralisme di Indonesia. Di era ini pula Budiman diberikan remisi dan pemulihan semua hak politiknya. Namun belum genap ia tunaikan masa jabatannya, kembali gelombang politik sukses menjatuhkan presiden dari kursinya. Masyarakat kemudian merindukan sosok pemimpin yang komplit dengan visi misi untuk negara, seperti yang ditemui dari sosok Soekarno, presiden pertama yang juga pendiri Republik Indonesia. Maka naiklah sang putri, Megawati Soekarnoputri sebagai obat kerinduan masyarakat akan mendiang ayahnya. Mengantongi sejumlah harapan masyarakat, Mega diharapkan tangkas seperti ayahnya kala berkuasa. Namun rupanya, ekspektasi itu hanya fatamorgana semata. Mega jauh dari pencapaian ayahnya. Kemudian naiklah sang Menkopolhukam (Menteri Politik, Hukum dan Keamanan) dari era Mega, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden hingga saat ini. Era dimana demokrasi digaungkan menjadi landasan negara.

Empat Belas Kemudian

            Empat belas tahun sudah Reformasi berjalan. Rupanya keadaan tak banyak berubah. Mungkin yang paling nyata hanya kebebasan berekspresi dan berpendapat saja yang benar-benar dijaga tegak payung hukumnya. Selain itu sama saja. Pemerintahan tetap saja kotor. Ekonomi tumbuh namun tetap tak kuat menahan krisis keuangan dunia. Yang meresahkan tentu saja aksi anarkis sejumlah organisasi masyarakat (ormas) yang main hakim sendiri dan merasa paling benar di jalannya.
            Di saat yang sama, sejumlah tokoh gerakan 98 sudah duduk nyaman di kursi parlemen. Sebut saja Rama Pratama dan Budiman Sudjatmiko. Rama pernah mengenyam bangku DPR dengan menjadi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada periode 2004-2009. Sedangkan Budiman, sosok yang seringkali dijadikan personifikasi gerakan 98 ini sekarang menjabat sebagai Komisi Dua Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun rupanya kuasa mereka di parlemen menjadi fenomena anomali dengan gerakan mereka kala muda. Mereka yang dahulu mengkritik pemerintah, rupanya juga “tunduk” pada godaan kekuasaan. Rama Pratama bahkan tersangkut kasus korupsi. Sedangkan Budiman, dinilai oleh banyak pengamat politik tidak lagi segarang dulu ketika masih tutun di jalanan.
“Butuh waktu untuk menyelesaikan semua agenda reformasi,” ujar Budiman ketika ditanya soal mengapa empat belas tahun usai reformasi keadaan tak kunjung membaik.
“Kini semua pihak mengerubungi, tak jelas lagi mana lawan mana kawan. Zaman dulu, jelas musuh kita cuma satu, Soeharto,” ujarnya Budiman.

Budiman Sudjatmiko

Anomali Aktivis

            Fenomena yang dialami Budiman dan Rama Pratama kontradiksi dengan apa yang mereka kerjakan ketika masih menjadi aktivisi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa aktivis yang dulu mengkritisi pemerintah menjadi gelap mata ketika sudah berada di kisaran kekuasaan.
Namun sejarah mencatat satu nama yang selalu dikenang sebagai “kiblat” para aktivis mahasiswa di Indonesia. Bukunya selalu menjadi rujukan ketika mereka butuh energi ekstra untuk mengkritisi sejumlah pihak yang mereka anggap tak adil. Seorang yang seringkali dijadikan personifikasi aktivis mahasiswa angkatan 1966. Dia adalah Soe Hok Gie.
Gie, panggilan akrabnya, adalah seorang aktivis mahasiswa yang sangat vocal pada zamannya. Tak pernah gentar ia lontarkan kritik pada penguasa saat itu, Soekarno. Bersama teman-temannya, ia turun ke jalan untuk mengkritisi pemerintah yang mereka anggap kacau saat itu. “Soekarno tak ubahnya raja-raja Jawa. Ia feodal dan punya banyak istri. Para pengacau seperti itu pantas ditembak mati di lapangan banteng,” ujar Gie dalam catatan hariannya.
Seperti halnya Budiman tiga puluh dua tahun kemudian, Gie berhasil menjatuhkan rezim yang berkuasa saat itu. Teman-temannya pun mendaki karier di parlemen, Gie memilih setia pada jalurnya sebagai “watchdog” pemerintahan. Setali tiga uang dengan parlemen yang mereka jatuhkan, rupanya teman-teman Gie pun tak kalah korup dan buruknya.
Nampaknya memang ada kecenderungan seseorang  untuk menjadi gelap mata dengan kekuasaan, padahal dahulunya mereka adalah aktivis yang menyerukan kebusukan pemerintah. Namun Gie berbeda. Dia adalah anomaly dari sekian banyak aktivis mahasiswa yang ada. Sayang (atau mungkin beruntung) dia mati muda. Dia belum sempat berbuat lebih banyak lagi untuk Indonesia. Mungkinkah ada sosok Gie yang baru? Yang kritis menyuarakan perubahan? Yang tetap setia meski dikepung sedapnya dunia kekuasaan? Yang tetap setia mengawal perubahan (baca : reformasi) sehingga benar-benar paripurna agendanya? Kita tunggu saja.

