Sunday, July 15, 2012

Menyoal Hakekat Belajar dan Pendidikan



            Dalam buku Sang Nabi karya Kahlil Gibran, dikisahkan seorang cendikiawan bijaksana pintar, laksana lentera pengetahuan, Almustafa namanya, hendak beranjak pergi meninggalkan kota yang didiaminya selama dua belas tahun belakangan. Begitu kaya ia dengan sabda kebijaksanaan, sehingga membuat masyarakat menuntut wejangan darinya sebelum kepergiannya. Usai memberikan wejangan dari beberapa pertanyaan, seorang guru menyelinap maju di tengah kerumunan orang dan bertanya, “Bagaimanakah seluk-beluk memberi pengajaran?” Ia pun menjawab, “Tak seorang pun dapat menanamkan pelajaran kecuali yang mulai terjaga di fajar subur pengetahuan. Bila ia bijaksana, sesungguhnya tiadalah ia memintamu memasuki gudang perbendaharaan kebijaksanaan itu, tapi akan menuntunmu ke depan pintu gerbang penalaran.”
            Kisah itu berakhir. Tapi punya makna mendalam disana. Secara implisit terdapat sebuah ajaran penting yang ingin disampaikan Kahlil Gibran melalui “alter ego”-nya yang bernama Almustafa.
Ajaran itu adalah bahwa kesadaran manusia untuk belajar adalah kunci keberhasilan manusia mendalami ilmu. Pernah lihat orang malas belajar lalu tidak berhasil sekolahnya? Di Indonesia kasus ini sangat biasa terjadi, baik di bangku sekolah dasar sampai bangku pendidikan tinggi. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena orang tersebut tidak mempunyai kesadaran untuk mau belajar. Tidak memiliki kesadaran untuk belajar membuat mereka sulit mendalami ilmu. Apa yang membuat mereka demikian? Mereka miskin motivasi. Belajar adalah soal nilai kuantitatif di atas kertas yang dijadikan dasar pemahaman berperan sebagai pemenuhan tuntutan formalitas hidup era modern, itu anggapan mereka. Jika mereka tidak memperoleh angka yang dijadikan standar kelulusan, maka mereka boleh dibilang, “gagal belajar”. Buntutnya panjang, alhasil para peserta ajar ini menghalalkan segala cara untuk dapatkan nilai diatas standar itu. Mereka yang nilainya berada di atas standar, dianggap pintar atau “sukses belajar”. Proses belajar telah dibakukan dalam sistem kaku yang tak lagi mengedepankan kreatifitas otak untuk berdaya, yang mendewakan nilai dengan standar kelulusan. Belajar seakan-akan menjadi hal yang sia-sia. Belajar untuk peroleh nilai bukan ilmu. Bahkan jika mereka mendapatkan nilai yang bagus, bukan berarti pemahaman akan ilmu mereka bagus kan? Salah total sudah pemahaman akan proses belajar itu. Itu yang membuat mereka tidak semangat belajar, yang berujung pada tidak adanya kesadaran untuk belajar yang berbuntut pada sulitnya mendalami ilmu.
Sebenarnya belajar adalah sebuah cara seseorang mencapai penalaran. Ilmu ada buah dari pengetahuan yang terus uji secara sistematis, logis dan berdasar dari penalaran. Belajar adalah kegiatan mendapatkan pengetahuan, menimba ilmu, lalu menggunakan ilmu itu sesuai kebijaksanaan untuk menjalani hidup.  Itulah esensi dari belajar.
Lalu bagaimana dengan pendidikan? Apa esensi dari pendidikan?
“Intisari dari pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, pengangkatan manusia ke taraf insani,” demikian petikan yang penulis ambil dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Secara lebih jelas, Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses humanisasi (human = manusia, plus imbuhan isasi = proses, membuat jadi. Proses membuat jadi manusia). Jadi menurut pria yang bernama kecil Suwardi Suryaningrat ini, manusia pada awalnya terlahir sama. Nol. Kecil, lemah, hanya bergantung dari orang lain disekitarnya (orang tua, guru, dll). Namun dengan mereka memperoleh pendidikan, mereka menjadi tahu dan mengerti bagaimana bertindak dan menjalani hidup dimana segala tindakan mereka diambil berdasar akal dan hati nurani. Melalui pendidikan itulah kedua hal tersebut bisa berfungsi dengan lebih sempurna. Proses itulah yang membuat manusia menjadi lebih “manusia”.
Pada zamannya, untuk mempermudah pemahaman orang soal yang dimaksud pendidikan, Ki Hajar meringkasnya sebagai cara manusia keluar dari kebodohan. Bagi bangsa yang baru keluar dari belenggu kolonialisme dan imperialise yang berusaha menancapkan kaki di tanah sendiri ini, pendidikan adalah solusi. Coba tengok, melalui enyaman pendidikan, lahir para intelektual yang kelak menjadi bapak-bapak membentuk fondasi bangsa. Kehidupan menjadi membaik. Meminjam istilah dari dunia sosiologi, pendidikan adalah ekskalasi sosial, cara manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Luar biasa sekali bukan pesan dari Almustafa dan Ki Hajar Dewantara? Adalah tugas dan pekerjaan dari seluruh pihak yang mengatasnamakan penyelenggara untuk berefleksi, mengevaluasi diri, apakah sudah mengerti dan menghayati hakekat belajar dan pendidikan? Dengan terlaksananya penyelenggaran pendidikan yang sesuai dengan hakekatnya, besar kemungkinan kesejahteraan dan kemampuan ilmu masyarakat kita lebih maju.

*Pernah diterbitkan di Majalah 9 edisi Mei 2012. Thanks to Viriya Paramita or Jawir buat kesempatan dan barter tulisannya untuk masing2 majalah kita. He-he-he :D

No comments:

Post a Comment