Reportase Jurnalistik, The Story Behind The News, Opini dan Idealisme, Karya Sastra, Catatan Perjalanan dan Kehidupan.
Sunday, November 14, 2010
So Here I am
SMP setali tiga uang, tapi ada kemajuan dikit. Gw ud bukan cavet, nilai gw pun membaik, gw pun sempet mengenyam jabatan ketua kelas selama satu semester *bangga! Gw mulai bersosialisasi dengan banyak teman, melalui alat ekskalasi sosial bernama "BAND". Tapi gw tetep bermimpi melihat temen2 gw yang ranking dan berprestasi. Kapan ya gw kayak mereka? Ga usah jauh2 deh, gw liat kakak gw aja, nilainya ga pernah mengkhawatirkan.
SMA, titik balik hidup gw. SMA Gonzaga! disanalah gw mengalami revolusi diri! Membuat gw menjadi seorang yang berkarakter. Ada isinya. Gw ga tahu deh apa jadinya gw kalo ga sekolah disitu. Ga pernah berhenti gw mengagumi almamater gw ini, karena merekalah gw jadi seperti ini. Banyak hal yang terjadi disana.
Kurikulum disana bukan pengajaran tapi pendidikan. Bedanya? Pengajaran adalah siswa yang penting tahu, kalo pendidikan itu siswa dibentuk menjadi sebuah pribadi. Pendidikan yang diterapkan disana berbeda dari yang biasa, tentu saja hasilnya diluar biasanya (baca: luar biasa) Kita dibolehkan gondrong, . Kita diberi kebebasan namun tetap bertanggung jawab.
Pertemuan gw dengan guru sosiologi gw, AGUS DEWA IRIANTO, mengubah banyak hidup gw. Dya itu ngajarin anaknya cara pake otak, bener gw ga berlebihan, sebelum bertemu dya gw ngerasa otak gw ini lelet banget, kopong, garing. Habis ketemu dia gw ngerasa ngerti cara make otak, dan gw ngerasa "selama ini otak gw ngapain aj?" hahaha. Berpikir tuh harus logis, sistematis, runut. Dia ngajarin kita cara variabel bebas dan terikat, cara brainstorming, dan berbagai bekal berharga untuk hidup.
Pak Dewa itu selalu menantang siswa2nya seperti dengan istilah, "ANAK GONZAGA ITU CEMEN!!! GONDRONG DOANG GADA ISINYA", dia ingin kita itu merasa terhina, saat itulah kita bangkit dan bersemangat dan membuktikan diri bahwa kita itu bisa.
Dia selalu membanding2kan kita dengan sekolah lain. Dia ingin kita memiliki semangat unggul, lebih dari semuanya, kompetitif. Harus pintar, berkarakter, ada isinya. Harus sering liat keluar jangan kayak kacamata kuda
"Mau jadi apa anak SMA ga pernah baca?". Stelah dia ngomong itu, pipi gw rasanya kayak ketampar! Percaya apa ga, gw langsung rajin melahap semua bacaan, padahal mah dulunya gw maless banget baca
"Anak pak dewa itu ga ada yang takut sama PL", dia mengajak kita untuk berani, bukan untuk berkelahi. Melatih mental.
Di SMA jugalah, pertama kalinya dalam hidup, gw mengecap rasanya menjadi juara. Berkali-kali bahkan *pamer karena bangga! hehehe :D Panggung festival band dimana pun kita kuasai. Gw belajar semangat unggul, mental juara, kerjasama tim di band. Gw pun belajar ketegasan dan mengambil sikap disana, yaitu pas gw ngambil keputusan untuk cabut (ada deh alasannya, karena satu dan lain hal. Kapan2 akan gw bahas di post lainnya)
Wah kok jadi ngomong SMA gw ya? itu laen kali aj deh d post
Pas SMA pun gw masih bocah ingusan yang sedang mencoba mengembangkan sayapnya. Saat dimana gw mulai berani bermimpi. Saat dimana gw mulai terbang untuk memeluk mimpi2 itu. Masa-masa pencarian jati diri gw. Dimana galau adalah makanan sehari2 gw. Dimana kritis cenderung naif adalah agenda gw saban waktu. Mempertanyakan ini itu. Idealis mentok! Pengembangan diri adalah cabuk gw tiap hari
Syukurlah semua terlewati dengan baik
Impian akan menjadi JURNALIS...