Monday, June 11, 2012

Dahlan Iskan Berbagi Soal Wirausaha


Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menjadi pembicara utama dalam acara CHEERS (Create High Enthusiasm of Enterpreneurship) yang diselenggarakan YOURS (Young Entrepreneurs Association) di Function Hall, Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Senin (4/6). Acara itu dilaksanakan juga sebagai peresmian YOURS.
            Pada kesempatan itu, Dahlan tidak banyak berbicara soal teori bagaimana berbisnis, melainkan dia mengundang peserta seminar untuk maju ke panggung untuk bercerita soal bisnisnya. Ada tujuh orang yang beruntung untuk maju ke depan untuk berbagi cerita dan keluh kesah usaha mereka dengan Dahlan. Mereka bercerita soal usaha mereka, perkiraan profit bahkan cerita duka karena nyaris bangkrut ataupun ditipu orang.
            “Sakit hati adalah modal untuk maju,” ujar Dahlan yang kemudian mengundang sambutan dan tepuk tangan peserta seminar (yang kebanyakan mahasiswa dan praktisi bisnis) yang datang.
            “Anda hebat, karena masih muda, tapi sudah matang. Sudah kenyang pengalaman, mulai dari ditipu dan sebagainya.” Kemudian Dahlan menyarankan mulai dari sekarang mahasiswa mulai menjadi seorang wirausaha, maka 5-10 tahun ke depan bisnisnya sudah maju.
            Dahlan menjelaskan tiga alasan mengapa para wirausahawan muda ini akan meraih suksesnya 10 tahun lagi. Alasan yang pertama adalah soal usia. “Kalian masih muda, perjalanan masih panjang, masih kuat tiga hari begadang sekaligus, enerjik.” Kaya pengalaman adalah poin kedua keunggulan mereka. Lalu alasan ketiga adalah pada 10 tahun ke depan kondisi ekonomi Indonesia akan jauh membaik. “10 tahun ke depan ekonomi yang akan mendikte politik, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan tidak akan ada korelasi antara gejolak politik dengan kondisi ekonomi,” ujarnya menutup sesi seminarnya.
            Kemudian Dahlan mengikuti rangkaian acara dengan meresmikan YOURS, dengan menyematkan pin ke pengurus YOUR yang terdiri dari Ketua YOURS Neneng, Konseptor dan Dewan Penasihat YOURS Michael Loe, Ketua Acara CHEERS Pricilla Angelia dan Pembina YOURS Ika Januarti. Ketua Acara CHEERS Pricilla Angelia mengatakan ide YOURS ini tercetus sekitar sebulan yang lalu oleh para mahasiswa. Ilmu Komunikasi 2009 yang menempuh mata kuliah CSR dan Event Management. “Mengingat sangat pentingnya networking dan dibutuhkannya wadah untuk menampung para mahasiswa yang sudah memiliki dan menjalankan bisnis sejak dini," ujarnya ketika ditanya soal tujuan diadakannya CHEERS.

