Thursday, November 29, 2012

Mengejar Jokowi (Bagian I: Perjalanan Dimulai)


                “Pak, jadi tugas saya ngeliput apa?”
            
              Sesaat kemudian, Samiaji Bintang Nusantara, atau yang akrab gue sapa Pak Bintang, mengambil telepon genggam dari saku kemejanya. Dipencetnya tuts-tuts telepon genggamnya, dan ditempelkan ke telinganya. Entah dia menghubungi siapa. Gue ga terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan atau setidaknya apa yang diucapkan Pak Bintang, karena suasana Lobby Kampus UMN terlalu ramai saat itu. Tak lama, dia masukan kembali telepon genggamnya ke saku kemejanya.
           
            “Krisna, tugas kamu wawancara Jokowi,” ujar Pak Bintang. Itulah permulaan kisah gue mengejar wawancara Jokowi.
             
               Sekitar 2 minggu sebelumnya pada sebuah pagi di pertengahan bulan Oktober, gue lagi nongkrong di depan laptop dan setumpuk buku serta kertas-kertas data. Gue lagi ngerjain skripsi saat itu, dan tiba-tiba HP gw bergetar. Ada SMS masuk rupanya, gue buka, ternyata dari Pak Bintang. Beliau adalah dosen gue 2 semester kemarin untuk mata kuliah Indepht & Investigating Report dan Editing dan Produksi Media Cetak. Sebelum jadi dosen UMN, Bintang adalah wartawan Tribun Kaltim dan Pantau. Dia juga sukses meraih fellowship Mochtar Lubis Award 2009 – sebuah penghargaan karya jurnalistik – bersama sejumlah temannya melalui proposal yang berjudul Tragedi Kematian di Panti Laras: Menyingkap Meninggalnya Ratusan Pasien Gangguan Jiwa di Panti Laras Jakarta. Kami sudah saling kenal melalui berbagai diskusi di kelas atau di luar kelas. Beberapa kali kita makan siang bareng dan ngobrol ngalur-ngidul soal jurnalistik.

            
Ini dia nih yang namanya Pak Samiaji Bintang Nusantara. Kata anak-anak, doi mukanya mirip gue ya? Gara-gara Pandji nih, dia bilang, "Kris, ntar lw kalo uda tua, muka lw kek Bintang!" -____- yah semoga gw bisa sehebat dia soal jurnalistik. hehehe :P


            “Krisna, kamu mau jadi reporter di majalah ga? Lumayan ada honornya?” Ujar dia di SMS itu. Wuih lumayan juga nih pikir gue. Gue pun mengungkapkan keinginan gue untuk mengambil kesempatan itu, tapi gw mau tahu dulu, majalah apa? Lokasinya kantornya dimana? Majalahnya seperti apa? Pokoknya 5W 1H-nya projek ini. Akhirnya gue memutuskan untuk ketemuan sama Pak Bintang, karena perlu diskusi panjang dan sulit dijelaskan bila hanya via SMS. Kemudian kita bertemu dan dia menjelaskan semuanya. Gw akan freelance di majalah yang bernama Warta FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan dan Masyarakat) sebuah media informasi dari FKKM. Sedangkan FKKM itu sendiri adalah sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak di bidang kehutanan dan lingkungan hidup. Untuk info lebih lanjut klik saja di sini (situs resmi FKKM). Diberitahukan bahwa gw akan terlibat di edisi Desember, maka deadline gue ngumpulin beritanya adalah akhir November. Inilah tugas peliputan yang sangat luar biasa proses jatuh bangunya dan betapa nikmat keberhasilannya yang pasti unforgetable!


Mengejar wawancara eksklusif Jokowi bukan perkara mudah. Bisa dibilang susah-susah gampang sih. Susahnya adalah dia sudah seperti artis. Banyak banget orang yang mengantri wawancara sama dia, artis lewat malah. Gampangnya adalah beliau orangnya sangat humble, sederhana, egaliter, jadi ajudannya sangat santai dan ga lebay saat doi lagi dikerubungi wartawan untuk doorstop ataupun masyarakat yang hendak meminta bersalaman dan segala macam lainnya. Semua itu akan gue ceritakan nanti. Happy and enjoy reading! :D
Perjalanan Dimulai
 
Bikin janji wawancara! Itulah langkah yang terpikirkan oleh gue untuk mengerjakan tugas ini. Gue menghubungi sejumlah teman yang punya kemungkinan kontak Jokowi, mulai dari kontak dari teman gue yang kemarin magang Antara, Lupita, yang punya koneksi ke Balaikota. Akhirnya gue mendapatkan Nomori Sekretarisnya yaitu Devid. Gue SMS telpon ga pernah di jawab.  Mungkin dia enggan menjawab nomor tak dikenal untuk mengurangi resiko hal-hal yang tidak dia inginkan. Saya bisa mengerti dan memaklumi hal itu. Lalu gw teringat bahwa gw punya nomer Ahok dari Jawir. Jadi Ahok waktu itu membagi-bagi nomer saat dia sedang kampanye, dan Jawir simpan itu. Lalu gw coba hub, dan ini balasannya.


SMS Balasan dari Ahok, setelah 2 hari berlalu, itupun jam 12 malam lewat 11 menit. Beliau memang sangat sibuk *yaiyalah

       Gw coba hubungi Sunny. Dia malah memberi saya nomer Devid. Hanya jalan putar balik. Nggak ada cara lain selain pergi ke Balaikota.

