Thursday, August 28, 2014

Genderang Perang Bernama MEA

Namanya Soedirman. Meskipun penyakit Tuberkulosis menggerogoti tubuhnya, ia terus memimpin pasukannya mengusir penjajah. Perkenalkan namanya Thomas Matulessy atau lebih akrab dipanggil Kapitan Pattimura. Bersama pasukannya, ia berhasil menghancurkan benteng pertahanan Belanda, Benteng Duurstede. Dari ujung Barat Indonesia, kita mengenal Cut Nyak Dien, yang berjuang melawan Belanda sampai akhir hayatnya. Tak terhitung juga pahlawan lainnya yang rela pertaruhkan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia.
Bertahun-tahun yang lalu para pejuang gugur demi dalam peperangan mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Bagaimana dengan kita saat ini?
Seperti yang kita ketahui bersama, tahun depan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kesepakatan tersebut menandai pasar bebas di kawasan Asia Tenggara. Implikasinya, akan terjadi kebebasan perdagangan dan arus pertukaran tenaga kerja di Asia Tenggara. Artinya barang-barang impor dan tenaga kerja asing bakal lebih bebas masuk. Namun juga sebaliknya barang-barang produksi dan tenaga kerja dalam negeri juga bisa lebih mudah keluar ke negara-negara Asia Tenggara.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta orang dan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen per tahun merupakan pasar yang sangat potensial, baik untuk pelaku usaha dalam maupun luar neger. Kesepakatan MEA ini ibarat pisau bermata dua. Apabila kita bisa mempersiapkan diri dengan baik, Indonesia bisa menjadi rajanya Asia Tenggara di bidang ekonomi. Barang-barang produksi dan tenaga kerja Indonesia bisa tersebar di seluruh negara Asia Tenggara. Namun sebaliknya, apabila kita tidak mempersiapkan diri dengan baik, Indonesia bakal kembali "terjajah" dengan gempuran barang-barang impor, tenaga kerja dan berbagai kepentingan pihak asing. Agaknya tidak berlebihan jika MEA disebut sebagai "perang" untuk generasi saat ini.

Pertanyaannya, apakah Indonesia, khususnya sektor Industri sudah siap menghadapi MEA?
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, baru sekitar 31% dari total sektor industri manufaktur yang memiliki daya saing pada masyarakat ekonomi Asean yang akan dimulai akhir tahun depan.

MS Hidayat, Menteri Perindustrian mengatakan bahwa daya saing industri manufaktur nasional dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) baru mencapai 31%. Angka tersebut diperoleh dari 3.998 pos tarif yang terdiri dari berbagai sektor industri manufaktur, baru 1.250 pos tarif atau 31,26% sektor industri yang dinyatakan siap menghadapi MEA. "Sisanya masuk dalam kategori rendah, dan diperkirakan bakal mengalami kesulitan saat MEA dilaksanakan," ujar Harjanto, Direktur Basis Industri Manufaktur Kemenperin..

Ia menjelaskan penghitungan daya saing itu dilakukan dengan menghitung nilai ekspor, impor dan penghitungan indeks dan tren dari Revealed Competitive Advantage (RCA). Setelah menghitungnya, Kemenperin melakukan pemetaan pos tarif sektor industri manufaktur tersebut dalam empat kelompok yaitu sektor industri kelompok K1, K2, K3, K4.

Kelompok K1 memiliki nilai paling tinggi. Adapun indikatornya adalah memiliki ekspor di atas US$ 10 juta dan impor di bawah US$ 5 juta dan memiliki indeks dan tren RCA positif. Sementara kelompok K2, memiliki indikator yang serupa dengan kelompok K1, namun memiliki tren RCA yang negatif. Sektor industri yang tergolong K1 dan K2 adalah industri logam, karet, tekstil, makanan dan minuman, serta otomotif.

Adapun untuk kelompok K3 adalah kelompok industri yang memiliki nilai ekspor dibawah US$ 10 juta dan impor diatas US$ 5 juta, dengan indeks RCA negatif namim tren RCA postif. Sementara itu untuk kelompok K4 adalah kelompok industri yang nilai ekspornya di bawah US$ 10 juta, dan impor di atas US$ 5 juta, serta memiliki indeks serta tren RCA yang negatif. Sektor industri yang masuk dalam kategori K3 dan K4 adalah industri semen, industri keramik dan industri pakaian jadi.

