Thursday, August 28, 2014

Genderang Perang Bernama MEA

Namanya Soedirman. Meskipun penyakit Tuberkulosis menggerogoti tubuhnya, ia terus memimpin pasukannya mengusir penjajah. Perkenalkan namanya Thomas Matulessy atau lebih akrab dipanggil Kapitan Pattimura. Bersama pasukannya, ia berhasil menghancurkan benteng pertahanan Belanda, Benteng Duurstede. Dari ujung Barat Indonesia, kita mengenal Cut Nyak Dien, yang berjuang melawan Belanda sampai akhir hayatnya. Tak terhitung juga pahlawan lainnya yang rela pertaruhkan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia.
Bertahun-tahun yang lalu para pejuang gugur demi dalam peperangan mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Bagaimana dengan kita saat ini?
Seperti yang kita ketahui bersama, tahun depan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kesepakatan tersebut menandai pasar bebas di kawasan Asia Tenggara. Implikasinya, akan terjadi kebebasan perdagangan dan arus pertukaran tenaga kerja di Asia Tenggara. Artinya barang-barang impor dan tenaga kerja asing bakal lebih bebas masuk. Namun juga sebaliknya barang-barang produksi dan tenaga kerja dalam negeri juga bisa lebih mudah keluar ke negara-negara Asia Tenggara.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta orang dan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen per tahun merupakan pasar yang sangat potensial, baik untuk pelaku usaha dalam maupun luar neger. Kesepakatan MEA ini ibarat pisau bermata dua. Apabila kita bisa mempersiapkan diri dengan baik, Indonesia bisa menjadi rajanya Asia Tenggara di bidang ekonomi. Barang-barang produksi dan tenaga kerja Indonesia bisa tersebar di seluruh negara Asia Tenggara. Namun sebaliknya, apabila kita tidak mempersiapkan diri dengan baik, Indonesia bakal kembali "terjajah" dengan gempuran barang-barang impor, tenaga kerja dan berbagai kepentingan pihak asing. Agaknya tidak berlebihan jika MEA disebut sebagai "perang" untuk generasi saat ini.

Pertanyaannya, apakah Indonesia, khususnya sektor Industri sudah siap menghadapi MEA?
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, baru sekitar 31% dari total sektor industri manufaktur yang memiliki daya saing pada masyarakat ekonomi Asean yang akan dimulai akhir tahun depan.

MS Hidayat, Menteri Perindustrian mengatakan bahwa daya saing industri manufaktur nasional dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) baru mencapai 31%. Angka tersebut diperoleh dari 3.998 pos tarif yang terdiri dari berbagai sektor industri manufaktur, baru 1.250 pos tarif atau 31,26% sektor industri yang dinyatakan siap menghadapi MEA. "Sisanya masuk dalam kategori rendah, dan diperkirakan bakal mengalami kesulitan saat MEA dilaksanakan," ujar Harjanto, Direktur Basis Industri Manufaktur Kemenperin..

Ia menjelaskan penghitungan daya saing itu dilakukan dengan menghitung nilai ekspor, impor dan penghitungan indeks dan tren dari Revealed Competitive Advantage (RCA). Setelah menghitungnya, Kemenperin melakukan pemetaan pos tarif sektor industri manufaktur tersebut dalam empat kelompok yaitu sektor industri kelompok K1, K2, K3, K4.

Kelompok K1 memiliki nilai paling tinggi. Adapun indikatornya adalah memiliki ekspor di atas US$ 10 juta dan impor di bawah US$ 5 juta dan memiliki indeks dan tren RCA positif. Sementara kelompok K2, memiliki indikator yang serupa dengan kelompok K1, namun memiliki tren RCA yang negatif. Sektor industri yang tergolong K1 dan K2 adalah industri logam, karet, tekstil, makanan dan minuman, serta otomotif.

Adapun untuk kelompok K3 adalah kelompok industri yang memiliki nilai ekspor dibawah US$ 10 juta dan impor diatas US$ 5 juta, dengan indeks RCA negatif namim tren RCA postif. Sementara itu untuk kelompok K4 adalah kelompok industri yang nilai ekspornya di bawah US$ 10 juta, dan impor di atas US$ 5 juta, serta memiliki indeks serta tren RCA yang negatif. Sektor industri yang masuk dalam kategori K3 dan K4 adalah industri semen, industri keramik dan industri pakaian jadi.

