Tuesday, August 17, 2010

Hedonesia

Hadirin sekalian, dengan bangga saya persembahkan sebuah term baru dalam pembendaharaan kosakata bahasa Indonesia, yaitu Hedonesia! Sedianya Hedonesia merupakan sebuah term baru yang menggabungkan dua kata yaitu Hedonis dan Indonesia tentunya. Hedonis artinya adalah gaya hidup yang selalu menjunjung tinggi hidup bersenang-senang, pesta, hura-hura, party every day. Sedangkan Indonesia, tentu saja adalah nama negara tercinta kita semua.

Dengan segala hormat, tidak ada maksud saya melecehkan nama negara kita yang sudah diwariskan dari nama para bapak Bangsa, yang berasal dari kata “hindo” yang artinya Hindia dan “Nesus” yang artinya kumpulan pulau atau kepulauan, dimana keduanya berasal dari bahasa Sansekerta. Saya juga tidak bermaksud merusak tatanan perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia, karena tentulah sudah baik adanya. Tapi tentu saja saya tidak sembarangan dan seenaknya menciptakan term ini. Hedonisia merupakan buah pikiran kecemasan saya atas negara ini. Kecemasan saya atas mentalitas penduduknya, khususnya anak muda, yang hanya mementingkan kesenangan belaka, malas bekerja keras, berpesta setiap hari, yang hidup enak. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, tanpa melalui proses yang seharusnya. Peduli amat sama semua itu, yang penting gw menang, gw senang, pesta pora tiap hari. Hedonis! Saya khawatir penyakit hedonisia ini menjangkit dan melekat sebagai karakter anak muda ke depannya.

Berawal dari kegalauan saya dengan buuaannyaaakknya….pusat perbelanjaan di Jakarta. Coba hitung berapa banyak pusat perbelanjaan di ibukota Indonesia, Jakarta. Kita ambil contoh di bilangan Senayan, jantung gemerlap ibukota. Di sana ada Plasa Senayan berhadap2an dengan Senayan City, lalu di FX, agak ke Utara sedikit ada Plaza Semanggi, muter melewati jemabatan laying masuk SCBD kita menemukan Pacific Place. Yang lebih hebat lagi jarak antar Mall itu tidak lebih dari 1-3 kilometer. Gila! Sungguh makmur ya rakyat kita, dimana2 belanja. Hahaha. Hal itu juga terjadi kota sub-urban yang menopang Jakarta. Kita ambil contoh di bilangan BSD (Bumi Serpong Damai) diawali dengan ruko satu kilometer, lalu tak jauh dari satu ada Teraskota, lalu tidak sampai 2kilometer kita menemukan ITC BSD, lalu tepat persis di depan bunderan BSD kita menemukan Mall Serpong, lalu sekitar 3 kilometer kita menemukan WTC BSD, dan Summarecon Mall Serpon. Lalu masih banyak lagi jumlah bersebaran di seluruh penjuru Jakarta. Bahkan sepuluh jari tangan dan kaki pun tak sanggup untuk menghitung jumlah Mall dan pusat perbelanjaan di Jakarta.

Hei, saya tidak mau munafik, saya juga sering maen ke mall. Saya tidak alergi untuk jalan dan shopping di Mall, hanya saja saya bukanlah seorang yang Shoppaholic, atau Mall Junkie, dimana setiap hari, setiap diskon pasti langsung capcus ke mall. Saya ke mall kalo memang ada perlunya saja. Kalo emang perlu dan ada barang yang bagus dan kita punya uang why not shopping di Mall? Uda tempatnya sejuk (ada ACnya lho!), pelayannya ramah, barangnya lengkap, etalasenya cantik, pengunjungnya juga banyak yang wah! (berdandan cantik tentunya! Hehehe) so why not? Ada pula sejumlah mall yang menawarkan one stop shopping and entertainment, dimana di mall tersebut sangat lengkap, jual barang apa saja dari bor listrik sampai urusan perut, dilengkapi dengan bioskop, ada pula yang menyediakan arena seluncur es (u knowlah tempatnya! Hahaha), bahkan ada yang membuka lounge atau diskotek di dalam mall. hohohoho