Dahlan Iskan menjadi pembicara utama dalam acara CHEERS (Create High Enthusiasme of Enterpreneurship) yang diadakan oleh YOURS (Young Enterpreneur Association) di Function Hall, Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong, Tangerang, Senin (4/6).
    
       Acara ini juga dihadiri oleh Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Raja Sapta Oktohari, President of ITB Interpreneurship Challenge 2011 Renard Widarto, Juara pertama Bizcamp Challenge 2011 Ryan Putera Pratama, Pakar E-Market Natali Ardianto. Tak ketinggalan mereka juga memberikan seminar bagi peserta yang hadir disana. (BKY)

Sunday, June 10, 2012

Expert’s Insight About Indonesian Media

JAKARTA,UMN – Two senior journalists and a media experts talks about media in Indonesia at a seminar in a topic titled, “The importance of Building Peace Journalisme through Informations and Educations contents” on Pekan Komunikasi at University of Indonesia, Tuesday (6/3). They are Senior Editor Kompas daily Budiarto Shambazy, ex-editor in chief Liputan 6 SCTV Rosiana Silalahi and Founder of Goodnews From Indonesia (GNFI) Akhyari Hananto. Moderated by Inaya Rakhmani, lecture in University of Indonesia. Each of them give their personal insight about media in Indonesia.
                The first speaker, Budiarto Shambazy, said that in a nowadays people prefer to believe media than public officers. People have no longer believe in the three combination politic, or as known as, trias politica. “They are thieves! Trias Poli-thieves-ca! Excu-thieves! Legisla-thieves! Judica-thieves! So, no wonder that people show more respect and give media more trust than those three right there,” said journalist who had been working for Kompas since 1982. But he also warn that they are none of media in this world that are hundred percent neutral. “Because every media had policy, ideology and the owner interest. It’s called agenda setting theory,” said man who also a host in Big Baz show at Kompas TV.
           Meanwhile, the second speaker, Rosiana Silalahi explain that most of television program in Indonesia is fulfilled by low quality content of broadcast. “News television station provide a lot of violence, criminal and the other that far from educated points. We are surrounded by such junks as that.”
         Having two insight from media, the third speaker Akhyari Hananto, share different perspective. “Bad news in Indonesian media, nowadays is really and literally cost so much bad advertising fo Indonesia,” said him explaining about background stories making GNFI. The man that clearly agree that his movement is obviously against journalistic principle, said that one of the solution is increasing people’s media literacy.



Two senior journalist and a media expert giving seminar in Pekan Komunikasi at University of Indonesia, Tuesday (6/3). (From left to right) Budiarto Shambazy, Rosiana Silalahi, Inaya Rahmani, dan Akhyari Hananto.

Already posted 16th March 2012 in IMO (In My Opinion), The Jakarta Post online writting forum

Rahmad Darmawan, a True Gentleman


        Indonesia U-23 football manager Rahmad Darmawan calling for sign out from his post. His decision shocking most of football fans, because he did a great job creating Indonesia U-23 football team become a solid team although he failed to present the gold medal.
       “The point is, he felt fail to get gold medal in SEA GAMES,” said Eddy Syahputra, Darmawan’s represent for Indonesian Football Federation (PSSI), at the PSSI headquarter. Eventhough he couldn’t manage his team to win the tournament, public love the way he trains.
        Not only made some various and attractive games yet become tough team to defeat, he also can unite Indonesian squad from the whole places of this country. As we know, Indonesia consists of dozen tribes and nations stretch thousand miles from the West most in Sabang to the East most in Merauke. But Darmawan could compose those talents that spread all of the country to create a solid team. Unfortunately, his team was defeated in penalty shootout against their fierce rival Malaysia in the final stage.
         There is no strong reason to make him out of his post, but he can’t accept failure. He  failed to achieve his goals. Failure is a failure, no matter what people say. So he resigned from his post. Seeing that, it’s so rare in this country, where the public officers always reluctant to quit, althought they are so busted commited in crime and corruption. Really it’s a gentleman act, he choose to resign because of his failure.
But lately, he confirms that he has another reason about his resignation is because PSSI discriminates players from LSI (Liga Super Indonesia) cannot play for national teams because they are playing contrary to LPI (Liga Prima Indonesia). LSI is contra league to LPI created by people who doesn’t content with previous PSSI members. And the next thing, as usual in “political” world, PSSI strikes back with a policy that player who play in LSI cannot play for national team.

