Tuesday, December 7, 2010

Keharmonisan dan Ketaatan yang Luhur
Catatan Perjalanan ke Baduy

Yup! 2 hal itulah yang paling berkesan dari perjalanan gw ke Baduy kemarin. Suasana yang hening, berbaurnya masyarakat dengan alam, membuat kental aroma keharmonisan disana. Ditambah orang-orangnya yang sangat taat pada keluhuran adat, membuat Baduy tempat yang akan selalu gw catat dan gw kenang dalam memori ini.

Sabtu pagi, 4 Desember 2010, jam 9, bersama kelompok matakuliah Sistem Sosial Budaya gw cabut ke Baduy, dalam rangka observasi kebudayaan. Rombongan kelompok gw yaitu Oca, dan Zharfan lalu kedatangan dua orang untuk meramaikan, yaitu Raff dan Sheridan. Ibaratnya sekalian berenang sambil minum air, sekalian studi sambil jalan-jalan traveling.

Kita bergerak ke arah Barat Daya dari Gading Serpong menuju perbukitan Lebak, tempat di mana suku Baduy tinggal. Jalur perjalanan di mulai dari jalan raya Legok, terus bergerak ke Selatan, sampai ke Parung Panjang. Disini kami menjemput Tour Guide kami yang sudah berpengalaman dengan Baduy selama 20 tahun, Pak Eman. Lalu kami bergerak ke Barat Daya, menuju arah Jasinga, lalu Cipanas, Pasar Ganjrug, lalu sampailah di terminal Cibolegeur.

Medan yang dilalui berat banget, lubang dan retak menghambur di setiap sudut jalan yang kami lalui. Untungnya hal itu tertutupi oleh suguhan indah yang dipamerkan alam berupa barisan bukit yang teratur beserta bentaran hijau hutan dan sawah di sepanjang jalan. Ditambah canda dan gurauan dari teman-teman cukup membuat gw melupakan kekecewaan kepada Pemda Jawa Barat yang terkesan tidak peduli pada jalur transportasi pariwisatanya yang termahsyur ini.

Setelah menempuh perjalanan selama 4 jam dengan sebuah mobil yang sengaja kami sewa, akhirnya kami sampai juga di Cibolegeur, terminal sebelum masuk ke Baduy. Sial bagi kami, sesampainya disana hujan mengguyur deras, sehingga kami dengan "terpaksa" membawa tangan ini mengambil sejumput uang dari saku untuk membeli jas hujan. Bila tidak, habislah dalam basah tas dan barang perlengkapan di dalamnya. Sambil menunggu hujan reda, sekalian untuk membungkam keroncongan yang telah lama berbunyi di perut, kami putuskan untuk berteduh di sebuah warteg sambil menyantap hidangan di dalamnya. Setelah menyelesaikan makan siang ala warteg di tambah seporsi Indomie rebus, kami putuskan untuk tetap jalan walau hujan, karena naga-naganya sih, nih hujan bakal sampai malam.

Kita mulai berjalan menuju kampung Baduy. Berpakaian lengkap dengan jas hujan, kita melalui jalan setapak di tengah hutan belantara, jalanan penuh alang-alang, jalan terjal batu berlumpur, licin dibasahi air hujan. Dipandu dengan setia oleh Pak Eman, akhirnya kami berhasil menyelesaikan perjalanan sejauh 2 kilometer, dalam waktu satu jam. Kami cukup lega karena sudah sampai di tujuan dengan selamat. Namun dengan segera kelegaan itu berganti dengan takjub, setelah mendengar bahwa biasanya orang Baduy menempuh jalur itu hanya dalam waktu 15-20 menit. What the??? Nampak sekali mereka punya banyak waktu buat berlatih berjalan di jalur seperti itu *ya iyalah! the spent all of their live in that place gitu!!!

