Wednesday, June 13, 2012

Quo Vadis Reformasi?


“Revolusi! Revolusi! Revolusi sampai mati!”
“Revolusi! Revolusi! Revolusi harga mati!”

            Empat belas tahun sudah gugatan itu mengumandang di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Buah kristalisasi ekspresi yang lama terbungkam, membuncah menjadi sebuah tuntutan, seakan menjadi kredo bagi oleh kumpulan kesatuan mahasiswa, organisasi masyarakat, juga masyarakat sendiri yang berunjuk rasa saat itu.
            Adalah Soeharto sebagai nahkoda dari pemerintahan orde baru, yang dianggap oleh para demonstran sudah tidak layak lagi berada di kursi pemerintah. “Musuh kita jelas, satu, Soeharto,” ungkap Budiman Sudjatmiko salah seorang aktivis yang ikut gerakan ini. Budiman memosisikan diri sebagai oposisi Soeharto dengan mendirikan Partai Rakyat Demokratik yang membuat dia sempat bernaung di bui selama tiga setengah tahun.
            Sementara itu Senayan terus digoyang aksi masa. Serangkaian demonstrasi dan gugatan tak jemu mereka serukan. Hasilnya kesatuan aksi yang mayoritas adalah mahasiswa itu berhasil menurunkan pemerintah yang mereka anggap sudah tidak layak lagi berada di tampuk kepemimpinan.
            “Saya memutuskan berhenti dari jabatan saya sebagai presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini,” ujar Soeharto di Istana Merdeka, 21 Mei 1998. Ribuan masa bersorak gembira, akhirnya usaha mereka berhasil. Implikasinya jelas :  Orde baru jatuh, Soeharto lengser, Indonesia masuk periode baru.
             Para elit politik saat itu kemudian bergegas, menyiapkan sejumlah format pemerintahan yang baru, dimana mereka menjanjikan perubahan bagi negara. Kemudian “Gerakan 98” sukses membidani sebuah format negara baru yang disebut reformasi. Berasal dari sebuah kata yaitu ‘formasi’ yang artinya barisan dan ditambah imbuhan ‘re’ yang artinya kembali, maka reformasi secara etimologis berarti penyusunan kembali formasi. Maka secara sederhana, definisi reformasi adalah penyusunan kembali format dan perangkat-perangkat kenegaraan dalam usaha membuat kehidupan bernegara yang lebih baik. Reformasi memiliki sejumlah agenda perubahaan mulai dari pemerintahan yang bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, kebebasan berpendapat dan berekspresi, sampai reformasi birokrasi seperti melarang oknum militer dan kepolisian dari kursi pemerintahan. Masuklah Indonesia pada pemerintahan yang baru.
            Waktu berlalu, rezim berganti, mulai dari Habibie, Abdurachman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka semua memimpin di era pasca reformasi. Hasilnya? Habibie, teknokrat pewaris tahta Soeharto, belum sempat berbuat banyak karena gelombang politik memintanya untuk segera turun. Gus Dur naik menggantikannya. Kiai cum negarawan ini, sukses menegakan pluralisme di Indonesia. Di era ini pula Budiman diberikan remisi dan pemulihan semua hak politiknya. Namun belum genap ia tunaikan masa jabatannya, kembali gelombang politik sukses menjatuhkan presiden dari kursinya. Masyarakat kemudian merindukan sosok pemimpin yang komplit dengan visi misi untuk negara, seperti yang ditemui dari sosok Soekarno, presiden pertama yang juga pendiri Republik Indonesia. Maka naiklah sang putri, Megawati Soekarnoputri sebagai obat kerinduan masyarakat akan mendiang ayahnya. Mengantongi sejumlah harapan masyarakat, Mega diharapkan tangkas seperti ayahnya kala berkuasa. Namun rupanya, ekspektasi itu hanya fatamorgana semata. Mega jauh dari pencapaian ayahnya. Kemudian naiklah sang Menkopolhukam (Menteri Politik, Hukum dan Keamanan) dari era Mega, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden hingga saat ini. Era dimana demokrasi digaungkan menjadi landasan negara.