Rahmad Darmawan (source from googles)

            “Players from LSI cannot plays for national team. That’s what makes me resign,” said Darmawan in press conference, Thursday (15/12).
             He explained that to build a solid national team we should unite all talents that spread across country not discriminating the player outside legal league. Players must not be a victim from political affairs inside PSSI.
             Doesn’t agree with PSSI policy, he choose to quit from his post. And again I said, he is a true gentleman. He choose not to be a hypocrate, that always show acceptance, but deepdown in heart not agree. A clear attitude that he doesn’t like the policy.
            And one more thing, not only a gentleman, but he also good in reading “language” underneath words. What I’m trying to say is, I think his resignation is a smart decision because he had high bargain position in national team and public opinion. His image is so good in front of public. He had nothing to loose if he quits. Meanwhile, it’s a really lost losing someone as good as Darmawan in national team coach.

Goddamnit ! Really it is a smart gentleman.

16 December 2011
Already posted in IMO (In My Opinion), The Jakarta Post online writting forum

Ditemukan Bom 150kg Dekat Gereja di Gading Serpong


Teror bom kembali melanda. Ditemukan bom dengan ukuran 150 kg di gorong-gorong pipa gas sekitar 150 meter dari gereja Kristen Christ Cathedral, desa Cihuni, kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, pukul 17.30, Kamis (21/4).

Bermula dari ditemukannya paket mencurigakan di jalur pipa gas pukul 06.00. Menanggapi hal tersebut, sekitar pukul 10.00, petugas keamanan gabungan satuan kepolisian Gading Serpong, Summarecon Serpong dan Paramount Serpong menutup seluruh akses menuju  lokasi ditemukannya paket bom. Kemudian datang personal tim gegana yang berpakaian Jihandak untuk menyisir lokasi. Untuk mengantisipasi situasi terburuk, juga didatangkan 3 unit mobil pemadam kebakaran.

Pukul 17.30 tim gegana dan kepolisian berhasil mengangkat dan mengamankan paket bom sebesar 150kilogram. Bom akan meledak dengan pemicu telepon dari ponsel. Karena diletakkan di jalur pipa gas, bom tersebut kemungkinan mampu membuat efek domino ledakan di jalur pipa gas mengelilingi sejauh 150kilometer di area Jabodetabek.

Menurut seorang pengurus gereja yang menolak disebutkan namanya, dengan ditemukannya bom itu, misa lansia yang sedianya dilaksanakan pukul 10.00 tadi dibatalkan. Mengenai misa Jumat Agung yang sedianya akan dilaksanakan besok dan Minggu Paskah 3 hari mendatang, pihak gereja belum memberi keterangan. (BNE)

Awak media, satuan kepolisian dan pemadam kebakaran bersiaga di depan lokasi ditemukannya bom di gereja Christ Cathedral, Gading Serpong, Tangerang, Kamis (21/4/2011).
Satuan pengaman berjaga di depan lokasi ditemukannya bom di gereja Christ Cathedral, Gading Serpong, Tangerang, Kamis (21/4/2011).
Polisi berjaga di depan police yang berjarak beberapa puluh meter dari lokasi ditemukannya bom di gereja Christ Cathedral, Gading Serpong, Tangerang, Kamis (21/4/2011).