Kuliah. UMN. 2 smester katam dengan IPK yang sangat membanggakan (menurut gw) Dimana saat SD pun gw ga pernah ngimpi untuk meraih nilai setinggi ini. Bahkan saat SMA pun nilai merah pun masih akrab di lembaran raport gw. Tapi pas kuliah, tidak kubiarkan satu tetes tinta merahpun terjatuh di lembar raport gw. Gw pun melesat mengejar mimpii gw:JURNALIS
Gw lebih aktif menulis, juga membaca. Diskusi dengan dosen, dan sejumlah teman yg kritis. Gw pun ikut sebuah bisnis untuk mencari uang sendiri. Keluar masuk siaran TV. Masih aktif ngeband. Ikut lomba debat mahasiswa di Jak TV.
Gw telah berubah total! bahkan dalam setahun pun, semua teman SMA gw pun kaget.
"Ini si Bene? Rajin banget!"
"Bene si laskar gonz? anjrit! makan apa loe Ben?"
"Asik dah sibuk sekarang, cari duit"
"Gila lw Kris, yakin nih masih lw teman SMP gw yang suka nyoret tembok orang bareng?"
Sumpah demi Tuhan itu ga gw karang2, itu semua kata temen2 gw.
Bahkan bapak gw pun bilang, "Ajaib, dulu kamu setiap rapotan selalu bikin deg2an, sekarang nilai B aja lebih dikt dari A". *bangga banget gw denger ini. Thanks Pah! :D
So here I am, gw kandidat wakil ketua himpunan mahasiswa jurusan. Fiuuhh...ini puncak karier keorganisasian gw. Sebelumnya gw cuma level anggota. Paling mentok jadi ketua laskar gonz yang secara kelembagaan santai dan tidak bisa disebut lembaga formal. Tapi liat gw sekarang! Dulu pas SD, SMP, ditunjuk jadi ketua pun gw selalu mengelak. hahaha. Infantil!
So here I am, still have to fight!
*Maaf kalo postingan ini kental dengan aroma narsis. Coba pahamilah kalau anda berada di posisi saya. Seorang pecundang yang berubah menjadi pemimpin!
Sunday, November 7, 2010
Kebebasan Pers, Sebuah Euforia Era Reformasi
Saat Orde Baru (Orba) berkuasa, kental diingatan banyak orang bahwa berpendapat dan mengkritisi pemerintah merupakan hal yang diharamkan. Banyak aktivis, mahasiswa, tokoh-tokoh yang kritis ditangkap, dijadikan tahanan politik tanpa sidang, diasingkan, dihilangkan, bahkan diambil nyawanya. Sebut saja seperti penulis kawakan Pramoedya Ananta Toer yang ditangkap dan diasingkan karena buku yang ia tulis, tetralogi Bumi Manusia, di anggap oleh pemerintah orba sarat ajaran komunis. Hal senada juga terjadi pada media. SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan dan Percetakkan) dijadikan senjata ampuh negara untuk membungkam media. Media yang kritis dan vocal tidak segan-segan dicabut SIUPP-nya, dibredel, dilarang terbit. Majalah Tempo nampak sudah kenyang oleh pengalaman ini. Juga dikenal organisasi profesi jurnalistik bikinan negara, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), yang fungsinya mengawasi setiap media yang dianggap “mbeling” saat itu. Masa dimana kebebasan berpendapat dibungkam system pers otoritarian.
Sejak rezim “otoriter” orde baru digulingkan, Indonesia memasuki babak baru kehidupan sosial politik yaitu era reformasi. Terdiri dari kata ‘formasi’ yang artinya susunan ditambah imbuhan re- yang artinya mengulang kembali, reformasi merupakan era dimana format-format perangkat kenegaraan, peraturan serta undang-undang diatur kembali dalam rangka menciptakan tatanan hidup bernegara yang lebih ideal.
Reformasi sarat dengan agenda perubahan. Mulai dari perubahan system sosial politik dimana demokrasi digaungkan sebagai azas negara, pelucutan kekuatan militer angkatan darat, meningkatnya toleransi agama dengan disahkannya imlek sebagai hari libur nasional, juga termasuk di dalamnya pengesahan undang-undang kebebasan pers dalam rangka melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Mengacu pada teori demokrasi Thomas Aquinas, bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi, selain lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif (trias politika). Maka kebebesan pers merupakan syarat mutlak bagi Indonesia untuk menjadi negara demokrasi. Karena pada prinsipnya demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Pers berperan sebagai watchdog trias politika, menjaga agar pemerintahan tetap pada jalurnya, yaitu dalam rangka mensejahterakan rakyat.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Dengan disahkanya Undang-Undang ini, dunia pers jurnalistik menghirup aroma kebebasan setelah “terbelunggu” selama puluhan tahun dalam rezim orba. Tidak seperti dulu yang selalu was-was, Pers bebas memberitakan, berpendapat, bahkan mengkritis pemerintah. Masyarakatpun memiliki hak untuk berekspresi, berpendapat, juga mengkritisi pemerintah.
