Friday, November 30, 2012

Mengejar Jokowi (Bab III: Makanya Fokus!)


Berpikir Out Of The Box

Paginya setelah selesai nyuci baju segala macem, gue langsung siap2 dan berangkat. Gw pun khusus membawa helm agar bisa bepergian jarak jauh dengan Alvin naik motor, biar ga ditilang. Hari ini gue mau coba rute baru yaitu naik TransJakarta Harmoni baru habis itu jalan ke Balaikota. Hanya sekedar membandingkan, mana yang lebih cepat juga hemat karena jalur ini menghemat Rp2000 perjalanan gue.
Namun, rupanya memang ada harga yang harus dibayar untuk kecepatan. Jalur menuju Harmoni macet panjang. Mulai dari Lebak Bulus sampai Kebon Jeruk. Setelah itu bus bisa lumayan melaju. Yang menarik adalah saat sampai di halte Grogol, tiba-tiba ada seorang mbak-mbak yang mengaku HP-nya hilang. Entah saat sudah di bus atau saat masih di terminal. Alhasil saat sampai di Harmoni, petugas memeriksa penumpang satu per satu. Entah bagaimana akhirnya, karena usai selesai diperiksa saya tinggal saja. Malas berurusan dengan hal seperti itu. Jam 9 akhirnya gue sampai juga di halte Harmoni, lalu melanjutkan perjalanan sampai ke Balaikota.

Sesampainya di balkot, gue melihat sudah ada beberapa rombongan orang bermotor dan sebuah bus membawa bendera. Agaknya nanti siang akan ada demonstrasi di depan balaikota.

Gue menghubungi Alvin dan bertemu. Rupanya waktu kedatangan kami ga jauh beda, entah siapa duluan yang dateng, yang jelas hampir bareng. Abis itu gue diperkenalkan dengan beberapa koleganya dulu saat magang dulu di detik.com. Suasana di beranda depan balkot ramai. Kali ini bukan hanya diisi wartawan tapi juga dengan kehadiran banci-banci. Ya banci atau lebih enak kalau gue sebut waria. Ngapain waria itu ke balaikota?

Jadi begini, belum lama ini Jokowi baru saja menunaikan kebijakannya yang pertama yaitu KJS (Kartu Jakarta Sehat), jadi warga Jakarta cukup memberikan KTP Jakarta saja, akan mendapatkan KJS. Nah KJS ini bisa digunakan untuk berobat gratis di puskesmas. Masalah muncul ketika para waria ini tidak punya KTP karena (maaf) ketidakjelasan kolom jenis kelamin. Jadi mereka tak punya KTP untuk mendapatkan KJS. Rumit ya memang. Ada pula kabar berhembus kalau mereka ingin membuat acara untuk mengangkat derajat kaum waria, lalu dengan bintang tamu Jokowi. Entahlah yang mana yang betul motif mereka.

Di tengah obrolan bersama waria dan beberapa wartawan balaikota, tiba-tiba mobil Jokowi jalan. Sekejap saja dia sudah hilang, karena pandangan gue terhalang kerumunan orang disana. Gue pun bertanya sama salah seorang wartawan detik di situ, "Mobil Jokowi tadi udah keluar ya?"

"Ga kok, mobilnya ada di pintu belakang," jawabnya. 

Ga pake mikir panjang, gue langsung pergi ke pintu belakang. Jadi balaikota itu punya dua pintu masuk, pintu depan dan pintu belakang. Ketika mendengar bahwa mobilnya ke belakang, gue punya feeling bahwa dia akan keluar lewat pintu belakang dan langsung pergi dengan mobilnya. Karena apa? Di depan sana ada gerombolan waria dan pintu gerbang ada rombongan pendemo yang tengah bersiap, gue yakin Jokowi akan menolak menemui wartawan untuk memberikan keterangan,karena pasti wartawan akan menanyakan soal demo dan waria itu. Menurut gue Jokowi itu bukan orang yang suka bikin bola panas, dengan omong-omongan yang kontroversial. Gue rasa dia adalah tipe orang yang ga akan berbuat sesuatu jika ia belum yakin betul (contoh pembangunan MRT yang masih tarik ulur, karena dia merasa belum yakin akan proyek tersebut). Maka gue yakin dia ga akan lewat pintu depan, lagipula ga masuk akal juga kalau Jokowi harus keluar dari pintu depan terus pergi sampai ke belakang, bayangkan ada berapa pertanyaan wartawan yang harus ia jawab? Gamblingnya adalah dia tidak pergi saat itu dengan mengkandangan mobilnya di belakang. Tapi ada juga isu yang mengatakan bahwa ia akan ke Setu Babakan. Hampir pastilah dia keluar. Tidak salahnya mengikuti naluri dan mencoba menunggu di dekat mobilnya.