Tulisan lama saya (21 April 2011) tapi baru post di blog ini. Pernah pula masuk di Kompasiana pada tanggal yang sama 

Saturday, June 9, 2012

Menelaah Sembilan Elemen Jurnalisme


Sembilan elemen jurnalisme adalah dasar-dasar pokok yang dijadikan acuan untuk menjadi jurnalis yang ideal dan berkualitas. Ide itu dikemukakan oleh jurnalis yang dijadikan “kiblat” oleh para jurnalis dunia, Bill Kovach. Jurnalis yang juga merupakan kurator Nieman Fellowship (sebuah beasiswa ekstensi bergengsi khusus para jurnalis berprestasi) itulah yang menulis buku The Elements of Journalism : What Newspeople Should Know and the Public Should Expect bersama rekannya Tom Rosenstiel. Melalui buku inilah, jurnalis yang pernah menyabet lima pulitzer (penghargaan karya jurnalistik di Amerika) dan bekerja 18 tahun di The New York Times, menyebarkan “mahzabnya” kepada dunia tentang nilai-nilai yang perlu dianut untuk menjadi jurnalis yang ideal dan berkualitas. Sembilan elemen itu dirumuskan usai Committee of Concern Journalist menngadakan banyak diskusi dengan melibatkan 1200 wartawan dari seluruh penjuru dunia. Masing-masing poin dalam sembilan elemen ini memiliki kedudukannya yang sama. 

Buku Sembilan Elemen Jurnalisme oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel
             Duo jurnalis handal ini menempatkan kebenaran sebagai elemen yang pertama. Keinginan agar informasi merupakan kebenaran adalah elementer. Namun tidak sesederhana yang terlihat. Elemen ini agak membingungkan untuk dimengerti, karena kebenaran bisa dipandang dari sudut pandang yang beragam. Masing-masing agama, ideologi, filsafat, keyakinan memiliki pandangannya sendiri-sendiri mengenai kebenaran. Kebenaran yang mana? Bagaimana dengan bias wartawan? Setiap wartawan memiliki latar belakang agama, suku, ras, ideologi politik, budaya, yang berbeda-beda bukan? Kebenaran yang ditawarkan oleh mereka adalah kebenaran fungsional, misalnya guru mendidik muridnya untuk beretika, koki restoran memasak untuk tamunya, dan seterusnya. Kebenaran yang memang berfungsi sebagaimana seharusnya. Dalam konteks jurnalistik, kebenaran disini adalah kebenaran yang terbentuk hari demi hari, bulan demi bulan dan seterusnya.   Kebenaran yang memang berfungsi sebagai mana mestinya.
Poin kedua adalah jurnalis mengabdikan loyalitas mereka kepada masyarakat. Segala perihal kegiatan jurnalistik dan pemberitaan mereka harus mengacu dan dalam rangka dan usaha memberikan informasi untuk kepentingan publik. Nampaknya merupakan wacana yang terlalu muluk, mengingat kegiatan jurnalistik pun juga memerlukan sokongan dana dalam operasionalnya sehari-hari. Maka kecenderungan yang ada adalah jurnalis mengabdikan dirinya pada pemilik media dimana ia bekerja, dengan motivasi ekonomi mendalangi semuanya. Jika bukan untuk kepentingan pemiliknya, media yang melakukan pemberitaan yang tidak komersial (idealis) akan mudah dihinggapi kebangkrutan. Namun hipotesis itu terpecahkan jika kita menilik harian The New York Times. Kredo mereka yang berbunyi “…to give the news impartially, without fear or favor, regardlessly of party, sect or interest involved” ternyata sejalan dengan karya jurnalistik mereka yang telah membawa mereka sebagai harian berkualitas kaliber dunia. Menariknya prestasi itu berbanding lurus dengan oplah yang besar yang diperoleh dari kredibilitas mereka.. Masyarakat membeli New York Times karena percaya apa yang mereka tulis disana.
             Menarik kembali apa yang telah ditulis di poin pertama mengenai kebenaran, keakuratan data dalam penulisan berita merupakan unsur yang harus dijunjung tinggi oleh para jurnalis. Maka dari elemen ketiga menyebutkan agar para jurnalis disiplin dalam verifikasi. Meningkatkan disiplin verifikasi adalah langkah terpenting yang bisa di ambil wartawan untuk meningkatkan kualitas berita. Ketepatan data, keakuratan informasi, semuanya mengerucut pada usaha wartawan untuk senantiasa mengabarkan kebenaran untuk kepentingan publik. Kovach dan Rosenstiels menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
1.      Jangan menambah atau mengarang sesuatu yang tidak ada
2.      Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, pendengar
3.      Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin
4.      Andalkan pada reportase anda sendiri
5.      Bersikaplah rendah hati 
Untuk mendapatkan berita yang benar, pro kepentingan publik, dan objektif serta akurat dalam memverifikasi berita, seorang jurnalis harus independen dari segala kepentingan. Definisi independen disini adalah bebas dari segala kepentingan dari pihak manapun. Latar belakang jurnalis seperti agama, suka yang mau tidak mau pasti “mengikat”, hendaknya tidak dijadikan kekangan, namun gunakan pemahaman yang mendalam dari latar belakang itu untuk memperkaya warna tulisan.
Sebagaimana salah satu fungsi pers sebagai sarana memantau kekuasaan sambil menjadi penghibur masyarakat dengan menyambung lidah mereka, elemen kelima pun demikian. Mungkin sesuai dengan sebuah ungkapan di harian Kompas, “Mengingatkan yang mapan, sambil menghibur yang lara”. Jurnalis yang baik akan berperan sebagai watch dog yang siap “menggonggong” kapan saja ketika para pemangku kuasa mulai berjalan di luar semestinya. Di waktu yang sama, jurnalis harus menjadi pemberi semangat dan penyambung lidah rakyat.
            Namanya juga media yang artinya wadah, maka salah satu elemen dari jurnalistik adalah menjadi wadah forum public untuk berpendapat dan berekspresi, baik untuk kritik maupun dukungan untuk masyarakat. Rata-rata hal ini sudah diterapkan di media-media Indonesia seperti rubric surat pembaca dan kolom artikel di harian Kompas, suara mahasiswa di harian Seputar Indonesia. Di stasiun Metro TV  ada program acara anda. Semua ini merupakan salah bentuk peran jurnalis sebagai wadah forum public. Di tempat-tempat seperti inilah masyarakat beropini, berkeluhkesah, menuangkan pikirannya.