Lebih lanjut disebutkan dalam pasal 5 UU No.4 tahun 1999 bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan berita dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah.
Pasal kelima UU No.4 tahun 1999 ini, ingin menunjukkan bahwa system pers di Indonesia adalah system pers bebas bertanggung jawab. Sistem pers yang memiliki tanggung jawab sosial (Social Responsibilty Theory). Jadi pers bebas melakukan pemberitaan dan mengkritis pemerintah namun tetap dalam koridor-koridor “kepantasan”, karena pers juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial khalayak masyarakat.
Namun pada kenyataannya pemberitaan di media seringkali kebablasan. Terlalu vulgar dan cenderung mengarah pemberitaan yang merugikan pihak-pihak tertentu seperti pencemaran nama baik, pelanggaran privasi sumber pemberitaan, dan lain sebagainya.
Di media cetak, judul headline-headline dan artikel surat kabar makin kritis bahkan keterlaluan dan cenderung pada pencemaran nama baik. Seperti contohnya yang terjadi pada harian Kompas, Jumat, 5 November 2010, yang mengatakan “Hati DPR Tumpul”. Ada pula cover majalah Tempo, 29 Juni 2010, yang mengatakan “Rekening Gendut Polisi” ditambah dengan ilustrasi gambar seorang polisi sedang membawa celengan berbentuk babi.
Tidak hanya itu,isi artikelnya pun banyak yang dengan terang-terangan mengarahkan kritik kepada yang bersangkutan. Penggunaan kata sindiran lazim digunakan, bahkan sarkastikpun sering menguap di halaman surat kabar.
Masyarakat pun kini makin kebablasan dalam mengemukakan pendapat. Sebut saja ketika demonstrasi yang terjadi 28 Januari 2010, menuntut ketegasan dan kecekatan presiden mengambil keputusan. Para demonstran membawa seekor kerbau di area demonstrasi, mereka mengkritik presiden SBY lambat seperti seekor kerbau. Ada pula kasus yang masih hangat baru-baru ini, yaitu artis kawakan Pong Harjatmo mencoret atap gedung DPR dengan tulisan “Jujur, Adil, Tegas”.
Bisakah pers dan masyarakat secara terang-terangan “menghina” suatu pihak dan instansi pemerintah? Bukankah sudah ada undang-undang pencemaran nama baik? Bukankah mereka bisa terjerat undang-undang tersebut?
Hal tersebut terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Buku kedua-kejahatan, bab XVI, Pasal 310 yang berbunyi:
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Memang benar ada undang-undang pencemaran nama baik, namun kebebasan berpendapat tersebut dilindungi oleh undang-undang kebebasan pers. Kedua undang-undang ini memang saling berbenturan. Adapula rancangan undang-undang rahasia negara yang berpotensi akan menjadi UU tandingan kebebasan pers dalam “mengubek-ubek” rahasia negara.
Berdasarkan UU No.4 tahun 1999, pers memang berhak dan bebas melakukan pemberitaan dan kegiatan jurnalistik. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana dan apa saja batas-batas koridor kepantasan dalam pemberitaan tersebut? Maka dari itu selalu mucul perdebatan mengenai batas-batas kebebesan pers, dimana AJI (Aliansi Jurnalis Independen) organisasi profesi tandingan PWI, selalu memperjuangkan hal ini.
Bila dianalisis secara kritis, hal ini terjadi karena pers Indonesia telah terlalu lama “dibungkam”, sehingga ketika mereka diperbolehkan bersuara, keluarlah teriakan. Era dimana informasi dapat dengan bebas beredar, dimana berpendapat bebas dilakukan. Kebebasan pers, merupakan buah euphoria era reformasi.