Hidayat mengatakan berdasarkan perhitungan tersebut pihaknya akan memilah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ofensif dan kelompok defensif. "Kelompok industri yang tergolong ofensif adalah kelompok industri yang kami andalkan untuk ekspansi dan rebut pasar luar negeri. Sedangkan kelompok industri defensif adalah kelompok industri yang kami andalkan untuk pertahankan pasar dalam negeri," terang Hidayat.

Kelompok industri yang tergolong ofensif adalah industri logam, karet, tekstil, makanan dan minuman, serta otomotif. Sedangkan kelompok industri yang defensif adalah industri garmen, alas kaki, semen dan keramik.

Suryo Bambang Sulisto, Ketuam Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia mengatakan salah satu cara untuk menjaga Indonesia agar tidak digempur produk negara lain adalah dengan menerapkan dan menggalakkan standar nasional Indonesia (SNI).

Achmad Widjaya, Vice Chariman Committee on Standardization and Quality Kadin Indonesia, mengatakan bahwa makanan dan minuman ini paling gampang diserang isu soal standarisasinya. Selain itu pihaknya juga mengatakan setelah industri makanan minuman, sektor yang perlu segera ditetapkan standarisasinya adalah industri keramik dan kaca. Achmad menjelaskan produk dalam negeri dari dua sektor industri ini ketat persaingannya dengan produk dari luar negeri. "Pesaing terkuat datang dari China, ancaman terdekat datang dari Vietnam," ujar Achmad.

Berdasarkan data World Bank, kekuatan ekonomi Indonesia berada di peringkat 16 di dunia dan terbesar di antara negara ASEAN. Kontribusi PDB Indonesia mencapai 38,67% dari total PDB negara ASEAN. Namun di sisi lain, tahun ini peringkat daya saing Indonesia di posisi 38 di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia di nomor 120, jauh di bawah Vietnam. Rendahnya daya saing bisa mengakibatkan Indonesia hanya menjadi tujuan pasar bagi negara tetangga.

Franky Sibarani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia mengatakan bahwa pada dasarnya industri manufaktur Indonesia memang tidak terlalu kuat. Pasalnya industri ini masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu adalah masih tingginya ketergantung industri dengan bahan baku impor, mahalnya biaya energi, mahalnya biaya logistik, mahalnya bunga bank untuk pendanaan, serta masalah pengupahan dan ketenagakerjaan. "Meskipun itu bukan indikator satu-satunya soal daya saing, tapi saya kira masalah-masalah inilah yang menghambat pertumbuhan daya saing industri," ujar Franky pada Minggu (6/7). Selain itu ia mengatakan ada kesan dari pemerintah tidak solid mempersiapkan Indonesia menghadapi MEA, dan ada kesan bahwa pemerintah menelantarkan pengusaha berjuang sendiri menghadapi MEA.
Ia mengatakan alih-alih ada wacana membatalkan MEA, Indonesia justru harus segera membenahi diri untuk meningkatkan daya saing. "Sulit untuk membatalkan MEA," ujar Franky. Untuk bisa mengejar daya saing Franky mengatakan pemerintah yang mendatang harus bisa membenahi hal-hal tersebut. "Dorong kebijakkan untuk kepastian bahan baku, biaya logistik murah, beban energi murah, dan bunga bank yang murah," ujar Franky

Hidayat mengatakan bahwa daya saing industri merupakan pekerjaan yang harus terus menerus ditingkatkan. Ia mengatakan bahwa dalam Undang-Undang No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian adalah dasar persiapan Indonesia untuk sektor industri hingga 20 tahun ke depan. "Jadi kalau undang-undang itu bisa dijalankan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah turunan UU itu, itu adalah roadmap industri nasional yang untuk 20 tahun ke depan. Itu menjadi semacam GBHN [Garis Besar Haluan Negara] di bidang industri," ujar Hidayat. 

Siap tidak siap, Indonesia bakal memasuk medan peperangan bersama negara Asia Tenggara lainnya dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Indonesia harus bergegas berlari mempersiapkan diri agar keluar sebagai pemenang dalam 'peperangan' era kini.
 
---------------------------------------------------------------------------------------
Naskah asli berita yang kukirimkan ke kantorku untuk terbit 26 Agustus 2014

Jalan Panjang Menuju Kemandirian Industri



"Proklamasi. Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta 17 agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno Hatta."