Hidayat mengatakan berdasarkan perhitungan tersebut pihaknya akan memilah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ofensif dan kelompok defensif. "Kelompok industri yang tergolong ofensif adalah kelompok industri yang kami andalkan untuk ekspansi dan rebut pasar luar negeri. Sedangkan kelompok industri defensif adalah kelompok industri yang kami andalkan untuk pertahankan pasar dalam negeri," terang Hidayat.

Kelompok industri yang tergolong ofensif adalah industri logam, karet, tekstil, makanan dan minuman, serta otomotif. Sedangkan kelompok industri yang defensif adalah industri garmen, alas kaki, semen dan keramik.

Suryo Bambang Sulisto, Ketuam Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia mengatakan salah satu cara untuk menjaga Indonesia agar tidak digempur produk negara lain adalah dengan menerapkan dan menggalakkan standar nasional Indonesia (SNI).

Achmad Widjaya, Vice Chariman Committee on Standardization and Quality Kadin Indonesia, mengatakan bahwa makanan dan minuman ini paling gampang diserang isu soal standarisasinya. Selain itu pihaknya juga mengatakan setelah industri makanan minuman, sektor yang perlu segera ditetapkan standarisasinya adalah industri keramik dan kaca. Achmad menjelaskan produk dalam negeri dari dua sektor industri ini ketat persaingannya dengan produk dari luar negeri. "Pesaing terkuat datang dari China, ancaman terdekat datang dari Vietnam," ujar Achmad.

Berdasarkan data World Bank, kekuatan ekonomi Indonesia berada di peringkat 16 di dunia dan terbesar di antara negara ASEAN. Kontribusi PDB Indonesia mencapai 38,67% dari total PDB negara ASEAN. Namun di sisi lain, tahun ini peringkat daya saing Indonesia di posisi 38 di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia di nomor 120, jauh di bawah Vietnam. Rendahnya daya saing bisa mengakibatkan Indonesia hanya menjadi tujuan pasar bagi negara tetangga.

Franky Sibarani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia mengatakan bahwa pada dasarnya industri manufaktur Indonesia memang tidak terlalu kuat. Pasalnya industri ini masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu adalah masih tingginya ketergantung industri dengan bahan baku impor, mahalnya biaya energi, mahalnya biaya logistik, mahalnya bunga bank untuk pendanaan, serta masalah pengupahan dan ketenagakerjaan. "Meskipun itu bukan indikator satu-satunya soal daya saing, tapi saya kira masalah-masalah inilah yang menghambat pertumbuhan daya saing industri," ujar Franky pada Minggu (6/7). Selain itu ia mengatakan ada kesan dari pemerintah tidak solid mempersiapkan Indonesia menghadapi MEA, dan ada kesan bahwa pemerintah menelantarkan pengusaha berjuang sendiri menghadapi MEA.
Ia mengatakan alih-alih ada wacana membatalkan MEA, Indonesia justru harus segera membenahi diri untuk meningkatkan daya saing. "Sulit untuk membatalkan MEA," ujar Franky. Untuk bisa mengejar daya saing Franky mengatakan pemerintah yang mendatang harus bisa membenahi hal-hal tersebut. "Dorong kebijakkan untuk kepastian bahan baku, biaya logistik murah, beban energi murah, dan bunga bank yang murah," ujar Franky

Hidayat mengatakan bahwa daya saing industri merupakan pekerjaan yang harus terus menerus ditingkatkan. Ia mengatakan bahwa dalam Undang-Undang No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian adalah dasar persiapan Indonesia untuk sektor industri hingga 20 tahun ke depan. "Jadi kalau undang-undang itu bisa dijalankan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah turunan UU itu, itu adalah roadmap industri nasional yang untuk 20 tahun ke depan. Itu menjadi semacam GBHN [Garis Besar Haluan Negara] di bidang industri," ujar Hidayat. 

Siap tidak siap, Indonesia bakal memasuk medan peperangan bersama negara Asia Tenggara lainnya dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Indonesia harus bergegas berlari mempersiapkan diri agar keluar sebagai pemenang dalam 'peperangan' era kini.
 
---------------------------------------------------------------------------------------
Naskah asli berita yang kukirimkan ke kantorku untuk terbit 26 Agustus 2014

No comments:

Post a Comment