Gue pun duduk di dekat pintu masuk belakang. Gue membuka tas gue dan mengeluarkan amplop surat permohonan versi gue itu. Baru beberapa saat duduk, lalu tiba-tiba saja Jokowi keluar dari pintu belakang. Dengan segera gue bangkit dan mengejarnya.

Menyerahkan Surat

"Pak Jokowi, ini Pak saya mau mengajukan wawancara eksklusif dengan Bapak. Saya sudah mengajukan secara formal dengan Humas Bapak, tapi tak mendapat jawaban. Deadline saya Desember Pak, jadi saya harus segera wawancara Bapak," ujar gue sambil mengikuti kecepatan langkahnya

"Ya, Ya, Ya," jawabnya singkat sambil mengangguk.
"Ini Pak, saya bawa surat permohonannya, saya sudah tulis semua disitu. Lalu di belakangnya ada lampiran surat permohonan, dan surat tugas dari kantor sebagai bukti identitas saya." Lalu gue memberikan surat itu.

Jokowi pun menerima surat gue. Langkahnya terhenti entah karena telah mencapai mobilnya atau hanya untuk melongok sebentar surat saya. 

"Jadi kapan Pak saya bisa wawancara Bapak?"
"Nanti di aturkan jadwalnya sama Devid," ujarnya sambil menunjuk orang di belakang gue, yang ternyata bernama Devid.

Jokowi pun berlalu masuk mobilnya. Sejurus kemudian melesat mobil itu ke arah pintu gerbang balaikota. Di saat bersamaan dari arah depan, datang sambil berlari gerombolan wartawan dan waria yang hendak menemui Jokowi, namun semua dilewatinya. Jokowi berlalu langsut melesat pergi.

"Dapet Kris?" tanya Alvin yang juga datang bersama gerombolan wartawan, namun dia agak cepat datang, karena dia berhasil mendapatkan foto gue sedang berbicara dengan Jokowi tadi.


"Dapet dong Vin. Hoki banget gue, pas doi lagi sepi, ya udah gue samperin aja," ujar gue sambil sumringah bahagia.

"Surat Lw uda di dia?" tanya Alvin
"Yoi dong, sukses banget."

Seperti biasa, sejurus kemudian balkot mendadak sepi. Para wartawan lainnya sudah melesat mengejar Jokowi.

"Vin anak-anak uda pada cabut ya?" 
"Iya Kris."
"Kejar yuk Vin!"
"Ah gue lagi males Kris. Jauh ke Setu Babakan. Kalau mau nyetir motor gue gapapa deh."
"Ayo Vin gue bawa!" Jawab gue sekenanya. Nekat! Tapi Alvin tetap menolak. Ya uda deh gapapa, gw nothing to loose juga, toh gue uda berhasil memberinya surat gue langsung ke tangannya. Mungkin dia akan menghubungi gue atau gimana pun entahlah. Itu saja kemungkinananya, pikir gue saat itu.

Liputan Intermezo dan Jalan-jalan

Lalu kami memutuskan tidak ada lagi yang bisa dikerjakan di balkot, lalu kita pergi ke sebelah ke Perpusnas. Setali tiga uang dengan kunjungan gue sebelumnya, kali ini giliran Alvin yang membuat kartu anggota perpusnas disana. Setelah selesai berkunjung ke perpusnas, di luar tengah berkerumun massa pendemo. Rupanya mereka adalah buruh yang berdemo. Setelah selesai makan siang, gue dan Alvin iseng-iseng mengambil gambar mereka. Yah lumayan liputan intermezo.




Suasana demonstrasi buruh di depan kantor Balaikota DKI Jakarta, Rabu (21/11). Demonstrasi kali ini masih dengan agenda yang sama yaitu untuk mempertegas soal kebijakan outsourcing dan peningkatan UMP menjadi Rp 2,2 juta/ bulan.

Setelah itu Alvin mengajak gue pergi ke TIM untuk nonton Europe on Screen di Kineforum. Sebelum sampai di kineforum yang terletak di belakang, kita main dulu ke pameran tentang Jakarta di ruangan depan Kineforum.

Rampung melihat pameran, kita ruang belakang Kineforum, dan surprise! Kita ketemu sama Shirley Tamara. Doi adalah senior gue di Jurnalistik UMN. Gue emang pernah denger kalo dia sekarang jadi pegiat di Kineforum, tapi ga nyangka aja bisa ketemuan disini. Kak Shir, lagi jaga Kineforum dan segera doi menawarkan kami untuk menonton. Namun sayangnya, karena jamnya kurang cocok,dan ternyata Alvin lupa sudahada janji sama anak basket temannya, maka kami mengurungkan niat kami untuk menonton. Di saat yang sama gue dapat kabar dari anak balkot kalo Jokowi ga balik lagi, doi mau langsung pulang. Maka gue putuskan untuk balik aja. Alvin kemudian mengantarkan gw ke halte busway Harmoni dan dia pergi ke tempat temannya. Di tengah perjalanan, resleting tas gue ngeror ga bisa ditutup. Alhasil gue membeli peniti dan harus meiti seluruh bagian reseliting gue agar tas gue ga kebuka-buka. Fiuuuhhh....