Bill Kovach

            Sebagus apapun isi beritanya apabila tidak dibuat dengan menarik, maka tidak akan dihiraukan masyarakat. Maka dari itu jurnalis harus menulis berita dengan menarik dan relevan. Semboyan majalah Tempo yang berbunyi, “Enak Dibaca dan Perlu” merupakan cerminan nyata dari elemen ini. Berita yang ditulis dengan gaya jurnalistik sastrawi (gaya narasi) membuat pembaca seakan-akan sedang membaca karya sastra namun berisi fakta-fakta dan berupa berita. Selain untuk menarik dan membuat nyaman audiens dalam membaca, teknik ini juga digunakan untuk memperkuat reportase berita itu sendiri. Untuk memperkuat dan menanamkan gambaran yang matang pada audiens.
            Elemen berikutnya adalah jurnalis harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional. Komprehensif artinya pemberitaannya harus meliputi semua aspek dan menyeluruh, sedangkan proporsional adalah berimbang dan sesuai bobotnya.  Proporsional dan komprehensif dalam jurnalistik memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang akan diangkat, mana yang di angkat mmenjadi berita utama, tentu penilaiannya berbeda antara wartawan dengan audiensnya.
            Last but not least, elemen terakhir adalah jurnalis harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka. Dalam menjalankan tugasnya, jurnalis akan banyak dihadapkan dengan berbagai tantangan. Saat itulah hati nuraninya akan berbicara, dan suara itu memang harus diperbolehkan diikutsertakan. Hati nurani itu akan mendorongnya melakukan hal-hal kemanusiaan, sehingga menjauhkan mereka dari usaha melakukan pemberitaan yang tidak terpuji. 