Demikian presiden pertama Indonesia, Soekarno, menghembuskan sabda proklamasi ke bumi Indonesia. Proklamasi kemerdekaan merupakan sebuah pernyataan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka, bebas dari segala penjajahan. Apakah betul demikian kenyataannya setelah 69 tahun berselang?

Mari kita temui Bayu (28) karyawan swasta ini, pada akhir pekan kemarin, mengunjungi sebuah gerai ritel modern penjualan telpon genggam. Di rak pajangan produk, tampil berdampingan produk ponsel dalam negeri dan ponsel produk luar negeri yang diimpor dari luar. Tak butuh waktu lama, dia mengambil sebuah ponsel produk luar tersebut.

"Lebih bergengsi kan kalau dipakai dan dilihat orang," ujar Bayu. Padahal fitur ponsel lokal dan ponsel luar negeri itu tidak jauh berbeda. Harga jual yang ditawarkan pun cukup bersaing.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, jumlah ponsel impor di Indonesia pada 2013 sebesar 62,03 juta unit. Budi Darmadi, Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian mengatakan bahwa jumlah impor ponsel itu mengisi 90%-95% kebutuhan ponsel dalam negeri. Sisa 'kue' penjualan ponsel itu diperebutkan oleh sekitar lima pabrikan ponsel dalam negeri. Adapun sejak awal tahun ini hingga semester pertama berakhir, impor ponsel di Indonesia mencapai 27,33 juta unit.

Menanggapi soal ini pemerintah sudah melakukan langkah seperti pemberdayaan dan peningkatan kapasitas produksi ponsel dalam negeri, mengundang investor asing untuk membuka pabrikan ponsel mereka di Indonesia agar menekan impor ponsel dan membuka lapangan pekerjaan, sampai dengan wacana pemberlakuan wacana pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk ponsel guna menakan ponsel. Khusus untuk usaha pemerintah yang terakhir itu, berdasarkan pengalaman 4-5 tahun lalu ketika PPnBM dikenakan untuk ponsel, alih-alih mampu tekan impor, malah Indonesia kebanjiran ponsel ilegal. Walhasil impor ponsel masih merajai Indonesia.
Mari kita tengok sektor industri lain. Industri seng alumunium juga merasakan hal serupa soal gempuran produk impor di Indonesia. Berdasarkan data dari Zinc Alumunium Steel Industries (IZASI) kebutuhan seng alumunium dalam negeri tahun 2013 adalah 500.000 ton.
Sementara pada 2013, impor seng alumunium adalah sebesar 321.065 ton. Angka tersebut setara dengan 64,21% dari total permintaan dalam negeri. Adapun negara importir berasal dari Vietnam, dan Taiwan. Pangkal persoalannya adalah di negara-negara importir pasarnya sudah jenuh, sehingga mereka mengimpor ke Indonesia dengan harga lebih murah daripada produk dalam negeri.

Padahal jika ditilik dari kapasitas produksi seng alumunium dalam negeri, sudah cukup untuk penuhi kebutuhan dalam negeri. Kapasitas produksi dalam negeri untuk seng alumunium adalah 560.000 ton per tahun. Namun utilitas industri hanya 30%-40%. Industri tidak bisa memproduksi lebih tinggi lagi, karena tidak ada pasar yang menyerap. Izasi sendiri sudah mengusulkan kepada pemerintah mengenai pembatasan impor sejak Desember 2012, namun sampai saat ini beleid itu belum juga terlaksana.

Catatan saja, seng alumunium adalah industri perantara dalam industri baja. Adapun produksi seng alumunium itu akan digunakan untuk jadi atap rumah, dan kebutuhan bahan bangunan lainnya.

Industri ponsel, dan industri seng alumunium, hanya salah sedikit gambaran mencolok dimana produk dalam negeri masih kalah bersaing dengan produk impor. Sektor-sektor industri lain juga mengalami nasib yang tidak berbeda. Produk dalam negeri terus digempur produk-produk impor.

Namun kita juga tidak boleh tutup mata pada industri yang mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Misalkan industri alas kaki dalam negeri, yang mampu menekan impor hanya 3%-4% dari total pasar alas kaki Indonesia.

Lalu apakah artinya Indonesia belum mampu mengeluarkan produk yang dipakai dalam negeri? Jawabannya sudah dan banyak. Tapi permasalahannya, bahan baku industri manufaktur untuk menciptakan produk dalam negeri Indonesia masih bergantung pada impor juga.