Hari itu rasanya cukup menyenangkan karena rasanya gw beruntung sekali bisa memberikan surat permohonan wawancara secara langsung kepada Jokowi. Namun rupanya hari yang nampaknya beruntung itu, berakhir dengan penyesalan dan kesialan.

Sial karena gue lupa membawa turun helm dari angkot saat pindah angkot. Lalu kesialan berikutnya saat sudah sampai rumah, gue lagi leyeh-leyeh di kamar sambil baca berita, gue terperangah membaca berita yang membuat sungguh menyesal mlewatkan kesempatan siang hari tadi. Jadi siang itu Jokowi mengajak beberapa wartawan untuk satu mobil dengannya. Beliau menawarkan diri untuk di ajak ngobrol dan di wawancara secara khusus dari perjalan Setu Babakan menuju Waduk Riario di Jakarta Timur. Apalagi dia sambil mengajak sekretaris daerah bagian dinas pertamanan yang mengurus RTH (Ruang Terbuka Hijau) Jakarta. SIAL GUE HARUSNYA IKUT TUH! Huufthh.... sial sekali gue rasanya. Menyesal sekali. Harusnya gue fokus dan jangan cepat puas dulu dengan Cuma kasih surat ke Jokowi. Harusnya gue paksa Alvin buat nempel dan kuntit dia terus.

Frustrating? Yeah of course! It seems like that loe dikit lagi berhasil, tapi karena salah loe, karena loe ga fokus, karena loe kurang persistent, you blow up your own chance. Probably the only real chance! And you missed it!

Thursday, November 29, 2012

Mengejar Jokowi (Bagian II: No Pain, No Gain! )


Sisa waktu sampai Minggu, email surat permohonan wawancara dari kantor redaksi gue tak kunjung datang. Sampai akhirnya, Senin pagi gw dapet email dari Bintang soal surat permohonan wawancara. Langsung saja gw forward ke email Bu Humas dan langsung gue konfirm via BBM, dan beliau mengiyakan dan berjanji untuk follow-up.

Menanti Sebuah Jawaban

Saat itu posisinya saya tengah menunggu follow-up wawancara dari Bu Humas. Kalau kata band Padi sih, "Menanti Sebuah Jawaban". Bukan jawaban pertanyaan cinta, tapi wawancara! hahahaa :p Sehari tak ada balasan. Hari kedua, saya coba mengingatkan sambil mempertanyakan. BBM gue cuma R (read), tapi gada balasan. Saya merasa.... Oh oke.... ngertilah gimana di sana. Hari Kamis, tanggal merah, gue coba kirim beliau greetings selamat tahun baru kalender Islam dan Jawa, untuk menjaga hubungan baik dengan beliau. 

 Besoknya saya malah bermain-main seharian dengan kawan SMA saya karena ada reuni akbar SMA saya. Dan minggu itu di tutup dengan full bersantai-santai dalam suasana long weekend. Meski demikian, dalam hati gue was-was juga, "Gimana nih, gue belum bikin janji wawancara sama Jokowi? Mana deadline makin mepet?" Tenang gue masih punya waktu tersisa, dan tenaga yang belum gue kerahkan semuanya. Pasti bisa.

Bintang kemudian SMS gue, "Krisna gimana liputan kamu? Kok gada kabar?"
"Iya nih Pak, belum ada jawaban. Mulai sening saya bakal seminggu full nongkrong di Balkot deh Pak, kalau perlu saya sampai kerumahnya," jawab gue.
"Mantap! Kabari terus ya," jawabnya.
"Oke Pak! Pasti saya kabari," jawab gue. Oke emang gada cara lain selain kesana terus, untuk kuntit dia sampai dapat.

Mendadak Anak Balai Kota

Senin Pagi, 19 November 2012, gue bangun jam setengah 6 pagi, bersiap-siap untuk segera meluncur ke Balaikota. Setengah tujuh gue uda nongkrong di angkot, berharap kendaraan capsul ini langsung meluncur. Namun apa lacur! Macet terlalu cepat menyapa! Tidak sampai tiga kilometer kami berjalan, antrian mobil panjang seperti ular. Jakarta keras sekali Bung! Bahkan sejak matahari belum genap mengudara! Tidak cuma itu, di tengah perjalanan sopir angkot gue turun dari mobil dan hampir berkelahi dengan seorang pengendara sepeda motor. Pasalnya si pesepeda motor ini tak terima, angkot ini main berhenti saja tiba-tiba di tengah jalan. Karena kesal, dia memukul bumper belakang angkot dan memaki sang sopir. Tidak terima kendaraannya dihajar dan dirinya dimaki, sang sopir turun dan mengaka berkelahi. Namun kemudia serbuan klakson mobil dan motor serta makian pengendara bermotor lainnya meleraikan perkelahian antar keduanya. Fiuhh, Jakarta memang keras. Berbekal kesabaran dan headset, cukup ampuh membawa angin segar di hati. 

