Sunday, May 29, 2016

Perihal mati listrik

Mati listrik atau yang lebih akrab disebut mati lampu merupakan hal yang menyebalkan. Sebab, kita lagi asyik-asyik beraktivitas (which is hampir pasti kegiatan kita itu ditopang oleh listrik), tiba-tiba berhenti. Yang lagi asyik nonton TV mendadak ditonton TV. Lagi seru-serunya nih ‘bawa’ Ronaldo di depan gawang buat shoot, eh dia mendadak lenyap. Amsyong semua keseruan.

Harapan untuk hilangkan mati gaya bertumpu pada gawai. Mulailah sosmed dipadati, pasang status atau ngedumel soal kinerja perusahaan listrik milik negara yang gitu-gitu saja. Kemudian kita menunggu teman membalas atau setidak-tidaknya merespon dengan memberikan jempol, retweet, like this, memberi hati, cendol, dan segala macam jenis instrument yang ditawarkan sosmed.

“Ah nggak ngaruh mati lampu. Gue masih bisa asyik kok!” Hmm… yayaya. Sepertinya mati listrik nggak masalah ya.

Sejam berlalu. Dua jam berlalu. Tiga… empat… lima… eh kok nggak nyala-nyala ya?
Matahari mulai terbenam. Baterei gawai sudah makin menipis. Biar hemat baterei, segala sosmed dan aplikasi ditutup. Sekejap kegiatan berganti menjadi menyiapkan lilin untuk terangi malam.

Setelah matahari telah paripurna tenggelam dan ganti shift dengan bulan, mulailah kesunyian perlahan merambat menyapa.

Sampai tahap ini, manusia dihadapkan dengan dua pilihan. Pertama, menjadi sedemikian stress ngedumel dengan perusahaan listrik milik negara, yang mana nggak mengubah apapun juga. Atau yang kedua melakukan refleksi.

Dalam keheningan, semua terlihat dan terasa lebih jernih. Saat hening, denyut nadi pun terasa betul debarnya. Detik jarum jam seakan hentakan drum pemusik yang tengah pentas.

Mendadak manusia berfilsafat. Saya sudah sampai mana?

Agaknya deru cepat rutinitas warga kota membuat manusia lupa untuk berhenti sejenak. Merenungkan apa saja. Ya apa saja. Mendalami dan menyelami apa saja. Ya apa saja.

Mungkin memang manusia itu perlu dipaksa 'shut down' sesaat untuk bisa 'berhenti' untuk melangkah kembali.



No comments:

Post a Comment