Kebutuhan bahan baku yang berasal dari impor mendera mulai dari hulu sampai hilir berbagai sektor industri. Sebagai contoh industri petrokimia misalnya, bahan baku di industri kimia dasar seperti naphta, sebesar 80%-100% masih mengimpor. Padahal hasil olahan petrokimia dapat menjadi bahan baku industri plastik dan kemasan, industri pemintalan benang yang berujung pada garmen, sampai pupuk.
Adapun sektor industri yang disebut-sebut sebagai induknya sektor industri sebagai besi dan baja pun harus impor. Bahan baku produksi mereka seperti batu bara masih 100% impor karena harus penuhi spesifikasi kalor khusus, selain itu bijih besi sekitar 95% juga masih impor. Untungnya salah satu bahan baku seperti batu kapur masih 100% dari dalam negeri. Produksi besi baja ini bisa digunakan untuk sektor konstruksi, galangan kapal dan berbagai industri alat berat lainnya.

Bisa dikatakan hampir seluruh sektor industri harus mengimpor untuk bahan baku produksi mereka. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor barang bahan baku di Indonesia pada Januari-Juni tahun ini sebesar US$ 68,81 miliar atau setara dengan 76,48% dari total impor keseluruhan yang mencapai US$ 89,97 miliar.

Padahal impor sangat rentan dengan nilai tukar rupiah dibandingkan dollar. Seperti diketahui, sejak pertengahan tahun lalu, mata uang Garuda mengalami pelemahan dari kisaran Rp 9.000 per satu dollar jeblok ke equilibrium baru kisaran Rp 11.300 - Rp 11.800 per satu dollar. Alhasil industri yg bergantung pada bahan baku impor, langsung mencatat raport merah di laporan keuangan mereka. Untuk tutupi beban akibat pembengkakkan nilai kurs, perusahaan pun mengerek harga jual. Akhirnya konsumen yg harus menanggung kenaikkan harganya, dan menurunkan daya beli masyarakat.
Mengapa industri dalam negeri masih sangat bergantung pada impor? Pangkal persoalannya adalah industri penunjang bahan baku atau barang modal belum bisa menopang industri manufaktur. Alhasil, industri masih harus bergantung pada impor. Memang juga sudah terdapat industri penunjang yang memproduksi bahan baku, tapi karena volume produksinya kurang, sehingga harga satuannya menjadi mahal, alhasil pengusaha lebih memilih mengimpor saja.

Franky Sibarani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia mengakui bahwa industri dalam negeri masih mengandalkan bahan baku dari dalam negeri. "Saya melihat kebijakkan pemerintah masih minim untuk mendukung pasokan bahan baku," ujar Franky. Ia melihat kebijakkan bahan baku seharusnya diutamakan dahulu untuk sektor dalam negeri. Ia juga melihat perlu pembenahan hulu ke hilir, baik industri penunjang dan industri manufaktur supaya bisa makin mandiri.
MS Hidayat, Menteri Perindustrian pun mengakui hal serupa. "Itu salah satu pekerjaan rumah kita," ujar Hidayat. Ia mengatakan pembenahan soal bahan baku tersebut sudah tertuang di UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Disana disebutkan akan dibahas Rencana Peraturan-Perundangan (RPP) yang membahas lebih detail mengenai pengadaan bahan baku industri.

Dia mengatakan bahwa pembenahan persoalan bahan baku tersebut perlu koordinasi dengan kementerian lain. Sebagai contoh pengaturan kebijakkan insentif fiskal menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan (kemenkeu), insentif itu perlu untuk mengundang investor untuk membangun industri penunjang di dalam negeri. Selain itu mengatur pasokan sumber daya alam seperti gas alam untuk bahan baku industri keramik dan pupuk misalnya, hal itu berada di bawah kewenangan Kementerian Sumber Daya Alam dan Mineral. Agaknya lemahnya koordinasi dan kuatnya ego sektoral masing-masing kementerian jadi salah satu persoalan lambatnya pemecahan persoalan ini.

Mengenai membanjirnya barang impor jadi, pemerintah juga sudah mengeluarkan seruan mengenai Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). "P3DN itu perlu ditingkatkan. Misalkan nanti akan ada instruksi kepada seluruh instansi pemerintah untuk pakai produk dalam negeri, seperti mejanya, keramiknya misalkan. Nanti akan ada di RPP yang mengatur sanksi soal pelanggaran instruksi tersebut," ujar Hidayat.
Pihaknya juga menggalakkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk memproteksi produk dalam negeri supaya tidak kebanjiran impor. Sudah bukan rahasia lagi, barang jadi impor memang lebih murah, namun kualitasnya dipertanyakan. Maka untuk melindungi konsumen dan menekan impor, pemerintah berlakukan SNI di beberapa sektor industri seperti industri mainan anak misalnya.