9 Elemen Jurnalisme :
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat
3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi
4. Praktisi Jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita
5. Jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan
6. Jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat
7. Jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan
8. Jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional
9. Praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka

6 Oktober 2011

Budiman : Idealnya, Menggabungkan Substansi dengan Atribut


 (versi Hardnews)

            Anggota Komisi Dua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Budiman Sudjatmiko, menjadi dosen tamu pada kuliah umum matakuliah Komunikasi Politik di Student Lounge, Universitas Multimedia Nusantara, Sabtu (26/5). Pada kuliah umum yang dimoderatori oleh Dosen Komunikasi Politik Universitas Multimedia Nusantara Nosami Rikadi, Budiman menekankan strategi komunikasi politik yang ideal adalah menggabungkan informasi substantif dan atribut.
            “Umumnya politisi menekankan pada atribut dan kosong saat membicarakan substansi. Idealnya mengemas strategi komunikasi politik dengan menggabungkan atribut dengan substansi itu.” ujar Budiman di depan sekitar dua ratusan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara.
            Budiman menerangkan bahwa ada dua jenis informasi dalam komunikasi politik yaitu informasi substantif dan informasi atribut. Menurut pria kelahiran Cilacap, 10 Maret 1970 ini, informasi substantif adalah informasi yang terkait langsung inti permasalahan. Sedangkan informasi atribut adalah hal-hal seputar yang melekat pada politisi pada saat rapat, presentasi atau tampil di depan publik.
            “Informasi substantive itu contohnya rancangan undang-undang. Sedangkan atribut lebih mudah dilihat, seperti rupa dan apa saja yang dikenakan si politisi, latar belakangnya apa dan sebagainya.”          
“Kebebasan demokrasi Indonesia berdiri di atas asumsi bahwa negara bisa memilih pejabat publik secara tepat. Diasumsikan masyarakat itu well-inform. Masyarakat bisa dengan mudah mengakses semua informasi yang dibutuhkan untuk mampu memilih politisi yang tepat,” ujar pria yang pernah tiga setengah tahun mendekam di bui saat penghujung era orde baru. “Tapi faktanya tidak setiap orang bisa nerima, karena kadar kognitifnya dalam menerima informasi itu berbeda-beda. Masyarakat umumnya lebih mudah mengenali informasi atribut, yang ada di permukaan saja.”
Karena menurutnya, ada tiga tahap yang harus dilalui untuk menjadi politisi handal yaitu; tahap substansi, pencitraan dan kekuasaan. “Politisi yang baik harus menguasai materi, itu tahap pertama. Lalu  dia harus lakukan lobi politik untuk langkah konsolidasi politik yang kuat. Setelah kuat, maka ia punya kekuatan untuk melakukan sesuai pemahaman materi substansinya.” (BKY)

Budiman Sudjatmiko memberikan kuliah umum tentang komunikasi politik di Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong, Tangerang, Sabtu (26/5). (Benediktus Krisna Yogatama)