Empat Belas Kemudian

            Empat belas tahun sudah Reformasi berjalan. Rupanya keadaan tak banyak berubah. Mungkin yang paling nyata hanya kebebasan berekspresi dan berpendapat saja yang benar-benar dijaga tegak payung hukumnya. Selain itu sama saja. Pemerintahan tetap saja kotor. Ekonomi tumbuh namun tetap tak kuat menahan krisis keuangan dunia. Yang meresahkan tentu saja aksi anarkis sejumlah organisasi masyarakat (ormas) yang main hakim sendiri dan merasa paling benar di jalannya.
            Di saat yang sama, sejumlah tokoh gerakan 98 sudah duduk nyaman di kursi parlemen. Sebut saja Rama Pratama dan Budiman Sudjatmiko. Rama pernah mengenyam bangku DPR dengan menjadi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada periode 2004-2009. Sedangkan Budiman, sosok yang seringkali dijadikan personifikasi gerakan 98 ini sekarang menjabat sebagai Komisi Dua Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun rupanya kuasa mereka di parlemen menjadi fenomena anomali dengan gerakan mereka kala muda. Mereka yang dahulu mengkritik pemerintah, rupanya juga “tunduk” pada godaan kekuasaan. Rama Pratama bahkan tersangkut kasus korupsi. Sedangkan Budiman, dinilai oleh banyak pengamat politik tidak lagi segarang dulu ketika masih tutun di jalanan.
“Butuh waktu untuk menyelesaikan semua agenda reformasi,” ujar Budiman ketika ditanya soal mengapa empat belas tahun usai reformasi keadaan tak kunjung membaik.
“Kini semua pihak mengerubungi, tak jelas lagi mana lawan mana kawan. Zaman dulu, jelas musuh kita cuma satu, Soeharto,” ujarnya Budiman.

Budiman Sudjatmiko

Anomali Aktivis

            Fenomena yang dialami Budiman dan Rama Pratama kontradiksi dengan apa yang mereka kerjakan ketika masih menjadi aktivisi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa aktivis yang dulu mengkritisi pemerintah menjadi gelap mata ketika sudah berada di kisaran kekuasaan.
Namun sejarah mencatat satu nama yang selalu dikenang sebagai “kiblat” para aktivis mahasiswa di Indonesia. Bukunya selalu menjadi rujukan ketika mereka butuh energi ekstra untuk mengkritisi sejumlah pihak yang mereka anggap tak adil. Seorang yang seringkali dijadikan personifikasi aktivis mahasiswa angkatan 1966. Dia adalah Soe Hok Gie.
Gie, panggilan akrabnya, adalah seorang aktivis mahasiswa yang sangat vocal pada zamannya. Tak pernah gentar ia lontarkan kritik pada penguasa saat itu, Soekarno. Bersama teman-temannya, ia turun ke jalan untuk mengkritisi pemerintah yang mereka anggap kacau saat itu. “Soekarno tak ubahnya raja-raja Jawa. Ia feodal dan punya banyak istri. Para pengacau seperti itu pantas ditembak mati di lapangan banteng,” ujar Gie dalam catatan hariannya.
Seperti halnya Budiman tiga puluh dua tahun kemudian, Gie berhasil menjatuhkan rezim yang berkuasa saat itu. Teman-temannya pun mendaki karier di parlemen, Gie memilih setia pada jalurnya sebagai “watchdog” pemerintahan. Setali tiga uang dengan parlemen yang mereka jatuhkan, rupanya teman-teman Gie pun tak kalah korup dan buruknya.
Nampaknya memang ada kecenderungan seseorang  untuk menjadi gelap mata dengan kekuasaan, padahal dahulunya mereka adalah aktivis yang menyerukan kebusukan pemerintah. Namun Gie berbeda. Dia adalah anomaly dari sekian banyak aktivis mahasiswa yang ada. Sayang (atau mungkin beruntung) dia mati muda. Dia belum sempat berbuat lebih banyak lagi untuk Indonesia. Mungkinkah ada sosok Gie yang baru? Yang kritis menyuarakan perubahan? Yang tetap setia meski dikepung sedapnya dunia kekuasaan? Yang tetap setia mengawal perubahan (baca : reformasi) sehingga benar-benar paripurna agendanya? Kita tunggu saja.

No comments:

Post a Comment