Akhirnya setelah perjalanan panjang dan penuh kemacetan, sampailah gue di Balaikota. Segera gue pergi menemui Bu Humas menanyakan kelanjutan permohonan wawancara saya. Dia kemudian menyuruh saya untuk menemui Pak Admin Sekda untuk mengecek jadwal gue. Sesampainya, gue pun mengutarakan maksud gue dengan Pak Admin Sekda dan memberitahukan kalau gue sudah kirim via email ke Bu Humas. Dia malah mempertanyakan surat permohonan wawancara gue. Gue pun mengeluarkan surat itu dari tas gue. Dia malah menyalahkan bahwa surat gue ini ga jelas, karena tidak mencantumkan kepada Bapak Gubernur JokoWidodo di atas, namun sebenarnya hal itu sudah tertera di badan surat. Pak Admin Sekda bersikeras menolak surat gue, karena bukan begitu susunan surat yang formal. Tapi gue ga kalah bersikeras juga, dengan argumen, ga masalahlah soal tata cara, ga usah terlalu kaku gitulah birokrasinya, yang penting kan bapak tahu maksud dari surat ini. Itu aja cukup kan? Doi masih menolak argumen gue malah mengatakan, kamu pernah sekolah ga sih? Kan di ajarin cara nulis surat yang benar. Gue pantang menyerah dengan bilang, Pak saya sudah jauh-jauh dari Bogor, saya ga mau lagi pulang dengan tangan kosong, bisa ga sih hanya sekedar masukin jadwalnya. Toh gue uda bilang ke Bu Humas juga, uda pada tahu maksud gue apa. 

Sejurus kemudian, doi mengutak-atik komputernya dan menunjukkan daftar permintaan bertemu dan atau wawancara dengan Jokowi. Banyak sekali, menumpuk! mulai dari media elektronik, TV, cetak, dan lembaga-lembaga lainnya. Jadwalnya penuh, dan nampaknya dia ga akan keburu gw wawancara sampai Desember, padahal itu deadline gw. Saat Pak Admin Sekda sedang scroll down daftar itu, ternyata nama gue dan media gue uda tercantum disitu. Ternyata gue uda masuk wishlist. Tapi ya itu tadi, jangankan gue yang baru masukin sekitar seminggu yang lalu, yang dari awal bulan November pun belum di garap.

Gue pun menelpon Bintang, untuk menceritakan semuanya. Menolak gagal gue menawarkan doorstop atau mencari narasumber lain.

"Ga, saya ga mau kalau doorstop. Jawaban dia jadi ga fokus dan apa adanya. Dan saya belum ada rencana untuk mengganti narasumber. Kamu coba aja terus ya, masih ada sedikit waktu," ujar Bintang, dan telpon ditutup.

Ada benarnya juga untuk tidak doorstop, karena pasti akan berebutan dengan wartawan lain. Pekerjaan yang sepertinya mudah ini, mendadak jadi memusingkan. Jokowi sangat sulit diminta waktunya untuk wawancara eksklusif. Dia adalah bintang saat ini, namanya dielu-elukan dimana-mana, artis pun lewat. Sementara deadline terus memburu. Masa iya gue akan gaga;? Ga pernah jadi pilihan gue itu! Gue perlu memikirkan cara untuk bisa mendapatkan wawancara dengan dia.

Pertama yang di pikiran gue adalah gue terlebih dahulu menguasai medan. Gue harus tahu bagaimana denyut wartawan Balikota, jadwal Jokowi dan berbagai kebiasaannya di Balaikota. Intinya mengumpulkan segala informasi yang gue perlukan untuk bisa berhasil. Langkah pertama yang harus gue lakukan, gue harus bergaul dengan wartawan balkot.

Ga lama setelah gue keluar dari kantor Bu Humas, di selasar Balaikota gue melihat gerombolan wartawan ramai di pintu masuk Balaikota. Ternyata mereka sedang doorstop Jokowi.

Wartawan berebutan bertanya dan mengambil gambar serta mengambil audio dari doorstop


Puluhan wartawan dari berbagai media mengerubunginya

Doorstop terus sampai habis pertanyaan atau sampai dia sampai ke mobil. Mana duluan yang lebih dulu.