Sunday, October 17, 2010
Blues all day long
Kemarin sabtu malem gw sama kakak gw cabut ke Istora Senayan buat nonton Jakarta Blues Festival. Beuh, ini acara sadis banget, smpe kenyang blues gw di dalam. Gimana enggak, ada 40 artis berasal dari 7 negara berbeda termasuk Indonesia dimana jari dan jiwa mereka uda gatel mengguncang Jakarta, bermaen dalam 4 Stages sekaligus, komplit maen Blues. Mantaplah itu!
Pintu masuk Jakarta Blues Fest
Sore gw balik kuliah langsung cabut ke Senayan dijemput kakak gw. Nyampe sono jam 3, kita langsung nonton musisi blues muda yang lebih muda dari gw. Spotted Zebra, asik2 keren, gitaris dan maen gitarnya keren, masih muda2 enerjik, masih SMA. I like it
Habis itu gw cabut ke Green Stage di depan lobby istora buat nonton Coaching Clinic, Tjahjo Wisanggeni. Sakit nih orang maen gitarnya, dewa banget. Tangannyan nggratil banget, lincah, lompat kesana kemari. sakit dah pokoknya.
Setelahnya, kita balik lagi ke Black Stage, nonton The cube. Nih band juga asik karena mereka punya keunikan tersendiri di banding lainnya. Band ini bergenre blues tapi ada DJ-nya. mantaplah itu
Abis itu, sekalian ngadem kita masuk ke Blues Stage, karena disitu Indoor Istora dan ACnya, hehe, kita dengerin band yang bener-bener blues, yang sangat kentel dan kerasa bluesnya. SOULMATE
Soulmate lagi manggung
Soulmate bermain baik sekali, gw ngerasain bluesnya enak banget. Dipadu oleh vokal Tripatri "TIPS" yang nyanyi pake hati (nge-soul) banget. Dibalut dalam musik blues yang kental, enak banget rasanya. Gitaris dan vokalisnya merupakan gitaris dan vokalis terbaik Rock 2009 versi majalah apa gitu gw lupa (sori ya ^^ hehe)
Asyik nonton Soulmate
Kelar nonton Soulmate. Gw cabut ke Red Stage, buat kembali nonton Tjahjo Wisanggeni. Cuma kali ini dia tampil lengkap sama bandnya. Lagi-lagi gw terperangah! terkesima sama penampilan band mereka. Gile man, ud kayak dream theater! Walaupun agak ngaco dan melenceng dari blues, kehadiran Tjahjo cukup menyegarkan kesibukkan blues di sana-sini. Selain karena skill gitarnya yang bikin iri, lirik dan not nada lagu ciptaannya cukup unik. Aransemen mereka pun kerap dibalut dengan suara gamelan. Ada rasa etnik plus metal di penampilan mereka. Belum lagi lirik mereka yang puitis namun tidak terkesan cengeng karena dibalut aransemen metal
Tjahjo Wisanggeni
Kelar Tjahjo Wisanggeni, gw ga beranjak kemana2, karena penampil berikutnya adalah The S.I.G.I.T, band favorit gw.
The S.I.G.I.T
Namun gw agak kecewa, karena gw ngerasa mereka maennya kurang pol. Pertama karena soundingnya ga terlalu bagus. Lalu mereka seperti tampil apa adanya, ga all out. Tempo lagu juga sedikit kelambatan jadi energi yang keluar ga maksimal. Lagipula atmosfernya ga kebentuk karena penontonnya kebanyakan cuma diem aja, yah ada si koor, tapi itu cuma segelintir. Gw rasa orang2 itu cuma sok asik nonton, atau cuma mau gaya aja nonton the sigit.
Tapi biar begitu gw tetep seneng banget liat mereka maen. Aksi panggung Rekti yang karismatik membuat darah gw berdesir dan berkata, "Oke gw mau jadi Rockstar! Gw mau gondrong lagi!". Hahaha
Kelar di the sigit, perut keroncongan memanggil gw untuk beli makanan. Gw beli mie goreng, alamak mahalnya 20 ribu satu sterofoam. Apa lacur itu uda makanan berat yang paling murah. Emang sengaja mereka naikin, karena mau ga mau pasti ada yang mau beli. Kimai! :(
Kelar makan, kita kembali ke Blue Stage buat nonton Oppie Andaresta dan BOP, buat ngadem dan ngelurusin kaki yang dari tadi berdiri terus.
Wuih ramenya! haha
Ga ampe kelar nonton Oppie, kita cabut lagi ke Redzone, ngeliat Forticello. Band ini isinya pemusik Cello tapi ga mainin klasik pada umumnya, melainkan METAL!!! Beuh sadis banget, keren pol. Apalagi diakhiri dengan dihancurkan dan dibantingnya alat2 musik mereka. Pol! haha
Lalu ada pemusik dari luar negeri, Kevin Borich. Keren banget sih mereka maen, tapi gw ud capek. Jadi ga terlalu interest dengan permainan mereka.
