Thursday, November 29, 2012

Mengejar Jokowi (Bagian II: No Pain, No Gain! )


Sisa waktu sampai Minggu, email surat permohonan wawancara dari kantor redaksi gue tak kunjung datang. Sampai akhirnya, Senin pagi gw dapet email dari Bintang soal surat permohonan wawancara. Langsung saja gw forward ke email Bu Humas dan langsung gue konfirm via BBM, dan beliau mengiyakan dan berjanji untuk follow-up.

Menanti Sebuah Jawaban

Saat itu posisinya saya tengah menunggu follow-up wawancara dari Bu Humas. Kalau kata band Padi sih, "Menanti Sebuah Jawaban". Bukan jawaban pertanyaan cinta, tapi wawancara! hahahaa :p Sehari tak ada balasan. Hari kedua, saya coba mengingatkan sambil mempertanyakan. BBM gue cuma R (read), tapi gada balasan. Saya merasa.... Oh oke.... ngertilah gimana di sana. Hari Kamis, tanggal merah, gue coba kirim beliau greetings selamat tahun baru kalender Islam dan Jawa, untuk menjaga hubungan baik dengan beliau. 

 Besoknya saya malah bermain-main seharian dengan kawan SMA saya karena ada reuni akbar SMA saya. Dan minggu itu di tutup dengan full bersantai-santai dalam suasana long weekend. Meski demikian, dalam hati gue was-was juga, "Gimana nih, gue belum bikin janji wawancara sama Jokowi? Mana deadline makin mepet?" Tenang gue masih punya waktu tersisa, dan tenaga yang belum gue kerahkan semuanya. Pasti bisa.

Bintang kemudian SMS gue, "Krisna gimana liputan kamu? Kok gada kabar?"
"Iya nih Pak, belum ada jawaban. Mulai sening saya bakal seminggu full nongkrong di Balkot deh Pak, kalau perlu saya sampai kerumahnya," jawab gue.
"Mantap! Kabari terus ya," jawabnya.
"Oke Pak! Pasti saya kabari," jawab gue. Oke emang gada cara lain selain kesana terus, untuk kuntit dia sampai dapat.

Mendadak Anak Balai Kota

Senin Pagi, 19 November 2012, gue bangun jam setengah 6 pagi, bersiap-siap untuk segera meluncur ke Balaikota. Setengah tujuh gue uda nongkrong di angkot, berharap kendaraan capsul ini langsung meluncur. Namun apa lacur! Macet terlalu cepat menyapa! Tidak sampai tiga kilometer kami berjalan, antrian mobil panjang seperti ular. Jakarta keras sekali Bung! Bahkan sejak matahari belum genap mengudara! Tidak cuma itu, di tengah perjalanan sopir angkot gue turun dari mobil dan hampir berkelahi dengan seorang pengendara sepeda motor. Pasalnya si pesepeda motor ini tak terima, angkot ini main berhenti saja tiba-tiba di tengah jalan. Karena kesal, dia memukul bumper belakang angkot dan memaki sang sopir. Tidak terima kendaraannya dihajar dan dirinya dimaki, sang sopir turun dan mengaka berkelahi. Namun kemudia serbuan klakson mobil dan motor serta makian pengendara bermotor lainnya meleraikan perkelahian antar keduanya. Fiuhh, Jakarta memang keras. Berbekal kesabaran dan headset, cukup ampuh membawa angin segar di hati. 

Akhirnya setelah perjalanan panjang dan penuh kemacetan, sampailah gue di Balaikota. Segera gue pergi menemui Bu Humas menanyakan kelanjutan permohonan wawancara saya. Dia kemudian menyuruh saya untuk menemui Pak Admin Sekda untuk mengecek jadwal gue. Sesampainya, gue pun mengutarakan maksud gue dengan Pak Admin Sekda dan memberitahukan kalau gue sudah kirim via email ke Bu Humas. Dia malah mempertanyakan surat permohonan wawancara gue. Gue pun mengeluarkan surat itu dari tas gue. Dia malah menyalahkan bahwa surat gue ini ga jelas, karena tidak mencantumkan kepada Bapak Gubernur JokoWidodo di atas, namun sebenarnya hal itu sudah tertera di badan surat. Pak Admin Sekda bersikeras menolak surat gue, karena bukan begitu susunan surat yang formal. Tapi gue ga kalah bersikeras juga, dengan argumen, ga masalahlah soal tata cara, ga usah terlalu kaku gitulah birokrasinya, yang penting kan bapak tahu maksud dari surat ini. Itu aja cukup kan? Doi masih menolak argumen gue malah mengatakan, kamu pernah sekolah ga sih? Kan di ajarin cara nulis surat yang benar. Gue pantang menyerah dengan bilang, Pak saya sudah jauh-jauh dari Bogor, saya ga mau lagi pulang dengan tangan kosong, bisa ga sih hanya sekedar masukin jadwalnya. Toh gue uda bilang ke Bu Humas juga, uda pada tahu maksud gue apa. 