Budiman : Idealnya, Menggabungkan Substansi dengan Atribut


(versi feature)            
Sabtu, 26 Mei 2012, saat matahari belum genap beredar di puncak orbitnya, Universitas Multimedia Nusantara (UMN) kedatangan tamu istimewa untuk menambah daya intelektualitas mahasiswanya, khususnya kelas komunikasi politik. Bisa dibilang istimewa karena dia seringkali disebut sebagai simbol personifikasi dari gerakan pemuda angkatan 98, sebuah gerakan yang mengantar reformasi, yaitu penyusunan kembali format-format sistem dan perangkat negara, gerakan yang menjatuhkan rezim berkuasa saat itu, Orde Baru. Pernah pula ia enyam vonis 13 tahun penjara karena dengan lantang menentang sang penguasa. Ia adalah Budiman Sudjatmiko.
            Setelah sempat terjadi kegaduhan akibat telatnya beliau sampai di lokasi karena berbagai alasan non-teknis, juga membuat sebagian mahasiswa hilang simpati akibat tidak menyebut ‘nusantara’ melainkan ‘nasional’ saat menyebut UMN, Budiman membuka kuliah umumnya dengan penjelasan mengenai kondisi konstelasi politik Indonesia saat ini.
            “Kita memasuki era demokrasi liberal. Era multipartai,” ujarnya di hadapan ratusan mahasiswa dari Fakultas Ilmu Komunikasi UMN. Kemudian ia menjelaskan bahwa di era ini kebebasan berpendapat, ekspresi dan informasi dilindungi oleh payung hukum, sehingga demokrasi dan liberalisasi mendapatkan koridornya. “Jauh lebih baik dibandingkan otoriterian. Demokrasi dengan segala keburukannya masih jauh lebih baik,” ujar Budiman usai bercerita soal beberapa temannya yang dibunuh ataupun hilang usai mengkritisi pemerintah saat itu (orde baru).
            “Kebebasan demokrasi Indonesia berdiri di atas asumsi bahwa negara bisa memilih pejabat publik secara tepat. Diasumsikan masyarakat itu well-inform. Masyarakat bisa dengan mudah mengakses semua informasi yang dibutuhkan untuk mampu memilih politisi yang tepat,” ujar pria yang pernah tiga setengah tahun mendekam di bui saat penghujung era orde baru.
“Tapi faktanya tidak setiap orang bisa nerima, karena kadar kognitifnya dalam menerima informasi itu berbeda-beda. Masyarakat umumnya lebih mudah mengenali informasi atribut, yang ada di permukaan saja, ketimbang informasi substansi yang jadi pokok pembahasan.”
            Budiman menerangkan bahwa ada dua jenis informasi dalam komunikasi politik yaitu informasi substantif dan informasi atribut. Menurut pria kelahiran Cilacap, 10 Maret 1970 ini, informasi substantif adalah informasi yang terkait langsung inti permasalahan. Contohnya rancangan undang-undang, rumusan kebijakan dan lain sebagainya. Sedangkan informasi atribut adalah hal-hal seputar yang melekat pada politisi pada saat rapat, presentasi atau tampil di depan publik. Warna dan cara pakaian, potongan rambut, cara berorasi, dan hal seputar yang melekat padanya adalah contoh informasi atribut.
            “Umumnya politisi menekankan pada atribut dan kosong saat membicarakan substansi. Idealnya mengemas strategi komunikasi politik dengan menggabungkan atribut dengan substansi itu.” ujar Budiman yang memberi kuliah umum di Student Lounge, gedung kampus Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong, Tangerang.
            Kemudian ia mengambil contoh pada kampanye Obama untuk mencalonkan diri menjadi presiden pada tahun 2008. Obama memperkuat tim sukses kampanyenya dengan merekrut seorang neuro-scientist, seorang ahli kerja otak. Menurut ahli kerja otak itu, manusia punya respon beragam dalam menanggapi informasi. Ada berbagai cara mereka mengolah informasi yang mereka terima, mulai dari yang bersikap reflektif dan refleksive, ada pula yang evaluative, pun kognitif. Celakanya adalah mayoritas manusia merespon itu adalah dengan sikap refleksive, secara spontan memutuskan suka atau tidak suka hanya dalam beberapa menit impresi pertama yang didapat dari informasi atribut. Mengapa? Respon refleksive didorong atas rasa emosional yang terpicu dari menanggapi stimuli dari politisi yang berkampanye, yang seringkali mengaburkan pertimbangan rasional kognitif sekalipun. Karena untuk menelan informasi substantive, seseorang butuh waktu, sedangkan atribut, hanya dalam beberapa menit saja, informasi itu telah lunas ditelan seseorang dan dicerna menjadi sikap: suka atau tidak suka.
Relevansinya apa dengan komunikasi politik di era demokrasi liberal? Karena sistem ini merestui suara terbanyak sebagai pemenang yang sah, maka itu perlu dilakukan strategi komunikasi politik yang tepat agar mampu meraih simpatik public agar mampu mendulang banyak suara saat pemilihan umum. Sekali lagi Budiman menekankan pada penggabungan informasi substansi dengan informasi atribut.
Budiman juga menambahkan ia tetap yakin bahwa ‘kualitas’ yang ‘dibungkus’ secara tepat adalah senjata ampuh mendulang suara saat pemilihan umum.
Karena menurutnya, ada tiga tahap yang harus dilalui untuk menjadi politisi handal yaitu; tahap substansi, pencitraan dan kekuasaan. “Politisi yang baik harus menguasai materi, itu tahap pertama. Lalu  dia harus lakukan lobi politik untuk langkah konsolidasi politik yang kuat. Setelah kuat, maka ia punya kekuatan untuk melakukan sesuai pemahaman materi substansinya.”