Wednesday, November 17, 2010

I'M Kom (HMJ ILKOM UMN) : First politics and campaign experience

Pertama kalinya gw terjun dalam dunia "politik". Gw ngatur strategi, gw ngeliat lawan gw ngapain, gw kampanye. Hahaha.

Haah...sungguh 2 minggu yang melelahkan

Tetap semangat buat ilkom! :D







Besok pengambilan suara. wish us luck!

Sunday, November 14, 2010

Sabilah!

Sabilah! (baca: bisalah!)

Gw berulangkali menguatkan dan meyakinkan diri, gw pasti BISA!

Gw sedang berkampanye memperebutkan posisi wakil ketua HMJ di kampus.

Sibuk menyiapkan. Ada banyak tekanan disana-sini. Kekhawatiran bahwa gw ga bisa memenuhi mereka pun menyeruak. khawatir bahwa gw akan menjadi just another bullshit in this system

Gw tahu apa yang harus gw lakukan. Gw ngerti banget apa yang terjadi. Selalu gw pikirkan selama seminggu ini. Gw pun uda ketemu solusinya. Gw punya partner yang sangat luar biasa, teman2 lain yang siap mendukung. Intinya gw siap banget untuk kerja.

Tapi gw cuma manusia biasa, yang punya rasa takut.

Fiuhh...untung banyak pihak yg mndukung. I really appriciate that!

Satu hal lagi, si nona, ngewall gw dluan, kita pun sms-an lagi setelah 3 tahunan vakum. eh dket lg dh sama gw. hahahaha. Oasis di padang gurun

Gw serahkan semuanya pada Tuhan, dia tahu yang terbaik untuk gw. hehehe :D

So Here I am

Flashback ke 8-12 tahun yang lalu. Waktu gw cuma seorang anak SD yang sangat freak maen game. Pulang sekolah dari jam 1 maen sampe jam 6, 7 hari dalam seminggu, 12 bulan dalam setahun. Seorang maniak game! Nilai raport berantakkan dan selalu calon veteran (khususnya kelas 5 SD gw inget banget!) Tukang dipanggil guru karena bermasalah kalo rapotan. Selalu jadi biang keributan di kelas. Ekstrem!

SMP setali tiga uang, tapi ada kemajuan dikit. Gw ud bukan cavet, nilai gw pun membaik, gw pun sempet mengenyam jabatan ketua kelas selama satu semester *bangga! Gw mulai bersosialisasi dengan banyak teman, melalui alat ekskalasi sosial bernama "BAND". Tapi gw tetep bermimpi melihat temen2 gw yang ranking dan berprestasi. Kapan ya gw kayak mereka? Ga usah jauh2 deh, gw liat kakak gw aja, nilainya ga pernah mengkhawatirkan.

SMA, titik balik hidup gw. SMA Gonzaga! disanalah gw mengalami revolusi diri! Membuat gw menjadi seorang yang berkarakter. Ada isinya. Gw ga tahu deh apa jadinya gw kalo ga sekolah disitu. Ga pernah berhenti gw mengagumi almamater gw ini, karena merekalah gw jadi seperti ini. Banyak hal yang terjadi disana.

Kurikulum disana bukan pengajaran tapi pendidikan. Bedanya? Pengajaran adalah siswa yang penting tahu, kalo pendidikan itu siswa dibentuk menjadi sebuah pribadi. Pendidikan yang diterapkan disana berbeda dari yang biasa, tentu saja hasilnya diluar biasanya (baca: luar biasa) Kita dibolehkan gondrong, . Kita diberi kebebasan namun tetap bertanggung jawab.

Pertemuan gw dengan guru sosiologi gw, AGUS DEWA IRIANTO, mengubah banyak hidup gw. Dya itu ngajarin anaknya cara pake otak, bener gw ga berlebihan, sebelum bertemu dya gw ngerasa otak gw ini lelet banget, kopong, garing. Habis ketemu dia gw ngerasa ngerti cara make otak, dan gw ngerasa "selama ini otak gw ngapain aj?" hahaha. Berpikir tuh harus logis, sistematis, runut. Dia ngajarin kita cara variabel bebas dan terikat, cara brainstorming, dan berbagai bekal berharga untuk hidup.

Pak Dewa itu selalu menantang siswa2nya seperti dengan istilah, "ANAK GONZAGA ITU CEMEN!!! GONDRONG DOANG GADA ISINYA", dia ingin kita itu merasa terhina, saat itulah kita bangkit dan bersemangat dan membuktikan diri bahwa kita itu bisa.
Dia selalu membanding2kan kita dengan sekolah lain. Dia ingin kita memiliki semangat unggul, lebih dari semuanya, kompetitif. Harus pintar, berkarakter, ada isinya. Harus sering liat keluar jangan kayak kacamata kuda

"Mau jadi apa anak SMA ga pernah baca?". Stelah dia ngomong itu, pipi gw rasanya kayak ketampar! Percaya apa ga, gw langsung rajin melahap semua bacaan, padahal mah dulunya gw maless banget baca

"Anak pak dewa itu ga ada yang takut sama PL", dia mengajak kita untuk berani, bukan untuk berkelahi. Melatih mental.