Setelah Jokowi masuk ke dalam mobil dan pergi, sekejap kemudian selasar menjadi sepi. "Kemana perginya wartawan-wartawan itu?" Tanya gue dalam hati. Padahal rencananya gue pengen JB-JB, kenalan sama mereka. Tapi situasi sudah sangat sepi. Gue melongok ke kiri dan kanan, gue menemukan seseorang sidang melihat gambar di kamera SLR yang dikalungkannya. Nampaknya dia wartawan. Gue pun mendekatinya.

Benar dia adalah seorang wartawan. Namanya Mas Arfi, fotografer dari Liputan 6. Gw berkenalan dengan dia mencoba bertanya-tanya soal Balkot. Rupanya dia bukan wartawan yang mangkal di Balkot, hanya hari itu kebetulan dia sedang ditugaskan di balkot untuk mengambil gambar Jokowi. Kemudian dia membawa saya untuk bertemu wartawan-wartawan yang mangkal di balakot untuk makan siang bareng. Jadi mereka tidak ikut pergi menguntit Jokowi pergi.

Kami makan Siomay kaki lima yang mangkal di belakang Balaikota atau depan DPRD Jakarta. Disana gue kenalan dengan wartawan balkot. Ada Bang Al dari Indonesiarayyanews.com, Bang Bintang (yang ternyata kakak kelas gue waktu SMP dulu) dari Warta Kota, dan dua orang lainnya gue lupa namanya. Setelah itu, sambil menanti kedatangan Jokowi, kita masuk ke gedung balaikota untuk melihat Ahok. Lama menunggu, Ahok tak kunjung keluar dari ruang rapatnya di balaikota. Karena jenuh gue keluar, dan ternyata saat di beranda, gue menemukan mobil Jokowi. Dia sudah pulang ke Balaikota dan melewatkannya. Ah shit man! Harusnya gue stay di beranda aja, daripada di atas tadi. Belajar dari situ, gue pun konsisten stay di beranda.

 Waktu berlalu, siang berganti sore. Matahari pun lenyap berganti awan mendung. Hujan deras mengguyur Jakarta. Jokowi tak kunjung keluar dari kantornya. Pukul tiga sore, pegawai Pemda satu per satu keluar dan nongkrong di beranda. Mereka nongkrong dan berbaur tak ubahnya wartawan. Gue pun menghabiskan waktu dengan ngobrol dengan beberapa wartawan dan pegawai pemda yang nongkrong disana. Isu berhembus, Jokowi akan pulang habis maghgrib. Pukul empat sore, pegawai pemda berhamburan pulang. Tak sampai sepuluh menit parkiran mobil dan motor pegawai balkot telah sepi dari empunya. Jam lima, satu per satu wartawan mulai pulang, mungkin harus setor berita ke kantornya. Sementara beberapa wartawan masih stay disana menanti Jokowi. 

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, gue pun mulai memikirkan, ini sampai jam berapa? Kemudian gue berpikir, kalau gue terlalu malam, gue ga bisa pulang. Angkot di Lebak Bulus untuk jurusan Pamulang lewat dari jam 10an sudah sepi. Sementara untuk mencapai Bulus saja perlu waktu, apalagi hujan deras sepanjang hari, pasti macet total. Kalau gue uda kenal deket sama wartawan Balkot, gue pilih nginep deh, tapi berhubung belum kenal banget, kayaknya gue emang harus segera balik. Toh masih ada hari lain, dan sedikit waktu itu memikirkan rencana yang lebih matang di lain hari ketimbang doorstop. Akhirnya gw putuskan untuk pulang.

Determinasi Pulih

Besoknya, gue ga ke balkot karena ada kelas. Dan bahkan gue memilih untuk pergi nonton Bioskop. Pikiran gue sedang kalut dan stress waktu itu, ini gimana caranya ketemu Jokowi? Masa iya gue gagal? Kemudian di perjalanan pulang, gue mendapatkan kembali semangat gue. Harus gue akuin, sebelumnya gue belum merasa enjoy dengan freelance ini karena bisa dibilang, liputan ini menuntut gue untuk keluar dari zona nyaman gue. Karena praktis setelah usai semester kemarin bisa di bilang gue menjalani gaya hidup liburan! Karena semester ini gue hanya ambil satu mata kuliah sisa dan skripsi yang membuat gue banyak stay dan nyantai di rumah sejak bulan Juni. Gue udah kayak babi aja. Makan, tidur, main. Badan melar, otak ga lagi encer. Skripsi dan bimbingan pun sesuka-sukanya gue mau kerjain kapan. Wah ancur dah gue. Padahal sebelum libur, gue adalah seorang pekerja keras, semua kegiatan mahasiswa, pers kampus, tugas kuliah semua gue handle, gada yang failed dan emang ga boleh failed. Man, gue jadi cemen dalam waktu yang cepat karena terlalu lama berkutat di comfort zone itu.