Sedikit rasa sesal dari gw pribadi karena ternyata gw hanya akan singgah di sebuah desa terluar Baduy Luar which is terdekat dengan luar Baduy. Rasanya nanggung banget, pengen banget gw langsung sikat tambahan perjalanan 7 kilometer lagi untuk masuk ke Cibeo, salah satu desa terbesar di Baduy Dalam. Sedikitnya waktu menginap kami, tidak memungkinkan kami melanjutkan perjalanan ke Cibeo. Namun dengan segera, Marengo, nama desa tempat gw singgah, langsung menawarkan obat rasa kekecawaan gw, yaitu keindahan alamnya. Terletak di pinggir sungai dan di bawah kaki bukit, ditambah keserasian kehidupan penduduk dengan alamnya, sudah lebih dari cukup keindahan yang ditawarkan.


Suasana Desa Marengo


Bersama petualang sejati Bank Raff Beding


Kang Sangsang adalah orang Baduy Dalam yang sengaja dipanggil Pak Eman *buset jago juga nih orang bisa manggil orang Dalam. haha* dengan setia menemani dan menjawab segala pertanyaan kami dalam rangka observasi kebudayaan Baduy. Duduk di pelataran rumah Pak Ndut, nama pemilik rumah yang kami singgahi, ditemani secangkir kopi hangat, kami berbincang dengan Kang Sangsang sambil menikmati syahdu senja kala hujan mulai mereda. Satu hal yang gw catat baik-baik, orang Baduy sangat setia dan taat dalam menjaga kemurnian adatnya. Memang benar ada satu dua orang yang telah mulai tergoda modernisasi, tapi terlepas dari itu, patut diberikan acungan jempol bahwa masih ada penduduk kampung yang masih dengan setia menjalankan adat dengan luhur. Luar biasa!

Tak lama kemudian datang sejumlah pedagang menjajalkan dagangannya. Wah ajaib banget! Gw bener-bener laper mata saat itu, barang2 yang dijajalkan semuanya asyik banget! Rasanya pengen gw beli semua! Mulai dari tas, gelang, gantungan kunci, kaos, semuanya unik-unik! Iman sih kuat tapi Imin? Beuh...Akhirnya setelah bertarung dengan sengit, Iman berhasil mengalahkan Imin dalam pertarungan napsu belanja. Alhasil gw "hanya" membeli sejumlah gelang untuk oleh2, sepotong kaos, dan gantungan kunci *itu mah bukan "hanya" tapi borong! hahaha. Raf juga membeli sepotong kain tenun Baduy berwarna biru yang indah nian motif dan coraknya itu. Ah andai gw bawa sedikit lebih banyak uang, gw sabet juga dah tuh kain. hahaha #curhatcolongan

Matahari pun tenggelam, gelap mulai menghambur di angkasa. Gelap! Benar-benar gelap! Baduy adalah kampung tanpa listrik. Malam hari ini, hanya senter yang kami bawa dan lilin, yang menerangi kami.

Malam yang sejuk ditemani dengan makan malam yang jujur, menurut gw pribadi, sangat mewah, yaitu nasi plus mie goreng ditambah taburan abon sapi yang gw bawa, dilengkapi dengan ikan asin. Beuh! Nampol enak banget! Gw aja sampe nambah dua kali! Lalu pencernaan makanan dibantu hanyutkan oleh segelas air segar dari sumur kampung Marengo.


Candle Light Dinner di Baduy

Kembali kami larut dalam percakapan tentang apa saja dan bagaimana kebudayaan Baduy, bersama Kang Sangsang dan Pak Eman. Kembali gw dihadapkan pada rasa kagum saya terhadap kesetiaan mereka dalam menjaga adat mereka di tengah derasnya godaan kenikmatan, kemudahan, yang ditawarkan dunia modern. Kembali gw ucapkan: Luar biasa! Suasana malam yang hening menawarkan sejuta pesona ketenangan buat gw, termasuk kemudahan gw untuk beristirahat *dibaca: tidur! hahaha

Di tengah malam, entah pukul berapa, gw terbangun oleh panggilan alam untuk ke belakang. Sedang letak toilet cukup jauh berada di belakang, di pinggir sungai. Malam gelap gulita, tak ada lagi sebatang lilinpun yang menyala. Namun justru itulah tantangannya. Gw bangkit berdiri mengambil senter, memakai sandal dan berangkat ke WC. Saat itu gelap! gelapnya luar biasa! Awalnya keperkasaan gelap yang mengelilingi gw ini cukup membuat gentar, tapi dengan segera berubah menjadi kagum, karena sejenak gw menutup mata, bukan seram lagi yang gw rasa, tapi pesona yang dipamerkan keharmonisan alam yang gw rasakan. Gw bisa mendengar paduan nyanyian belalang dan serangga lainnya. Gw merasakan lembabnya kabut habis hujan yang menyentuh pori-pori kulit gw. Takjub! itulah rasanya. Gw pun mulai berjalan perlahan, memperhatikan langkah menuju WC. What a night!