Di SMA jugalah, pertama kalinya dalam hidup, gw mengecap rasanya menjadi juara. Berkali-kali bahkan *pamer karena bangga! hehehe :D Panggung festival band dimana pun kita kuasai. Gw belajar semangat unggul, mental juara, kerjasama tim di band. Gw pun belajar ketegasan dan mengambil sikap disana, yaitu pas gw ngambil keputusan untuk cabut (ada deh alasannya, karena satu dan lain hal. Kapan2 akan gw bahas di post lainnya)

Wah kok jadi ngomong SMA gw ya? itu laen kali aj deh d post

Pas SMA pun gw masih bocah ingusan yang sedang mencoba mengembangkan sayapnya. Saat dimana gw mulai berani bermimpi. Saat dimana gw mulai terbang untuk memeluk mimpi2 itu. Masa-masa pencarian jati diri gw. Dimana galau adalah makanan sehari2 gw. Dimana kritis cenderung naif adalah agenda gw saban waktu. Mempertanyakan ini itu. Idealis mentok! Pengembangan diri adalah cabuk gw tiap hari

Syukurlah semua terlewati dengan baik

Impian akan menjadi JURNALIS...

Kuliah. UMN. 2 smester katam dengan IPK yang sangat membanggakan (menurut gw) Dimana saat SD pun gw ga pernah ngimpi untuk meraih nilai setinggi ini. Bahkan saat SMA pun nilai merah pun masih akrab di lembaran raport gw. Tapi pas kuliah, tidak kubiarkan satu tetes tinta merahpun terjatuh di lembar raport gw. Gw pun melesat mengejar mimpii gw:JURNALIS

Gw lebih aktif menulis, juga membaca. Diskusi dengan dosen, dan sejumlah teman yg kritis. Gw pun ikut sebuah bisnis untuk mencari uang sendiri. Keluar masuk siaran TV. Masih aktif ngeband. Ikut lomba debat mahasiswa di Jak TV.

Gw telah berubah total! bahkan dalam setahun pun, semua teman SMA gw pun kaget.
"Ini si Bene? Rajin banget!"
"Bene si laskar gonz? anjrit! makan apa loe Ben?"
"Asik dah sibuk sekarang, cari duit"
"Gila lw Kris, yakin nih masih lw teman SMP gw yang suka nyoret tembok orang bareng?"

Sumpah demi Tuhan itu ga gw karang2, itu semua kata temen2 gw.

Bahkan bapak gw pun bilang, "Ajaib, dulu kamu setiap rapotan selalu bikin deg2an, sekarang nilai B aja lebih dikt dari A". *bangga banget gw denger ini. Thanks Pah! :D

So here I am, gw kandidat wakil ketua himpunan mahasiswa jurusan. Fiuuhh...ini puncak karier keorganisasian gw. Sebelumnya gw cuma level anggota. Paling mentok jadi ketua laskar gonz yang secara kelembagaan santai dan tidak bisa disebut lembaga formal. Tapi liat gw sekarang! Dulu pas SD, SMP, ditunjuk jadi ketua pun gw selalu mengelak. hahaha. Infantil!

So here I am, still have to fight!

*Maaf kalo postingan ini kental dengan aroma narsis. Coba pahamilah kalau anda berada di posisi saya. Seorang pecundang yang berubah menjadi pemimpin!

Sunday, November 7, 2010

Kebebasan Pers, Sebuah Euforia Era Reformasi


Saat Orde Baru (Orba) berkuasa, kental diingatan banyak orang bahwa berpendapat dan mengkritisi pemerintah merupakan hal yang diharamkan. Banyak aktivis, mahasiswa, tokoh-tokoh yang kritis ditangkap, dijadikan tahanan politik tanpa sidang, diasingkan, dihilangkan, bahkan diambil nyawanya. Sebut saja seperti penulis kawakan Pramoedya Ananta Toer yang ditangkap dan diasingkan karena buku yang ia tulis, tetralogi Bumi Manusia, di anggap oleh pemerintah orba sarat ajaran komunis. Hal senada juga terjadi pada media. SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan dan Percetakkan) dijadikan senjata ampuh negara untuk membungkam media. Media yang kritis dan vocal tidak segan-segan dicabut SIUPP-nya, dibredel, dilarang terbit. Majalah Tempo nampak sudah kenyang oleh pengalaman ini. Juga dikenal organisasi profesi jurnalistik bikinan negara, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), yang fungsinya mengawasi setiap media yang dianggap “mbeling” saat itu. Masa dimana kebebasan berpendapat dibungkam system pers otoritarian.

Sejak rezim “otoriter” orde baru digulingkan, Indonesia memasuki babak baru kehidupan sosial politik yaitu era reformasi. Terdiri dari kata ‘formasi’ yang artinya susunan ditambah imbuhan re- yang artinya mengulang kembali, reformasi merupakan era dimana format-format perangkat kenegaraan, peraturan serta undang-undang diatur kembali dalam rangka menciptakan tatanan hidup bernegara yang lebih ideal.