Namun semua semangat itu tiba-tiba kembali usai gue menumpahkan semua perasaan gue ke Vivi. Setelah itu gue berkata sama diri gue sendiri, "Kata Loe hidup itu harus kerja keras Kris? Gini aja uda takluk Loe? Cemen!" Dan secara magis, tiba-tiba gue mendapatkan semangat gue. Gue yang pekerja keras, gue yang menolak gagal. Determinasi gue pulih. Sesaat setelah itu otak gue dipenuhi oleh berbagai cara yang patut dicoba untuk mengejar Jokowi.

Gue berpikir, kalau cara formal tidak bisa, rasanya halal-halal saja menggunakan cara non-formal untuk mendapatkan wawancara.  Tapi gue masih mau mencoba cara semi-formal dengan cara memberikan surat permohonan secara langsung ke Jokowi, yang gue bikin dengan tulisan tangan sendiri, dimana isinya gue akan curhat tentang semua yang uda gue lakukan untuk mendapatkan wawancaranya. Tidak cuma itu, untuk membedakan gue dengan permintaan wawancara yang lain, gue akan meminta Pak Jokowi untuk menandatangi buku dies natalis 40 tahun Fakultas Kehutanan UGM (Univ. Gadjah Mada). Kaitannya apa? Pakde gue adalah dosen kehutanan UGM, dan doi adalah alumni kehutanan UGM, maka seharusnya ada keterikatan emosional di dalamnya, jadi meningkatkan kesempatan gue untuk mewawancarai dia, juga sebagai hadiah untuk pakde gue yang sudah sebelumnya mengirimkan sejumlah materi soal lingkungan hidup dan kehutanan atas permintaan gue, supaya gue punya sedikit banyak pengetahuan pegangan tentang lingkungan hidup dan kehutanan. Dan besok gue akan pergi ajak Alvin (karena doi bawa motor) agar gue bisa menyusul Jokowi. Itulah taktik gue.
 
Sampai di rumah gue langsung  membuat surat itu, sambil men-charge BB dan kamera gue, agar tidak kehabisan baterei besok harinya. Namun tiba-tiba saja listrik padam. Wuaaah anjriiit betul! di saat gue perlu banget listrik, malah mati. Gue harus tunggu listrik nyala untuk menyelesaikan semuanya, padahal gue perlu tidur cepet supaya besok bisa bangun subuh, karena mau nyuci baju dulu. Untungnya sekitar setengah jam kemudian listrik kembali nyala, dan gue langsung kerjain lagi surat itu. Surat itu kemudian selesai, gue lampirkan dengan surat permohonan wawancara yang asli, surat tugas, dan daftar pertanyaan wawancara lalu gue masukan rapi dalam amplop. Sudah rapi, semua siap, besok tinggal kasih secara langsung kepada Jokowi.

Mengejar Jokowi (Bagian I: Perjalanan Dimulai)


                “Pak, jadi tugas saya ngeliput apa?”
            
              Sesaat kemudian, Samiaji Bintang Nusantara, atau yang akrab gue sapa Pak Bintang, mengambil telepon genggam dari saku kemejanya. Dipencetnya tuts-tuts telepon genggamnya, dan ditempelkan ke telinganya. Entah dia menghubungi siapa. Gue ga terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan atau setidaknya apa yang diucapkan Pak Bintang, karena suasana Lobby Kampus UMN terlalu ramai saat itu. Tak lama, dia masukan kembali telepon genggamnya ke saku kemejanya.
           
            “Krisna, tugas kamu wawancara Jokowi,” ujar Pak Bintang. Itulah permulaan kisah gue mengejar wawancara Jokowi.
             
               Sekitar 2 minggu sebelumnya pada sebuah pagi di pertengahan bulan Oktober, gue lagi nongkrong di depan laptop dan setumpuk buku serta kertas-kertas data. Gue lagi ngerjain skripsi saat itu, dan tiba-tiba HP gw bergetar. Ada SMS masuk rupanya, gue buka, ternyata dari Pak Bintang. Beliau adalah dosen gue 2 semester kemarin untuk mata kuliah Indepht & Investigating Report dan Editing dan Produksi Media Cetak. Sebelum jadi dosen UMN, Bintang adalah wartawan Tribun Kaltim dan Pantau. Dia juga sukses meraih fellowship Mochtar Lubis Award 2009 – sebuah penghargaan karya jurnalistik – bersama sejumlah temannya melalui proposal yang berjudul Tragedi Kematian di Panti Laras: Menyingkap Meninggalnya Ratusan Pasien Gangguan Jiwa di Panti Laras Jakarta. Kami sudah saling kenal melalui berbagai diskusi di kelas atau di luar kelas. Beberapa kali kita makan siang bareng dan ngobrol ngalur-ngidul soal jurnalistik.