Pagi hari, masih dengan dipenuhi rasa takjub gw, kami bersiap dan kemudian berangkat menuju Gajebo (nama sebuah tempat) begitulah mereka menyebutnya. Kembali kami menerjang hutan, namun kali ini ditambah menyusuri pinggir kali. Lalu kami melewati sebuah jembatan bambu yang telah berdiri ratusan tahun disitu. Lalu kami naik ke atas bukit untuk melihat pemandangan kampung dari atas bukit.


Mendaki bukit terjal


Menerjang alang-alang di atas bukit

Hujan yang kembali turun, memaksa kami untuk kembali ke Marengo. Namun di tengah jalan, kami berteduh dulu di Gajebo, karena hujan sudah agak lebat. Terlena dengan sejuknya udara, dan atmosfer yang bersahaja, gw pun terlelap dalam tidur singkat saat sedang ngelekar di sebuah beranda. Hal senada juga gw lakukan setelah kembali sampai di rumah Pak Ndut, sungguh nikmatnya tidur di Baduy! hahaha.

Namun sebelum itu kami kembali disajikan sebuah pemandangan yang menarik, kali ini dari kegiatan antar penduduk. Mereka bahu membahu, gotong royong, saat salah seorang warga sedang ingin membangun rumah.

Waktu memaksa kita untuk undur dari. Setelah selesai berkemas, kami kembali pulang ke Cibolegeur. Perjalanan pulang memakan waktu lebih lama, mungkin karena beberapa teman sudah kelelahan dan sudah tidak sesemangat saat berangkat. Lagipula medannya cukup licin dihajar hujan.


Menerjang sungai

Setelah mengucapkan kata perpisahan dengan Kang Sangsang dan selesai mnghabiskan makan siang, kami akhirnya berlalu pulang ke Jakarta. Di dalam hati gw berjanji, suatu ketika gw akan kembali lagi kesini, dan gw akan masuk ke Cibeo (Baduy Dalam) kalau perlu sampai ke Cikeusik, desa terdalam yang konon medannya sangat terjal dan banyak binatangnya, yang bahkan Pak Eman pun belum pernah mengunjunginya. Fiuhh...Godbless Me Please! :D

Di perjalanan pulang tak kalah menarik, kami sibuk bercerita tentang baru saja apa yang kami lalui kemarin. Ditambah dengan lempar melempar candaan, membuat suasana segar terjaga. Sampai di Gading Serpong pukul 6 sore, namun gw sendiri harus kembali melanjutkan perjalanan sejauh 20 kilo lagi untuk mencapai my home sweet home Pamulang. Ditemani sobat baik gw, Raff, kita hajar 2 kali angkot dan akhirnya sampai juga di rumah! hahaha

Banyak hal yang gw dapat disana. Yang pertama adalah hidup harmonis, baik itu dengan alam ataupun antar sesama penduduk kampung. Mereka membuat rumah dengan materi yang diberikan alam, bahkan mereka sukses memodifikasi fungsi daun pisang menjadi payung saat hujan. Mereka telah menyatu dengan alam. Nafas mereka merupakan hembusan alam. Denyut mereka merupakan getaran alam. Lebih lanjut gw mengaggumi ketaatan yang mereka yang luar biasa terhadap adat. Jaman seperti sekarang ini, jarang sekali ada masyarakat yang masih dengan setia menjaga adatnya. Jaman dimana kemudahan dan kenikmatan hidup menggoda dimana-mana, mereka masih dengan setia dengan luhur menghayati seluruh adat mereka. Nice gan!

Akhir kata, Baduy, kampung penuh keharmonisan dan ketaatan yang luhur

No comments:

Post a Comment