Sejurus kemudian, doi mengutak-atik komputernya dan menunjukkan daftar permintaan bertemu dan atau wawancara dengan Jokowi. Banyak sekali, menumpuk! mulai dari media elektronik, TV, cetak, dan lembaga-lembaga lainnya. Jadwalnya penuh, dan nampaknya dia ga akan keburu gw wawancara sampai Desember, padahal itu deadline gw. Saat Pak Admin Sekda sedang scroll down daftar itu, ternyata nama gue dan media gue uda tercantum disitu. Ternyata gue uda masuk wishlist. Tapi ya itu tadi, jangankan gue yang baru masukin sekitar seminggu yang lalu, yang dari awal bulan November pun belum di garap.

Gue pun menelpon Bintang, untuk menceritakan semuanya. Menolak gagal gue menawarkan doorstop atau mencari narasumber lain.

"Ga, saya ga mau kalau doorstop. Jawaban dia jadi ga fokus dan apa adanya. Dan saya belum ada rencana untuk mengganti narasumber. Kamu coba aja terus ya, masih ada sedikit waktu," ujar Bintang, dan telpon ditutup.

Ada benarnya juga untuk tidak doorstop, karena pasti akan berebutan dengan wartawan lain. Pekerjaan yang sepertinya mudah ini, mendadak jadi memusingkan. Jokowi sangat sulit diminta waktunya untuk wawancara eksklusif. Dia adalah bintang saat ini, namanya dielu-elukan dimana-mana, artis pun lewat. Sementara deadline terus memburu. Masa iya gue akan gaga;? Ga pernah jadi pilihan gue itu! Gue perlu memikirkan cara untuk bisa mendapatkan wawancara dengan dia.

Pertama yang di pikiran gue adalah gue terlebih dahulu menguasai medan. Gue harus tahu bagaimana denyut wartawan Balikota, jadwal Jokowi dan berbagai kebiasaannya di Balaikota. Intinya mengumpulkan segala informasi yang gue perlukan untuk bisa berhasil. Langkah pertama yang harus gue lakukan, gue harus bergaul dengan wartawan balkot.

Ga lama setelah gue keluar dari kantor Bu Humas, di selasar Balaikota gue melihat gerombolan wartawan ramai di pintu masuk Balaikota. Ternyata mereka sedang doorstop Jokowi.

Wartawan berebutan bertanya dan mengambil gambar serta mengambil audio dari doorstop


Puluhan wartawan dari berbagai media mengerubunginya

Doorstop terus sampai habis pertanyaan atau sampai dia sampai ke mobil. Mana duluan yang lebih dulu.

Setelah Jokowi masuk ke dalam mobil dan pergi, sekejap kemudian selasar menjadi sepi. "Kemana perginya wartawan-wartawan itu?" Tanya gue dalam hati. Padahal rencananya gue pengen JB-JB, kenalan sama mereka. Tapi situasi sudah sangat sepi. Gue melongok ke kiri dan kanan, gue menemukan seseorang sidang melihat gambar di kamera SLR yang dikalungkannya. Nampaknya dia wartawan. Gue pun mendekatinya.

Benar dia adalah seorang wartawan. Namanya Mas Arfi, fotografer dari Liputan 6. Gw berkenalan dengan dia mencoba bertanya-tanya soal Balkot. Rupanya dia bukan wartawan yang mangkal di Balkot, hanya hari itu kebetulan dia sedang ditugaskan di balkot untuk mengambil gambar Jokowi. Kemudian dia membawa saya untuk bertemu wartawan-wartawan yang mangkal di balakot untuk makan siang bareng. Jadi mereka tidak ikut pergi menguntit Jokowi pergi.

Kami makan Siomay kaki lima yang mangkal di belakang Balaikota atau depan DPRD Jakarta. Disana gue kenalan dengan wartawan balkot. Ada Bang Al dari Indonesiarayyanews.com, Bang Bintang (yang ternyata kakak kelas gue waktu SMP dulu) dari Warta Kota, dan dua orang lainnya gue lupa namanya. Setelah itu, sambil menanti kedatangan Jokowi, kita masuk ke gedung balaikota untuk melihat Ahok. Lama menunggu, Ahok tak kunjung keluar dari ruang rapatnya di balaikota. Karena jenuh gue keluar, dan ternyata saat di beranda, gue menemukan mobil Jokowi. Dia sudah pulang ke Balaikota dan melewatkannya. Ah shit man! Harusnya gue stay di beranda aja, daripada di atas tadi. Belajar dari situ, gue pun konsisten stay di beranda.

 Waktu berlalu, siang berganti sore. Matahari pun lenyap berganti awan mendung. Hujan deras mengguyur Jakarta. Jokowi tak kunjung keluar dari kantornya. Pukul tiga sore, pegawai Pemda satu per satu keluar dan nongkrong di beranda. Mereka nongkrong dan berbaur tak ubahnya wartawan. Gue pun menghabiskan waktu dengan ngobrol dengan beberapa wartawan dan pegawai pemda yang nongkrong disana. Isu berhembus, Jokowi akan pulang habis maghgrib. Pukul empat sore, pegawai pemda berhamburan pulang. Tak sampai sepuluh menit parkiran mobil dan motor pegawai balkot telah sepi dari empunya. Jam lima, satu per satu wartawan mulai pulang, mungkin harus setor berita ke kantornya. Sementara beberapa wartawan masih stay disana menanti Jokowi. 