            
Ini dia nih yang namanya Pak Samiaji Bintang Nusantara. Kata anak-anak, doi mukanya mirip gue ya? Gara-gara Pandji nih, dia bilang, "Kris, ntar lw kalo uda tua, muka lw kek Bintang!" -____- yah semoga gw bisa sehebat dia soal jurnalistik. hehehe :P


            “Krisna, kamu mau jadi reporter di majalah ga? Lumayan ada honornya?” Ujar dia di SMS itu. Wuih lumayan juga nih pikir gue. Gue pun mengungkapkan keinginan gue untuk mengambil kesempatan itu, tapi gw mau tahu dulu, majalah apa? Lokasinya kantornya dimana? Majalahnya seperti apa? Pokoknya 5W 1H-nya projek ini. Akhirnya gue memutuskan untuk ketemuan sama Pak Bintang, karena perlu diskusi panjang dan sulit dijelaskan bila hanya via SMS. Kemudian kita bertemu dan dia menjelaskan semuanya. Gw akan freelance di majalah yang bernama Warta FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan dan Masyarakat) sebuah media informasi dari FKKM. Sedangkan FKKM itu sendiri adalah sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak di bidang kehutanan dan lingkungan hidup. Untuk info lebih lanjut klik saja di sini (situs resmi FKKM). Diberitahukan bahwa gw akan terlibat di edisi Desember, maka deadline gue ngumpulin beritanya adalah akhir November. Inilah tugas peliputan yang sangat luar biasa proses jatuh bangunya dan betapa nikmat keberhasilannya yang pasti unforgetable!


Mengejar wawancara eksklusif Jokowi bukan perkara mudah. Bisa dibilang susah-susah gampang sih. Susahnya adalah dia sudah seperti artis. Banyak banget orang yang mengantri wawancara sama dia, artis lewat malah. Gampangnya adalah beliau orangnya sangat humble, sederhana, egaliter, jadi ajudannya sangat santai dan ga lebay saat doi lagi dikerubungi wartawan untuk doorstop ataupun masyarakat yang hendak meminta bersalaman dan segala macam lainnya. Semua itu akan gue ceritakan nanti. Happy and enjoy reading! :D
Perjalanan Dimulai
 
Bikin janji wawancara! Itulah langkah yang terpikirkan oleh gue untuk mengerjakan tugas ini. Gue menghubungi sejumlah teman yang punya kemungkinan kontak Jokowi, mulai dari kontak dari teman gue yang kemarin magang Antara, Lupita, yang punya koneksi ke Balaikota. Akhirnya gue mendapatkan Nomori Sekretarisnya yaitu Devid. Gue SMS telpon ga pernah di jawab.  Mungkin dia enggan menjawab nomor tak dikenal untuk mengurangi resiko hal-hal yang tidak dia inginkan. Saya bisa mengerti dan memaklumi hal itu. Lalu gw teringat bahwa gw punya nomer Ahok dari Jawir. Jadi Ahok waktu itu membagi-bagi nomer saat dia sedang kampanye, dan Jawir simpan itu. Lalu gw coba hub, dan ini balasannya.


SMS Balasan dari Ahok, setelah 2 hari berlalu, itupun jam 12 malam lewat 11 menit. Beliau memang sangat sibuk *yaiyalah

       Gw coba hubungi Sunny. Dia malah memberi saya nomer Devid. Hanya jalan putar balik. Nggak ada cara lain selain pergi ke Balaikota.

Gue emang uda lama "hidup" di Jakarta, 3 tahun gw habiskan sekolah di Jakarta, dan dari kecil hampir saban minggu gw weekend-an di Jakarta dan beberapa tahun terakhir kalo pergi ke gereja gw di Blok M. Tapi gue ga tahu dimana itu Balaikota Jakarta, karena menurut gw dulu, itu ga penting. Apa urusannya gw sama gubernur Jakarta? Kerjaannya ga jelas! Tapi beda sama Jokowi sekarang, doi emang beda. Entar deh gw ceritain. Gue pun googling untuk mencari dimana Balaikota DKI Jakarta itu.

