Thursday, August 4, 2011

20

Helo 20! Heal yeah, sekarang angka dua telah masuk menyeruduk di bilangan usia gw. Usia yg bisa dibilang menuntut kematangan lebih namun juga masih adiksi dengan kesenangan.

Well, as usual, dan mungkin tema ini basi banget, tapi merupakan suatu kebutuhan dan keharusan menurut gw ketika usia lw nambah satu tahun, bukan pesta atau hura-hura yang menjadi kewajiban (yah itu boleh-boleh aja sih, manusiawilah orang mau merayakan hari spesialnya), namun menilik balik apa saja yg telah dilakukannya untuk jadi bekal berharga kedepannya.

Satu tahun berusia 19, satu hal yang buruk yg terpampang dalam kepala saya : Egois. Saya pribadi yang unik, satu hal itulah yang saya genggam betul saat identifikasi diri kepada diri sendiri. Akibatnya saya menjadi pribadi yang sulit dimengerti orang lain, itulah persepsi saya mengenai bagaimana orang mempersepsikan saya. Gejala ini mungkin berpangkal pada suatu sifat laknat namun manusiawi bernama egois. Namun diri saya yang lain memberikan amnesty bahwa semua ini hanya karena saya hanya ingin menjadi diri saya sendiri.

Akibatnya saya (lagi-lagi persepsi saya atas bagaimana mereka mempersepsikan saya) merasa banyak mengecewakan banyak orang. Orang tua, sahabat, teman, rekan. Saya merasa sering “meninggalkan” mereka saat “ego” saya ini kumat. Semua, meninggalkan dalam arti literally ataupun “meninggalkan” dalam perihal yang dibawah naungan tanda kutip. Senyum saya genuine, tawa saya, tindakan saya semua genuine. Saya tidak pernah menjadi sosok yg level relasinya hanya untuk transaksional, karena saya melakukan relasi dengan hati. Namun saya hanya terkadang, egois seenaknya saya, sehingga saya menjadi pribadi yang sulit dimengerti. Tidak hanya dengan kalian, juga dengan banyak orang saya merasa kurang mampu menjaga relasi baik. Padahal saya sama sekali tidak punya itikad buruk untuk merusak relasi.

Ke depannya, tentu saja saya ingin menjadi yang lebih baik. Abstrak dan luas memang, bahkan terdengar klise, namun ketimbang menuliskan perihal kongkrit saya takut malah akan kecewa sendiri bila tak tergapai nantinya, pula saya akan malu karena teah tertulis di blog ini. Namun dalam benak, pun saya telah memiliki grand design dan target2 yg ingin saya capai. Godbless!

Saya cinta kalian semua :D

Definisi

Ketika suatu sirkumstansi tak lagi jernih, ambivalensi menyeruak dan menyerebak ke seluruh jajaran pengetahuan, maka adalah suatu kebutuhan yang urgensi untuk membuat suatu definisi. Definitio, sebuah kata serapan dari bahasa Latin yang artinya batas. Suatu pagar untuk melingkupi ide agar tidak melenceng. Uniknya, kata ini menjulang ke permukaan bukan melulu untuk menunaikan tugasnya membuat suatu pengertian, tapi juga merupakan penegasan atas suatu ketidaktahuan atas suatu situasi. Tentu saja hal ini merupakan jawaban atas urgensitas sirkumstansi ini. Namun yang dirasa ada di balik definisi itu, sudah tidak perlu diragukan lagi. Dirasa pula kedua individu telah mengangguk setuju walau tanpa yuridis definisi itu. Kebutuhan urgensi atas definisi itu diperlukan untuk menunaikan ketidakpastian yang pasti dirasa jalinan antar individu tersebut. Tinggal tugas individu tersebut melontarkan sabda, maka definisi akan sirkumstansi itu akan tercipta.

Monday, July 11, 2011

answer?

"....kita tuh keluarga. Lw taulah ga mungkin selamanya adem ayem" andy - catatan si boy

"...satrio itu berani keluar dr comfort zone, berani memulai dan mnyelesaikannya.." boy - catatan harian si boy

Sunday, July 3, 2011

quo vadis status quo?

Katakanlah ada dua individu dimana proksemik keduanya tidak bisa lagi dikatakan jarak sosial / umum. Hapstik kadangkala mewarnai kebersamaan mereka. Dialog mereka pun tidak bisa lagi dikatakan "biasa saja". Tahapan ini hanya perlu melepas sabda saja, maka semua terikat. Kelihatannya demikian.

Namun ada arbitrasi yg belum dan sangat sulit bahkan kalau boleh dibilang jauh dari kemungkinan akan terpenuhi. Arbitrasi yg tidak bisa diganggu gugat karena diluar kuasa individu tersebut untuk memilih. Yah dari individu tersebut memang ada sedikit pengaruh arbitrasi itu, namun kelihatannya individu yang satunya lagi sudah sedikit banyak berhasil "menegosiasikan" dengan sejumlah tindakan yang bisa dibilang, "class of action". Sedangkan apabila arbitrasi yg satu itu dilanggar, akan muncul konflik yg bisa menyakiti banyak pihak. Arbitrasi yg kolot sebenarnya, namun memang demikian, karena pengaruh sosiologis kebudayaan di Indonesia.

Arbitrasi yg juga sejak dulu dijadikan acuan individu itu, namun sudah berhasil dilunakkan oleh individu lainnya. Namun ada individu lain yg mengecam dengan tidak merestui, karena arbitrasi ini. Bayangkan potensi konflik ini.