Akhir kata, sebetulnya menggunakan barang impor bukanlah suatu 'dosa' dan tidak dilarang. Impor sah-sah saja dilakukan jika memang untuk penuhi kebutuhan yang belum dipenuhi dalam negeri. Namun apakah kita perlu sebegitu bergantungkah hingga terbelenggu dengan barang impor? Sampai kapan kiranya kita mau seakan 'terjajah' seperti ini? Selamat ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke 69.

------------------------------------------------------------
Merupakan naskah asli berita yang kukirimkan ke kantorku untuk terbit 19 Agustus 2014


Saturday, July 12, 2014

Akhirnya Biru

Per hari ini gue resmi "biru" !!!

Warna biru disini bukan menunjukkan suatu afiliasi suatu partai politik tertentu atau favoritisme akan sebuah tim sepak bola. Bukan... bukan itu. Bagi karyawan Kompas Gramedia (KG) pasti tahu betul maksudnya apa. Akan muncul latar belakang biru di foto kartu karyawan gue. Berbeda sebelumnya dengan latar belakang yang putih. Njur bedane opo?

Biru artinya gue sudah diangkat menjadi karyawan tetap grup KG! Puji Tuhan saya sudah diangkat jadi karyawan KG!

Saya ingat betul 24 Juni tahun lalu, 'vonis' itu dijatuhkan kepada saya. Terikat secara legal dan formal, saya dibuat mereka menerima tawaran yang tidak boleh saya jawab tidak.

Pada awalnya, penempatan saya di unit usaha tempat saya kerja saat ini merupakan 'mimpi buruk'.

Pangkal persoalnya, tidak pernah saya mahir dalam angka-angka. Sejak sekolah dasar sampai SMA, guru-guru jarang sekali menghiasi tinta biru di kolom matematika raportku. Ketika membaca koran tidak pernah saya menyempatkan diri mampir ke rubrik ekonomi untuk sekedar mengetahui kondisi ekonomi saat ini. Saat mampir ke toko buku, tak pernah saya mampir rak kumpulan buku ekonomi. "Ga minat," batin saya saat itu. Sekolahku pun komunikasi. Genap sudah...

Tidak cuma itu, hati saya waktu itu hancur berkeping-keping menemukan diri saya merasa gagal masuk ke media yang aku inginkan, setelah mencicipi magang selama dua bulan disana.

Air mata tumpah saat itu... Ya takut, ya kecewa, ya merasa terzolimi karena beberapa teman diberi kesempatan nego, sementara keputusan untuk saya seperti vonis yang tidak bisa saya tolak.

Bapak dan Ibu buru-buru memberi dorongan. Mereka bilang, tak apa, sudah merupakan prestasi saya hanya nganggur enam hari saja setelah yudisium untuk segera dapat pekerjaan. Jutaan lulusan perguruan tinggi di luar sana masih menganggur.

Saya kumpulkan sisa-sisa semangat saya. Pulang dari Palmerah, saya mampir beli buku pengantar ekonomi, tak lupa memborong tabloid dan harian tempatku bekerja.

Muncul satu tekad bahwa, saya akan kuasai bidang ini! Saya menolak menyerah! pepatah mengatakan the sweetest 'revenge' adalah menunjukkan kesuksesan! And I say, I go for it!

Kemudian saya ikut kelas persiapan perdana 3 hari, berisi sejarah dan visi misi perusahaan, pengantar ekonomi, dan teknik reportase dasar serta menembus narasumber. Besoknya pertempuran yang sebenarnya dimulai. Betul-betul roaming saya saat itu. "Ini orang ngomong apa sih? Apa itu fee based income? apa itu net interest margin? apa itu loan to value? what the!!!"

Menolak menyerah, akhirnya ku catat saja semua yang diomongin itu narsum di hapeku. Ya semuanya! Ga tahu deh itu omongan 'daging' apa 'kulit' yang bisa dimasak jadi berita. Catet aja semua.