Reformasi sarat dengan agenda perubahan. Mulai dari perubahan system sosial politik dimana demokrasi digaungkan sebagai azas negara, pelucutan kekuatan militer angkatan darat, meningkatnya toleransi agama dengan disahkannya imlek sebagai hari libur nasional, juga termasuk di dalamnya pengesahan undang-undang kebebasan pers dalam rangka melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Mengacu pada teori demokrasi Thomas Aquinas, bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi, selain lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif (trias politika). Maka kebebesan pers merupakan syarat mutlak bagi Indonesia untuk menjadi negara demokrasi. Karena pada prinsipnya demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Pers berperan sebagai watchdog trias politika, menjaga agar pemerintahan tetap pada jalurnya, yaitu dalam rangka mensejahterakan rakyat.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dengan disahkanya Undang-Undang ini, dunia pers jurnalistik menghirup aroma kebebasan setelah “terbelunggu” selama puluhan tahun dalam rezim orba. Tidak seperti dulu yang selalu was-was, Pers bebas memberitakan, berpendapat, bahkan mengkritis pemerintah. Masyarakatpun memiliki hak untuk berekspresi, berpendapat, juga mengkritisi pemerintah.

Lebih lanjut disebutkan dalam pasal 5 UU No.4 tahun 1999 bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan berita dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah.

Pasal kelima UU No.4 tahun 1999 ini, ingin menunjukkan bahwa system pers di Indonesia adalah system pers bebas bertanggung jawab. Sistem pers yang memiliki tanggung jawab sosial (Social Responsibilty Theory). Jadi pers bebas melakukan pemberitaan dan mengkritis pemerintah namun tetap dalam koridor-koridor “kepantasan”, karena pers juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial khalayak masyarakat.

Namun pada kenyataannya pemberitaan di media seringkali kebablasan. Terlalu vulgar dan cenderung mengarah pemberitaan yang merugikan pihak-pihak tertentu seperti pencemaran nama baik, pelanggaran privasi sumber pemberitaan, dan lain sebagainya.

Di media cetak, judul headline-headline dan artikel surat kabar makin kritis bahkan keterlaluan dan cenderung pada pencemaran nama baik. Seperti contohnya yang terjadi pada harian Kompas, Jumat, 5 November 2010, yang mengatakan “Hati DPR Tumpul”. Ada pula cover majalah Tempo, 29 Juni 2010, yang mengatakan “Rekening Gendut Polisi” ditambah dengan ilustrasi gambar seorang polisi sedang membawa celengan berbentuk babi.

Tidak hanya itu,isi artikelnya pun banyak yang dengan terang-terangan mengarahkan kritik kepada yang bersangkutan. Penggunaan kata sindiran lazim digunakan, bahkan sarkastikpun sering menguap di halaman surat kabar.

Masyarakat pun kini makin kebablasan dalam mengemukakan pendapat. Sebut saja ketika demonstrasi yang terjadi 28 Januari 2010, menuntut ketegasan dan kecekatan presiden mengambil keputusan. Para demonstran membawa seekor kerbau di area demonstrasi, mereka mengkritik presiden SBY lambat seperti seekor kerbau. Ada pula kasus yang masih hangat baru-baru ini, yaitu artis kawakan Pong Harjatmo mencoret atap gedung DPR dengan tulisan “Jujur, Adil, Tegas”.

Bisakah pers dan masyarakat secara terang-terangan “menghina” suatu pihak dan instansi pemerintah? Bukankah sudah ada undang-undang pencemaran nama baik? Bukankah mereka bisa terjerat undang-undang tersebut?

Hal tersebut terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Buku kedua-kejahatan, bab XVI, Pasal 310 yang berbunyi:

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Memang benar ada undang-undang pencemaran nama baik, namun kebebasan berpendapat tersebut dilindungi oleh undang-undang kebebasan pers. Kedua undang-undang ini memang saling berbenturan. Adapula rancangan undang-undang rahasia negara yang berpotensi akan menjadi UU tandingan kebebasan pers dalam “mengubek-ubek” rahasia negara.

Berdasarkan UU No.4 tahun 1999, pers memang berhak dan bebas melakukan pemberitaan dan kegiatan jurnalistik. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana dan apa saja batas-batas koridor kepantasan dalam pemberitaan tersebut? Maka dari itu selalu mucul perdebatan mengenai batas-batas kebebesan pers, dimana AJI (Aliansi Jurnalis Independen) organisasi profesi tandingan PWI, selalu memperjuangkan hal ini.

Bila dianalisis secara kritis, hal ini terjadi karena pers Indonesia telah terlalu lama “dibungkam”, sehingga ketika mereka diperbolehkan bersuara, keluarlah teriakan. Era dimana informasi dapat dengan bebas beredar, dimana berpendapat bebas dilakukan. Kebebasan pers, merupakan buah euphoria era reformasi.