Shopping di Mall menjadi sebuah tabiat buruk ketika frekuensi kunjungannya melebihi batas normal. Memang segala sesuatu yang berlebihan itu punya dampak buruk. Makan kebanyakan bisa bikin gendut, kebanyakan ga makan bisa bikin kurusa dan sakit. Begitu pula dengan kunjungan ke Mall. Apabila terlampau sering atau melebihi frekuensi normal, maka orang tersbut akan boros (disebabkan oleh laper mata), belanja ini itu padahal ga butuh2 amat. Itu masih mending, yang lebih parah adalah orang tersebut kemudian hidup dengan pesona kabur antara kehidupan nyata dan khayal. Orang tersebut tidak lagi berpikir realistis untuk menimbang-nimbang membeli barang atau tidak. Akibatnya orang tersebut boros, bahkan banyak hutang. Kalo dia kaya dan muda, dia akan meminta lebih banyak uang orang tuanya untuk belanja ini itu. Orang tuanya ga tega, jadilah mereka bermental “tinggal minta”, hidup mereka sangat nyaman sehingga mereka enggan beranjak dari situ. Lalu kemudian orientasi hidup mereka hanya bersenang-senang, mereka ga peduli kerja, pokoknya orientasi dan prioritas utama dalam hidup adalah bersenang-senang, ga peduli orang lain, aku senang, aku menang.

Mengapa bisa jadi sedemikian rumit? Padahal kan Cuma masalah belanja dan bersenang-senang mall….

Berawal dari mayoritas penduduk Indonesia yang terjangkit penyakit westernisasi. Walah apa lagi itu? Tenang saja, akan saya terangkan semuanya setajam silet (lho? He-he-he) Westernisasi berasal dari western (Bahasa Inggris) yang artinya kebarat-baratan, dan imbuhan isasi yang artinya proses, jadi westernisasi adalah proses membuat kebarat2an. Atau penjelasan gamblangnya, segala sesuatu yang berasal dari Barat itu dianggap keren, menarik. Lalu kemudian muncul proses manusiawi ketika orang ingin dianggap keren versi global yang tentu saja mengacu pada “kiblat” Barat, maka mereka berduyun-duyun mengerumuni toko-toko yang mampu menyulap mereka menjadi se”keren”Barat.

Branding atau pencitraan dari Barat telah begitu kuat berakar di pikiran banyak orang Indonesia. Segala sesuatu yang berasal dari negara Barat dianggap keren, dan kalo mau keren pakailah apa yang dipakai Barat. Bahkan banyak orang yang memandang bule adalah warga negara kelas satu dunia (yaelah, dia itu sama-sama makan, ngupil dan buang air besar juga, ga beda sama kita tau!)

Mengutip dari apa yang dikatakan Wisnu Nugroho dalam buku terbarunya yang sangat menggelitik “Pak Beye dan Istananya”, beliau mengatakan “Cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada. Begitu Rene Descartes mengemukakan keberadaannya, ratusan tahun saat itu dimana kegilaan daya nalar menjadi kegandrungan setiap orang yang ingin diakui keberadaannya. Untuk saat ini, seperti telah dikemukakan banyak pengamat, “aku mengkonsumsi, maka aku ada”. Tak heran barang-barang konsumsi pengusung citra tertentu menjadi ekspresi kepanjangan identitas diri. Apa yang aku konsumsi adalah adanya aku atau sebagian besar dari adanya aku” . Mundkin itu ya apa yang ada di pikiran konsumen sekarang. Mereka berbondong-bondong belanja merk Barat, supaya mereka nampak terpandang. Biar mereka sama kerennya dengan orang-orang Barat yang menjadi model merk tersebut. Hehehe.