Tiba saat listing berita ke asisten redaktur (asred), ku kirimkan saja semua hasil catatanku. Sontak si mas asred berkata, "Lu kirimin gw listingan apa rilis?". Ya apa daya, aku memang tak tahu mau menulis berita apa? Semalam memang sudah persiapan dengan melakukan riset, tapi rasa-rasanya masih belum cukup. "Maaf bang, gue belum tahu mau nulis apa. Itu yang gw dapet tadi. Mohon ijin bimbingan dan bantuannya bang," jawab gw. Akhirnya mas asred menyuruhku ke kantor dan dia mengajariku.

Dua minggu pertama hidupku terasa berat sekali. Berkali-kali aku membatin, "Kapan setahun ya?". Setiap hari belajar, tapi masih saja roaming.

Kemudian saya pun memutuskan untuk mengambil cicilan sepeda motor untuk meningkatkan mobilitas dalam liputan. Gue pun sudah bertekad sejak semester 7, sudah tidak pernah lagi minta uang dari orangtua (malu dong cuy, anak laki uda gede masih minta duit). Sejak nyicil motor itulah gw belajar dan berubah menjadi seperti saat ini. Gw belajar perencanaan keuangan, karena harus survive dengan gaji yang akan dipotong untuk cicilan motor, makan, pulsa, bensin, parkir, dan harus bisa kusisihkan untuk investasi / tabungan, dan dana darurat. Seiring dengan berjalannya waktu, gw banyak bergaul dengan perencanaan keuangan, dan semakin mengerti teknik-teknik perencanaan keuangan berinvestasi yang benar.

Menolak untuk roaming setiap hari, setiap habis liputan, gw menyempatkan balik ke kantor, untuk membaca fasilitas archive di kantor. Itu adalah fasilitas untuk membaca berita lama yang sudah terbit. Aku belajar isu ekonomi disitu, mempelajari cara kerja ekonomi disitu, mempelajar pola penulisan berita disitu, banyak hal. Sampai saya pulang dengan kereta jam 10an keatas (waktu itu motor gue masih indent, jadi kemana-mana masih ngeteng hahahaa). Di rumah pun gw belajar nanya bokap nyokap yang notabene lulusan ekonomi. Pagi hari selalu gw menyempatkan diri membaca koran kantor, pahami isu kantor. Minggunya baca tabloid dapatkan pemahaman lebih indephtnya.

Rupanya perlahan-lahan proses belajarku membuahkan hasil. Gw saat itu bisa berkata, "Oh ekonomi tuh begini toh." Saat sudah mengerti, alur flow itu enak sekali. Semua bersifat kausalitas, sebab akibat, c terjadi karena a dan b begini, dan seterus-seterusnya. Rupanya dunia ekonomi itu bisa diringkas dalam 24 halaman harian KONTAN. Dan saya bisa menjelaskan kepada anda cukup dengan 3 lembar kertas saja, dalam waktu 30 menit! (buset sombong banget gue yak! baru anak kemaren sore belajar ekonominya! hahahaa)

Percaya diri itu pun datang. Tak ada lagi ketakutan ataupun keraguan saat bertanya ke narasumber, ataupun saat menulis berita. Gw tingkatkan terus kinerja gue. Yah tak dipungkiri ada kalanya jenuh, dan sebal dengan atasan. Yah namanya juga orang kerja, ya kali gada sebel-sebelnya hahahaa.

Namun saya akui saya harus masih banyak belajar. Untuk beberapa rubrik saya hanya tahu umumnya saja, masih belum mendalami secara teknis. Tapi secara garis besar mengerti apa yang dibicarakan.

Sampai akhirnya hari ini saya diberikan surat yang menyatakkan saya resmi Biru. Makasih Kontan. Gw masih punya berbagai impian karier, haus akan ilmu. Merentangkan sayap dan terbang bebas.

Saturday, May 17, 2014

Menyajikan Kualitas Demi Kepentingan Publik (Resensi Buku Ignatius Haryanto)

Menyajikan media yang berkualitas yang telah penuhi unsur-unsur jurnalistik yang ideal. Sajikan informasi yang berkualitas tersebut untuk  kepentingan publik. Saya kira dua hal itulah yang menjadi ide pokok utama yang ingin digagas dalam buku "Jurnalisme Era Digital" karya Ignatius Haryanto.


 
Sekitar seminggu yang lalu, waktu menunjukkan bahwa satu setengah jam lagi, hari akan berganti. Saya taruh tas dan berselonjoran di kasur, melepas lelah dan penat setelah seharian penuhi tugas sebagai pewarta berita. Sambil selonjoran, saya rogoh telepon genggam dari kantung celana. Saya tengok recent updates kontak Blackberry Messanger. Wah ada yang menarik nih!

