Tuesday, September 7, 2010

"Contekanmu Jatuh!"

Gawat! Aku baru sadar kalau nanti ada ujian fisika! Pelajaran yang paling tak aku sukai. Pelajaran yang sama sekali tak ada hubungannya dengan cita-citaku, Jurnalis! Aduh mana aku belum belajar lagi! Habislah aku! Terbayang sudah nilai merah mewarnai raportku. Kalau begini ceritanya bikin saja contekan! Mudah bukan! Ha-ha-ha.

Segera aku beranjak pergi meminjam catatan temanku yang paling pandai dan rajin. Aku sibuk mencatat rumus-rumus yang berserakan di buku catatannya, lengkap sekali. Macam alkitab saja catatannya itu. Mulai dari rumus gaya berat Newton, sampai rumus relativitas Einstein. Kertas sakti inilah yang akan menyelamatkanku nanti saat ujian. Seusai mencatat semua rumus-rumus yang melihatnya saja aku sudah ingin mimisan, kumasukkan kertas sakti itu ke dalam saku kemejaku. Lantas akupun masuk ke ruang ujian dengan langkah mantap.

Soal pun dibagikan dan aku mengeluarkan kertas sakti itu. Wah ini sih kecil, ada semua rumusnya di kertas saktiku itu. He-he-he. Jari jemariku dengan lincah menari dengan pena mengerjakan soal ujian, sambil sesekali lirikan mata, mengawasi pengawas ujian. Dengan contekan ini, mudah sekali, semuanya selesai ku kerjakan dan aku sangat yakin akan dapat nilai baik. Bahkan waktu ujian belum sampai setengahnya pun aku sudah selesai mengerjakan. Karena bosan menunggu selesainya ujian, aku pun berbaring di pangkuan tangan dan tertidur.

“Bangun…bangun…”, terdengar sayup suara hendak membangunkanku. Aku pun terjaga dari tidurku. Aku mencoba mengumpulkan kesadaran. Aku mengambil kacamataku dan melihat sekitar, dan aku kini teringat sedang ujian fisika. Aku mendongak ke atas, ternyata Pak Bambang yang tadi membangunkanku.

Lalu dia menyodorkan secarik kertas. Tunggu sepertinya aku kenal kertas itu. Mati aku! Itu kan kertas contekanku! Ketahuan deh! Aduh, malunya aku setengah mati. Malu aku tertangkap basah guruku, malu aku dengan teman-teman, betapa bodoh dan cerobohnya aku. “Contekanmu jatuh”, singkat padat, namun menggetarkan batinku. Seluruh siswa tertawa keras. Aku cuma bisa cengar-cengir sambil menggaruk-garuk kepala.

Selesai ujian aku menghadap ke mejanya. Beliau mengatakan kasihan padaku karena dua hal. Pertama karena aku telah mendapat nilai nol karena mencontek, sehingga makin besar pula kesempatanku untuk memperdalam satu tahun lagi di kelas yang sama, dia juga menyesalkan mengapa aku tidak mencoba belajar, berapa pun hasilnya yang penting jujur. Yang kedua ia kasihan padaku karena harus dengan terpaksa belajar mata pelajaran yang tak aku sukai sehingga tak heran aku tidak belajar dan memilih mencontek. Menurut beliau, saya adalah satu dari sekian banyak korban sistem pendidikan yang buruk, yang tak menunjang potensi minat dan bakat siswa. Inilah mengapa Indonesia tidak maju-maju sampai sekarang. Namun semenjak peristiwa memalukan ini, aku lebih memilih belajar sebelum ujian, dan berikrar akan mengejar cita-citaku..

No comments:

Post a Comment