Lagi-lagi saya ga mau munafik, saya juga pakai barang-barang dari negara Barat. Sebut saja sepatu saya Converse (walaupun pabriknya di Cikarang tapi tetep pake merk Barat), celana jeans saya Wrangler dan sebagainya. Namun saya tidak gila merk. Gw beli barang-barang itu karena emang gw selera dan enak dipakai, uda titik, ga lebih, bukan karena biar gw dianggap masuk suatu kelas sosial tertentu. Hehe. Yang jadi masalah adalah ketika konsumen tergila-gila dan mendewakan sebuah merk. Branding!

Coba deh tengok barang-barang buatan local juga oke dan keren2 lho! Klo lw pergi ke Malioboro di Jogja, lw bakal nemuin berbondong-bondong bule pada beli tas batik! Adapula mereka beli jaket Jawa atau biasa disebut Sorjan (ituloh yang ada di prof pict blog gw! Hehehehe *bangga) Adalagi mereka beli blangkon, dan macam2 lainnya. Serius gw ga boong. Bagi mereka batik dan sorjan itu eksotik dan unik. Gila bule aja mau beli produk Indonesia, masa kita yang asli orang Indonesia aja ga mau beli dan pake produk sendiri?

Waduh jadi agak melebar ke masalah produk ya? Hahaha, sori deh kalo kata2 gw agak nyolot, tapi memang begitu kenyataannya bro. Gw cuma mau membuka “mata” tentan apa yang sedang terjadi saat ini.

Hedonis adalah penyakit yang amat berbahaya khususnya bagi para anak muda. Penyakit ini menyebarkan bibit kemalasan, miskin kreativitas, miskin motivasi dan semangat kompetisi anak muda, yang kerjaannya hanya bisa minta uang orang tua. Mau diharapkan menjadi apa generasi dengan mental seperti ini?

Seperti yang telah saya lakukan satu tahun yang lalu (baca postingan: salah kaprah arti kata Dirgahayu) postingan ini adalah persembahaan saya di hari raya kemerdekaan Republik Indonesia. Harapan saya Indonesia semakin lebih baik, dan mengambil ucapan dari Ahmad Syafii Ma’arif, supaya para pemimpin bangsa ini cepat siuman, cepat sadar kalo negara ini lagi kritis banget. Hehehe. Sekian dari saya, sukses untuk anda dan kita semua

Ad Maiorem Dei Gloriam

Bene Krisna

3 comments:

  1. GO FREEDOM, Krisna!
    memang betul sekali yang kamu katakan di atas ... tergila2 dgn aktivitas yg kurang produktif, kurang prospektif dan kurang inspiratif utk memajukan kesejahteraan lebih banyak orang adalah tendensi mayoritas remaja usia 14 - 20 tahun yg saya jumpai selama ini selama 5 - 6 tahun belakangan.
    sebenarnya ada apa ini?
    tetap lanjutkan aktivitas tulis menulismu, karena satu dua tahun lagi kamu akan menjadi ... oopppsss , sori, hampir aja kebacut out of context ... maksudnya satu dua bulan lagi akan ada lomba menulis dalam rangka DIES Natalis UMN. so, kamu bisa posting keprihatinanmu ini dalam lomba2 menulis sejenis. jadi, lebih "diakui" para ahli (baca: juri lomba) gitu loh ... syukur2 bisa dipublish jadi kumpulan tulisan/artikel yg dibukukan oleh grup KG ... hehe ....

    ReplyDelete
  2. @pak Hendar: Go freedom! makasih loh, komentarnya. hehe. Saya setuju pak, dalam setahun atau dua tahun lagi....(ups salah lagi. hehehe) oh ya ada omba ya? mau ikut dong pak! hehe

    @Wuri: tsahh! mantaplah itu! hehehe

    ReplyDelete