Gue emang uda lama "hidup" di Jakarta, 3 tahun gw habiskan sekolah di Jakarta, dan dari kecil hampir saban minggu gw weekend-an di Jakarta dan beberapa tahun terakhir kalo pergi ke gereja gw di Blok M. Tapi gue ga tahu dimana itu Balaikota Jakarta, karena menurut gw dulu, itu ga penting. Apa urusannya gw sama gubernur Jakarta? Kerjaannya ga jelas! Tapi beda sama Jokowi sekarang, doi emang beda. Entar deh gw ceritain. Gue pun googling untuk mencari dimana Balaikota DKI Jakarta itu.

             Jumat, 9 November, Gue pun mulai berangkat ke Balaikota Jakarta, kantor Jokowi bekerja. Gue pergi berdua sama Vivi, si wartawan (handuk) istana. Kebetulan doi sudah selesai UTS (Ujian Tengah Semester) dan lagi nganggur, ya sudah berangkatlah kita. Kita mulai berangkat dari Pamulang sekitar jam 9, ngeteng naik angkot D15 sampai Lebak Bulus, ganti bus Metromini M72 sampai PLN Bulungan, kita jalan kaki masuk ke halte Mesjid Agung untuk naik bus TransJakarta jurusan Blok M - Kota. Karena merupakan perjalanan pertama ke sana, kami salah turun halte. Seharusnya kami turun di halte Bank Indonesia lalu jalan kaki ke Jl.Medan Merdeka Selatan sampai ke Balaikota, tapi kami malah turun di halte Monas yang posisinya lebih ke Utara, membuat kami harus berjalan "sedikit" lebih jauh untuk mencapai balaikota. Setelah menempuh perjalanan jauh, diterpa macet dimana-mana, dan jalan kaki di bawah sengatan matahari, akhirnya kita sampai di Balaikota pukul 11.30 atau 2,5 jam setelah gw perjalanan dari Pamulang.
 
Sampailah gw di balaikota. Gw masih buta arah dan situasi. Namun yang paling terlihat jelas, di selasar Balaikota ada puluhan wartawan nongkrong, hari itu gue belum kenal mereka. Berbekal surat tugas dari kantor yang gw peroleh dari email Pak Bintang, tujuan gw hari itu adalah untuk membuat janji wawancara dengan Jokowi. Gw menghampiri satpam yang ada disana dan bertanya gimana caranya untuk membuat janji wawancara. Dia bilang gue harus kasih surat itu ke bagian humas. ternyata orang itu sedang sholat Jumat.Sambil menunggu, kami memanfaatkan saat itu juga dengan makan siang di kantin balaikota.

                 Setelah menunggu solat Jumat, dan mencari lokasi mejanya, akhirnya kami berhasil menemui Bu Humas balaikota. Bu Humas sudah ancang-ancang dengan mengingatkan bahwa Pak Jokowi sangat sibuk dan sulit untuk ditemui, tapi beliau tetap mengiyakan permohonan wawancara kami. Kemudian dia meminta kami untuk menemui Pak Admin Sekda untuk di aturkan jadwalnya. Saat kami berhasil menemui Pak Admin Sekda, kecewa yang saya dapatkan. Beliau menuntut saya untuk membawa dan melampirkan juga surat permohonan wawancara yang dibuat oleh kantor redaksi. Surat itu saya tidak punya karena, memang saya belum tahu kalau untuk membuat janji wawancara perlu suart tersebut. Jadi permintaan wawancara kami belum bisa di masukan wishlist permintaan wawancara dengan Jokowi. Gue keluar dari ruang dengan rasa kecewa, karena sudah jauh-jauh datang ke Balaikota tapi tidak berhasil mendapatkan tempat di wishlist wawancara dengan Jokowi. Menolak pulang dengan tangan hampa, gue kembali menghampiri Bu Humas meminta solusi. Bu Humas memberi solusi yang cukup fair, daripada saya harus kembali lagi ke balaikota hanya untuk memberikan surat permohonan wawancara, maka dia putuskan untuk kirim saja ke email dia. Setelah bertukar nomor kontak dan alamat email, kami pun putuskan cabut dari balkot. Tak lupa gw lapor sama redaktur gue, Pak Bintang, dan menceritakan semuanya, dan dia menjanjikan untuk membuatkan surat permohonan wawancara itu secepatnya.

Merasa tidak ingin pulang dengan tangan hampa, kami memutuskan untuk mampir ke Perpustakaan Nasional yang berada di sebelah balaikota. Tempat ini lumayan besar, koleksi bukunya juga lumayan lengkap, apalagi di bagian sejarah dan sastra. Buku-buku yang sangat langka dan pada zaman orde baru dilarang pun ada disitu untuk dibaca bebas! dipinjamkan malah! Disana kami meluruskan kaki dan mendinginkan kepala sejenak dengan berkeliling melihat koleksi buku dan membaca beberapa majalah. Kemudian kami putuskan untuk membuat kartu anggota Perpustakaan Nasional, mengingat pembuatannya hanya memakan waktu sekitar 15 menit saja untuk foto dan hanya dengan biaya Rp1000 saja untuk fotokopi KTP, then voila! You get your member card! Bebas biaya keanggotaan pula bisa membuat loe pinjem berbagai buku sabi di dalamnya.

Hari itu ditutup dengan satu jam berdiri mengantri datangnya bus TransJakarta di halte Harmoni untuk pulang ke Lebak Bulus. Belum lagi dua jam tambahan perjalanan yang diwarnai macet di jalan. Merasa hari itu kami berhak mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, kami putuskan untuk berhenti di Pondok Indah Mall untuk makan Yoshinoya. Yummy! :D 

Walaupun hari itu progress kami nihil, tapi gue belajar banyak hal, mulai dari gimana gambaran kondisi di Balkot sampai tentang denyut kota Jakarta, sehingga gue bisa mempersiapkan diri lebih baik di perjalanan berikutnya.

No comments:

Post a Comment