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, gue pun mulai memikirkan, ini sampai jam berapa? Kemudian gue berpikir, kalau gue terlalu malam, gue ga bisa pulang. Angkot di Lebak Bulus untuk jurusan Pamulang lewat dari jam 10an sudah sepi. Sementara untuk mencapai Bulus saja perlu waktu, apalagi hujan deras sepanjang hari, pasti macet total. Kalau gue uda kenal deket sama wartawan Balkot, gue pilih nginep deh, tapi berhubung belum kenal banget, kayaknya gue emang harus segera balik. Toh masih ada hari lain, dan sedikit waktu itu memikirkan rencana yang lebih matang di lain hari ketimbang doorstop. Akhirnya gw putuskan untuk pulang.

Determinasi Pulih

Besoknya, gue ga ke balkot karena ada kelas. Dan bahkan gue memilih untuk pergi nonton Bioskop. Pikiran gue sedang kalut dan stress waktu itu, ini gimana caranya ketemu Jokowi? Masa iya gue gagal? Kemudian di perjalanan pulang, gue mendapatkan kembali semangat gue. Harus gue akuin, sebelumnya gue belum merasa enjoy dengan freelance ini karena bisa dibilang, liputan ini menuntut gue untuk keluar dari zona nyaman gue. Karena praktis setelah usai semester kemarin bisa di bilang gue menjalani gaya hidup liburan! Karena semester ini gue hanya ambil satu mata kuliah sisa dan skripsi yang membuat gue banyak stay dan nyantai di rumah sejak bulan Juni. Gue udah kayak babi aja. Makan, tidur, main. Badan melar, otak ga lagi encer. Skripsi dan bimbingan pun sesuka-sukanya gue mau kerjain kapan. Wah ancur dah gue. Padahal sebelum libur, gue adalah seorang pekerja keras, semua kegiatan mahasiswa, pers kampus, tugas kuliah semua gue handle, gada yang failed dan emang ga boleh failed. Man, gue jadi cemen dalam waktu yang cepat karena terlalu lama berkutat di comfort zone itu.

Namun semua semangat itu tiba-tiba kembali usai gue menumpahkan semua perasaan gue ke Vivi. Setelah itu gue berkata sama diri gue sendiri, "Kata Loe hidup itu harus kerja keras Kris? Gini aja uda takluk Loe? Cemen!" Dan secara magis, tiba-tiba gue mendapatkan semangat gue. Gue yang pekerja keras, gue yang menolak gagal. Determinasi gue pulih. Sesaat setelah itu otak gue dipenuhi oleh berbagai cara yang patut dicoba untuk mengejar Jokowi.

Gue berpikir, kalau cara formal tidak bisa, rasanya halal-halal saja menggunakan cara non-formal untuk mendapatkan wawancara.  Tapi gue masih mau mencoba cara semi-formal dengan cara memberikan surat permohonan secara langsung ke Jokowi, yang gue bikin dengan tulisan tangan sendiri, dimana isinya gue akan curhat tentang semua yang uda gue lakukan untuk mendapatkan wawancaranya. Tidak cuma itu, untuk membedakan gue dengan permintaan wawancara yang lain, gue akan meminta Pak Jokowi untuk menandatangi buku dies natalis 40 tahun Fakultas Kehutanan UGM (Univ. Gadjah Mada). Kaitannya apa? Pakde gue adalah dosen kehutanan UGM, dan doi adalah alumni kehutanan UGM, maka seharusnya ada keterikatan emosional di dalamnya, jadi meningkatkan kesempatan gue untuk mewawancarai dia, juga sebagai hadiah untuk pakde gue yang sudah sebelumnya mengirimkan sejumlah materi soal lingkungan hidup dan kehutanan atas permintaan gue, supaya gue punya sedikit banyak pengetahuan pegangan tentang lingkungan hidup dan kehutanan. Dan besok gue akan pergi ajak Alvin (karena doi bawa motor) agar gue bisa menyusul Jokowi. Itulah taktik gue.
 
Sampai di rumah gue langsung  membuat surat itu, sambil men-charge BB dan kamera gue, agar tidak kehabisan baterei besok harinya. Namun tiba-tiba saja listrik padam. Wuaaah anjriiit betul! di saat gue perlu banget listrik, malah mati. Gue harus tunggu listrik nyala untuk menyelesaikan semuanya, padahal gue perlu tidur cepet supaya besok bisa bangun subuh, karena mau nyuci baju dulu. Untungnya sekitar setengah jam kemudian listrik kembali nyala, dan gue langsung kerjain lagi surat itu. Surat itu kemudian selesai, gue lampirkan dengan surat permohonan wawancara yang asli, surat tugas, dan daftar pertanyaan wawancara lalu gue masukan rapi dalam amplop. Sudah rapi, semua siap, besok tinggal kasih secara langsung kepada Jokowi.

No comments:

Post a Comment