Di antara celotehan dan curhatan, ada yang menarik di recent updates status BBM daftar kontak saya. Hal itu datang dari kontak BBM dari sang dosen-ku saat kuliah, Ignatius Haryanto. Dia mengganti profile picture-nya dengan gambar sebuah cover buku berjudul "Jurnalisme Era Digital". Adapun status BBM-nya kira-kira begini bunyinya, "Telah keluar buku terbaru saya, di toko buku terdekat." Bagai tersengat, mata saya yang tadi setengah mengantuk, mendadak langsung segar.

"Menarik!" batin saya. Mengapa saya katakan menarik? Pertama karena saya tahu betul kualitas dan dedikasi Pak Har, biasa saya memanggil beliau demikian, sebagai seorang peniliti cum pengamat media. Tentu tulisan buah karya beliau tidak sembarangan kualitasnya. Yang kedua adalah, saya pribadi, sebagai wartawan kemarin sore, merasakan betul bagaimana menjadi pewarta berita di era digital ini. Saya ingin tahu 'diagnosis' Pak Har tentang fenomena yang terjadi di dunia jurnalistik saat ini. Singkat cerita, tak perlu alasan lain lagi, buku ini telah bertengger rapi di lemari buku kamar saya melengkapi buku-buku karangan beliau yang lain seperti The New York Times dan Indonesia Raya.

Buku ini adalah  kumpulan tulisan beliau yang berserakkan di media-media. Tak lupa kredit saya sampaikan kepada teman saya Mariska Vergina - seangkatan alumni Universitas Multimedia Nusantara - yang kini bekerja sebagai editor di penerbitan Kompas, yang atas inisiatifnya menerbitkan buku ini. Sebelumnya saya sudah mendengar kabar soal usulan Mariska soal buku ini. Then, Voila! Makasih ya Mariska!

Seperti Dokter

Melalui buku ini, saya merasa Pak Har semakin mematenkan posisinya sebagai salah satu peneliti media di Indonesia. Pasalnya Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) ini, mampu mendiagnosis fenomena-fenomena dan dinamika dunia media saat ini, lalu mampu menawarkan gagasan ideal soal bagaimana jurnalistik dan dunia media ini dijalankan.

Menurut saya, seorang pengamat itu sama seperti seorang dokter. Seorang dokter mampu memeriksa gejala-gejala penyakit si pasien, mendiagnosis penyebabnya, lalu menawarkan solusi pengobatan dari penyakit tersebut. Sama seperti seorang pengamat. Seorang pengamat harus mampu mendiagnosis fenomena yang terjadi lapangan, lalu menawarkan solusi permasalahan. Adapun Pak Har menurut kacamata saya sudah betul-betul penuhi kriteria tersebut.

Saya kira media, pekerja media dan publik saat ini tengah berjalan berdampingan dalam rimba 'kebaruan' karena perkembangan media dan teknologi. Rupanya ketiga pihak tersebut, seperti bingung, bagaimana idealnya media itu? Pasalnya perkembangan teknologi mempengaruhi cara kerja pelaku media, juga bagaimana publik mengkonsumsi media itu sendiri. Melalui buku ini, Pak Har menampilkan secara lugas, kritis dalam menulis duduk persoalan fenomena yang terjadi di dunia jurnalistik saat ini. Namun tentu yang paling saya suka dari beliau adalah bagaimana beliau bisa meramu tulisannya dengan jernih, runut, mudah dipahami dan ga perlu mengernyitkan dahi untuk menelan tulisan beliau.

Saya sebagai wartawan kemarin sore yang belum genap setahun terjun di dunia jurnalistik, saya merasakan betul dinamika dan dunia jurnalistik. Bagaimana kecepatan dan kuantitas berkoalisi melawan kualitas berita, banjir informasi memenuhi saya, konglomerasi media, konvergensi media, itu betul-betul nyata dalam hidup saya. Dengan membaca buku ini, saya seperti pasien yang berkunjung ke dokter, dan Pak Har adalah dokter yang mendiagnosis saya dan memberikan gagasan ideal solusinya.

