Sunday, November 7, 2010

Kebebasan Pers, Sebuah Euforia Era Reformasi


Saat Orde Baru (Orba) berkuasa, kental diingatan banyak orang bahwa berpendapat dan mengkritisi pemerintah merupakan hal yang diharamkan. Banyak aktivis, mahasiswa, tokoh-tokoh yang kritis ditangkap, dijadikan tahanan politik tanpa sidang, diasingkan, dihilangkan, bahkan diambil nyawanya. Sebut saja seperti penulis kawakan Pramoedya Ananta Toer yang ditangkap dan diasingkan karena buku yang ia tulis, tetralogi Bumi Manusia, di anggap oleh pemerintah orba sarat ajaran komunis. Hal senada juga terjadi pada media. SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan dan Percetakkan) dijadikan senjata ampuh negara untuk membungkam media. Media yang kritis dan vocal tidak segan-segan dicabut SIUPP-nya, dibredel, dilarang terbit. Majalah Tempo nampak sudah kenyang oleh pengalaman ini. Juga dikenal organisasi profesi jurnalistik bikinan negara, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), yang fungsinya mengawasi setiap media yang dianggap “mbeling” saat itu. Masa dimana kebebasan berpendapat dibungkam system pers otoritarian.

Sejak rezim “otoriter” orde baru digulingkan, Indonesia memasuki babak baru kehidupan sosial politik yaitu era reformasi. Terdiri dari kata ‘formasi’ yang artinya susunan ditambah imbuhan re- yang artinya mengulang kembali, reformasi merupakan era dimana format-format perangkat kenegaraan, peraturan serta undang-undang diatur kembali dalam rangka menciptakan tatanan hidup bernegara yang lebih ideal.

Reformasi sarat dengan agenda perubahan. Mulai dari perubahan system sosial politik dimana demokrasi digaungkan sebagai azas negara, pelucutan kekuatan militer angkatan darat, meningkatnya toleransi agama dengan disahkannya imlek sebagai hari libur nasional, juga termasuk di dalamnya pengesahan undang-undang kebebasan pers dalam rangka melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Mengacu pada teori demokrasi Thomas Aquinas, bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi, selain lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif (trias politika). Maka kebebesan pers merupakan syarat mutlak bagi Indonesia untuk menjadi negara demokrasi. Karena pada prinsipnya demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Pers berperan sebagai watchdog trias politika, menjaga agar pemerintahan tetap pada jalurnya, yaitu dalam rangka mensejahterakan rakyat.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dengan disahkanya Undang-Undang ini, dunia pers jurnalistik menghirup aroma kebebasan setelah “terbelunggu” selama puluhan tahun dalam rezim orba. Tidak seperti dulu yang selalu was-was, Pers bebas memberitakan, berpendapat, bahkan mengkritis pemerintah. Masyarakatpun memiliki hak untuk berekspresi, berpendapat, juga mengkritisi pemerintah.

Lebih lanjut disebutkan dalam pasal 5 UU No.4 tahun 1999 bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan berita dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah.

Pasal kelima UU No.4 tahun 1999 ini, ingin menunjukkan bahwa system pers di Indonesia adalah system pers bebas bertanggung jawab. Sistem pers yang memiliki tanggung jawab sosial (Social Responsibilty Theory). Jadi pers bebas melakukan pemberitaan dan mengkritis pemerintah namun tetap dalam koridor-koridor “kepantasan”, karena pers juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial khalayak masyarakat.

Namun pada kenyataannya pemberitaan di media seringkali kebablasan. Terlalu vulgar dan cenderung mengarah pemberitaan yang merugikan pihak-pihak tertentu seperti pencemaran nama baik, pelanggaran privasi sumber pemberitaan, dan lain sebagainya.

Di media cetak, judul headline-headline dan artikel surat kabar makin kritis bahkan keterlaluan dan cenderung pada pencemaran nama baik. Seperti contohnya yang terjadi pada harian Kompas, Jumat, 5 November 2010, yang mengatakan “Hati DPR Tumpul”. Ada pula cover majalah Tempo, 29 Juni 2010, yang mengatakan “Rekening Gendut Polisi” ditambah dengan ilustrasi gambar seorang polisi sedang membawa celengan berbentuk babi.

Tidak hanya itu,isi artikelnya pun banyak yang dengan terang-terangan mengarahkan kritik kepada yang bersangkutan. Penggunaan kata sindiran lazim digunakan, bahkan sarkastikpun sering menguap di halaman surat kabar.

Masyarakat pun kini makin kebablasan dalam mengemukakan pendapat. Sebut saja ketika demonstrasi yang terjadi 28 Januari 2010, menuntut ketegasan dan kecekatan presiden mengambil keputusan. Para demonstran membawa seekor kerbau di area demonstrasi, mereka mengkritik presiden SBY lambat seperti seekor kerbau. Ada pula kasus yang masih hangat baru-baru ini, yaitu artis kawakan Pong Harjatmo mencoret atap gedung DPR dengan tulisan “Jujur, Adil, Tegas”.

Bisakah pers dan masyarakat secara terang-terangan “menghina” suatu pihak dan instansi pemerintah? Bukankah sudah ada undang-undang pencemaran nama baik? Bukankah mereka bisa terjerat undang-undang tersebut?

Hal tersebut terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Buku kedua-kejahatan, bab XVI, Pasal 310 yang berbunyi:

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Memang benar ada undang-undang pencemaran nama baik, namun kebebasan berpendapat tersebut dilindungi oleh undang-undang kebebasan pers. Kedua undang-undang ini memang saling berbenturan. Adapula rancangan undang-undang rahasia negara yang berpotensi akan menjadi UU tandingan kebebasan pers dalam “mengubek-ubek” rahasia negara.

Berdasarkan UU No.4 tahun 1999, pers memang berhak dan bebas melakukan pemberitaan dan kegiatan jurnalistik. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana dan apa saja batas-batas koridor kepantasan dalam pemberitaan tersebut? Maka dari itu selalu mucul perdebatan mengenai batas-batas kebebesan pers, dimana AJI (Aliansi Jurnalis Independen) organisasi profesi tandingan PWI, selalu memperjuangkan hal ini.

Bila dianalisis secara kritis, hal ini terjadi karena pers Indonesia telah terlalu lama “dibungkam”, sehingga ketika mereka diperbolehkan bersuara, keluarlah teriakan. Era dimana informasi dapat dengan bebas beredar, dimana berpendapat bebas dilakukan. Kebebasan pers, merupakan buah euphoria era reformasi.

No comments:

Post a Comment