Baru setelah itu, artis yang gw tunggu-tunggu. GUGUN BLUES SHELTER!!!
Gugun Blues Shelter
Setali tiga uang dengan the sigit, gw kurang puas dengan penampilan mereka. Pertama lagi-lagi karena masalah sounding yang ga maksimal, suara gitar si gugun ga pol, malah suara si basis bule yang terlalu keras. Apa karena ekspektasi gw yang ketinggian atau karena emang gw uda capek aj, secara gw ud dari jam 3 sore, sdangkan waktu gugun maen jam 11 malem. Uda 7 jam-an gw di situ. wkwkwkwka....
Uda gitu mereka lebih banyak mainin lagu blues yang rileks, yang temponya nyantai, jadi untuk gw yang uda rada ngantuk butuh energi penyemangat. hehe. Tapi tetep gw seneng bisa liat mereka live untuk pertama kalinya. nice! Di sisa-sisa tenaga gw pun, gw masih sanggup terperangah ngeliat jari jemarinya menari memainkan not di gitar. Beuh! sakit nih orang
Ramenya pol pas Gugun maen
Ga salah lagi, Gugun Blues Shelter adalah bintang hari ini. Penonton Red Stage rame banget, sampe ke belakang-belakang. Pas GBS kelar, semuanya langsung pada bubar pulang, kontan tempat festival langsung sepi, ada kali separohnya pulang, padahal masih ada penampil terakhir, Ana Popovich. Gw pun cabut karena uda capek banget. Haaah.....
Walaupun capek, pegel dan ngantuk, itu semua tidak menghalangi rasa puas gw setelah nonton JaK Blues Fest 2010 ini. Secara overall baiklah acara ini. Kepada pihak penyelanggara, gw berseru supaya tahun depan harus ada lagi, dengan artis lebih mantep kayak, B.B King atau Eric Clapton. Hahahaha *ngarepnya pol. hehe
Friday, October 15, 2010
here is the truth
Akhirnya kita saling menerka dan berprasangka satu sama lain.
Padahal mencairnya hubungan kita setelah membeku beberapa bulan terakhir adalah hal yang sangat melegakan dan menyenangkan. Walaupun sekarang kita masih dekat, tapi aku rasa masing-masing dari kita menyimpan prasangka dan berbagai perasaan yang masih tersembunyi rapi dan rapat jauh di lubuk hati masing-masing.
Dan kita menjadi sangat dekat, dekat sekali, lebih dari yang dulu pernah kita lalui
Katamu kamu bingung, tapi entah kenapa, bodohnya aku mengapa aku tidak bertanya. Aku malah menduga-duga
Aku hanyut dalam emosiku sendiri dan memutuskan untuk get-over akibat mispersepsi atas tanda yang kamu berikan. Aku kira kamu sedang memilihku di antara laki-laki lainnya. Aku lelaki bukan tuk dipilih! (iwan fals-aku bukan pilihan) Karena akumulasi semua emosi itulah, aku merasa lelah dan memutuskan untuk get over.
Setelahnya, kamu, menurut persepsiku, panas dan hanyut dalam emosi juga karena mengira aku sudah get over. Lalu kamu kemudian mendeklarasikan hubungan, namun tidak jelas dengan siapa, aku rasa itu hanya main2 belaka. Kamu tidak sedang benar2 pacarankan? Apakah kamu sebelumnya kamu bingung karena sedang menimbang2 kepantasanku menjadi kekasihmu? Lalu apa yang kamu rasakan sekarang?
Kepada para sahabat dekatku. Mungkin kalian sudah malas mendengarkan, karena ketidakkonsistenan perasaanku kepadanya. Mungkin juga kalian jengkel dan merasa usahaku dan buku yang baru kubeli adalah langkah omong kosongku. Atau maaf atas segala prasangkaku kepada kalian, mungkin juga kalian sudah maklum aku kalau sedang galau, ya begini. Sungguh konsespi kebahagiaanku, episentrum euforiaku hingga kini belum tercapai. Masih menganga terbuka. Selalu keluar lapar, mencoba keluar menyeruak mengambil kendali diriku.
Sungguh saat ini aku dan kamu berkomunikasi tentang hal ini