Menyajikan Informasi yang Berkualitas

Sebagai contoh, saya tersentil betul di artikel yang berjudul "Jurnalisme Blackberry". Di artikel ini beliau memaparkan bagaimana perangkat Blackberry bisa merubah cara kerja jurnalis di lapangan. Dengan BB, segala kerja jurnalistik menjadi lebih mudah. Mencari background informasi dari berita sebelumnya tinggal googling, saat doorstop rekam, catat dengan cepat, kirim berita hanya dalam hitungan detik. Tapi hasilnya? akurasinya? Apakah berita sudah menerapkan prinsip ideal jurnalistik?

Artikel lain yang tak kalah menggelitik adalah "Jurnalisme dan Media Sosial". Senada dengan artikel "Jurnalisme Blackberry", Pak Har ingin menyampaikan bahwa rupanya perubahan teknologi rupanya juga mempengaruhi kinerja wartawan dan bagaimana masyarakat mengkonsumsi media. Dalam artikel ini, beliau menyoroti bahwa media mainstream mengutip status media sosial (facebook, twitter, linked-in, dan rupa-rupa sosmed lainnya) dari orang ternama, untuk dijadikan berita. Pertanyaan sama pun terlontar, apakah berita itu sudah menerapkan prinsip ideal jurnalistik?

Pak Har juga menjawab salah satu kegelisahan saya, soal keberlangsungan media cetak di tengah terpaan banjir informasi media online dan media alternatif lainnya. Dalam artikel berjudul "Revitalisasi Media Cetak di Indonesia" beliau memberikan solusi nyata untuk pertahankan keberlangsungan media cetak di Indonesia. Berikut saya kutip kalimat beliau:

".... media cetak sebenarnya tetap bisa bertahan kokoh, asal mau menjalankan sejumlah syarat ini: sumber daya manusia dari media cetak terus dikembangkan, produk informasi yang dihasilkan dikemas lebih mendalam, dan menghasilkan laporan-laporan investigatif yang ekslusif."

Dari kalimat itu, gampangnya saya terjemahkan, kalau koran anda mau bertahan, ya tawarkan informasi yang berkualitas. Orang mau beli koran anda karena percaya pada kualitas dan kebenaran berita di dalamnya.

Demi Kepentingan Publik

Selain menyoroti fenomena jurnalistik di era digital, Pak Har juga membahas soal bagaimana tantangan dan dinamika dunia kejurnalistikkan Indonesia. Adapun masalah-masalah yang dibahas adalah seperti konglomerasi media, pemilik media cum politisi, kuasa iklan terhadap newroom yang potensi mengancam akses publik atas informasi yang berkualitas.

Tengok artikel "Manuver Industri Media" yang membahas soal konglomerasi media. Dalam artikel ini Pak Har mempertanyakan, apakah dengan adanya pemilik yang sama dari berbagai media multiplatform di Indonesia ini bagus untuk publik? Apakah bisa meningkatkan kualitas informasi yang diperoleh untuk publik? Ataukah para pemilik media itu hanya mengejar faktor ekonomis semata tanpa indahkan kualitas informasi ke publik? Bagaimana dampaknya ke pekerja media, apakah dengan adanya konglomerasi media juga serta-merta meningkatkan kesejahteraan pekerja media? atau...? silakan jawab sendiri.

Mendorong agar publik betul-betul memperoleh informasi yang berkualitas, nampak sekali dalam artikel berjudul "Siapa Peduli Dewan Pengawas TVRI?". Dalam artikel ini beliau menyoroti soal hilangnya peran TVRI sebagai siaran televisi publik yang bisa mengimbangi televisi swasta nasional yang kontennya didorong oleh motiv ekonomi, kepentingan pemilik, dan favoritisme terhadap golongan partai politik tertentu.

Selain itu, Pak Har juga mengangkat berbagai isu soal jurnalistik seperti fungsi serikat pekerja yang ideal, konsep jurnalisme damai yang tepat, dinamika pers daerah, bagaimana wartawan berlaku bila beritanya keliru, dan masih banyak isu yang diangkat di buku ini. Buku ini komplit mengkaji fenomena jurnalistik, mendiagnosisnya, lalu menawarkan gagasan ideal bagaimana seharusnya jurnalistik itu di jalankan.

Menyajikan media yang berkualitas yang telah penuhi unsur-unsur jurnalistik yang ideal. Sajikan informasi yang berkualitas tersebut untuk  kepentingan publik. Saya kira dua hal itulah yang menjadi ide pokok utama yang ingin digagas dalam buku "Jurnalisme Era Digital" karya Ignatius Haryanto.

 - Semoga bisa terus menjaga ide gagasan soal jurnalisme yang berkualitas -