             Jumat, 9 November, Gue pun mulai berangkat ke Balaikota Jakarta, kantor Jokowi bekerja. Gue pergi berdua sama Vivi, si wartawan (handuk) istana. Kebetulan doi sudah selesai UTS (Ujian Tengah Semester) dan lagi nganggur, ya sudah berangkatlah kita. Kita mulai berangkat dari Pamulang sekitar jam 9, ngeteng naik angkot D15 sampai Lebak Bulus, ganti bus Metromini M72 sampai PLN Bulungan, kita jalan kaki masuk ke halte Mesjid Agung untuk naik bus TransJakarta jurusan Blok M - Kota. Karena merupakan perjalanan pertama ke sana, kami salah turun halte. Seharusnya kami turun di halte Bank Indonesia lalu jalan kaki ke Jl.Medan Merdeka Selatan sampai ke Balaikota, tapi kami malah turun di halte Monas yang posisinya lebih ke Utara, membuat kami harus berjalan "sedikit" lebih jauh untuk mencapai balaikota. Setelah menempuh perjalanan jauh, diterpa macet dimana-mana, dan jalan kaki di bawah sengatan matahari, akhirnya kita sampai di Balaikota pukul 11.30 atau 2,5 jam setelah gw perjalanan dari Pamulang.
 
Sampailah gw di balaikota. Gw masih buta arah dan situasi. Namun yang paling terlihat jelas, di selasar Balaikota ada puluhan wartawan nongkrong, hari itu gue belum kenal mereka. Berbekal surat tugas dari kantor yang gw peroleh dari email Pak Bintang, tujuan gw hari itu adalah untuk membuat janji wawancara dengan Jokowi. Gw menghampiri satpam yang ada disana dan bertanya gimana caranya untuk membuat janji wawancara. Dia bilang gue harus kasih surat itu ke bagian humas. ternyata orang itu sedang sholat Jumat.Sambil menunggu, kami memanfaatkan saat itu juga dengan makan siang di kantin balaikota.

                 Setelah menunggu solat Jumat, dan mencari lokasi mejanya, akhirnya kami berhasil menemui Bu Humas balaikota. Bu Humas sudah ancang-ancang dengan mengingatkan bahwa Pak Jokowi sangat sibuk dan sulit untuk ditemui, tapi beliau tetap mengiyakan permohonan wawancara kami. Kemudian dia meminta kami untuk menemui Pak Admin Sekda untuk di aturkan jadwalnya. Saat kami berhasil menemui Pak Admin Sekda, kecewa yang saya dapatkan. Beliau menuntut saya untuk membawa dan melampirkan juga surat permohonan wawancara yang dibuat oleh kantor redaksi. Surat itu saya tidak punya karena, memang saya belum tahu kalau untuk membuat janji wawancara perlu suart tersebut. Jadi permintaan wawancara kami belum bisa di masukan wishlist permintaan wawancara dengan Jokowi. Gue keluar dari ruang dengan rasa kecewa, karena sudah jauh-jauh datang ke Balaikota tapi tidak berhasil mendapatkan tempat di wishlist wawancara dengan Jokowi. Menolak pulang dengan tangan hampa, gue kembali menghampiri Bu Humas meminta solusi. Bu Humas memberi solusi yang cukup fair, daripada saya harus kembali lagi ke balaikota hanya untuk memberikan surat permohonan wawancara, maka dia putuskan untuk kirim saja ke email dia. Setelah bertukar nomor kontak dan alamat email, kami pun putuskan cabut dari balkot. Tak lupa gw lapor sama redaktur gue, Pak Bintang, dan menceritakan semuanya, dan dia menjanjikan untuk membuatkan surat permohonan wawancara itu secepatnya.

Merasa tidak ingin pulang dengan tangan hampa, kami memutuskan untuk mampir ke Perpustakaan Nasional yang berada di sebelah balaikota. Tempat ini lumayan besar, koleksi bukunya juga lumayan lengkap, apalagi di bagian sejarah dan sastra. Buku-buku yang sangat langka dan pada zaman orde baru dilarang pun ada disitu untuk dibaca bebas! dipinjamkan malah! Disana kami meluruskan kaki dan mendinginkan kepala sejenak dengan berkeliling melihat koleksi buku dan membaca beberapa majalah. Kemudian kami putuskan untuk membuat kartu anggota Perpustakaan Nasional, mengingat pembuatannya hanya memakan waktu sekitar 15 menit saja untuk foto dan hanya dengan biaya Rp1000 saja untuk fotokopi KTP, then voila! You get your member card! Bebas biaya keanggotaan pula bisa membuat loe pinjem berbagai buku sabi di dalamnya.

Hari itu ditutup dengan satu jam berdiri mengantri datangnya bus TransJakarta di halte Harmoni untuk pulang ke Lebak Bulus. Belum lagi dua jam tambahan perjalanan yang diwarnai macet di jalan. Merasa hari itu kami berhak mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, kami putuskan untuk berhenti di Pondok Indah Mall untuk makan Yoshinoya. Yummy! :D 

Walaupun hari itu progress kami nihil, tapi gue belajar banyak hal, mulai dari gimana gambaran kondisi di Balkot sampai tentang denyut kota Jakarta, sehingga gue bisa mempersiapkan diri lebih baik di perjalanan berikutnya.